ANALISIS—Jangankan Islam, Bahkan Adam dan Hawa pun Turun di Papua. Inikah Buktinya?

IslamIndonesia.id–Jangankan Islam, Bahkan Adam dan Hawa pun Turun di Papua. Inikah Buktinya?
Kehebohan memantik emosi yang bermula dari viralnya video pengibaran bendera “Bintang David” Israel di tengah demo warga Abepura, Papua, Sabtu (14/5) pekan lalu, mungkin tak seharusnya terjadi. Mengapa demikian?
Pertama, video tersebut—berbeda dengan klaim pemberitaan media intoleran yang menyebut aksi itu bagian dari simpati warga Papua pada Israel, juga tuntutan Papua merdeka dan semacamnya; ternyata, berdasarkan verifikasi IslamIndonesia kepada sumber tepercaya di TKP, aksi tersebut murni demo umat Kristiani berlatar protes mereka atas rencana seorang pengusaha lokal membangun mesjid megah terbesar di pusat kota. (Selengkapnya baca di sini)
Kedua, terlepas dari kehebohan terkait kebiasaan warga Kristiani Papua yang konon menganggap “lumrah” pengibaran atribut bendera Bintang David Israel dalam setiap aksi demo di sana, yang mungkin justru perlu diklarifikasi lebih jauh adalah alasan mendasar dari protes atas rencana pembangunan mesjid di Tanah Papua itu. Adakah yang salah dengan rencana itu? Apakah pembangunan mesjid megah terbesar itu melanggar aturan, menyalahi hukum adat dan bertentangan dengan konstitusi?
Demi tak mengulang kegaduhan serupa akibat penyebaran video tanpa verifikasi itu, dan sebelum mendapatkan klarifikasi valid dari para pihak berkompeten tentang alasan sebenarnya di balik aksi penolakan atas pembangunan masjid di Tanah Papua, ada baiknya kita telusuri sejenak sejarah awal masuknya Islam di Tanah Papua.
***
Harus diakui, secara geografis Tanah Papua memang merupakan daerah pinggiran (periferal) Islam di Nusantara. Akibatnya, asal-muasal keberadaan Islam di Papua pun kerap luput dari kajian serius para sejarawan lokal maupun mancanegara.
Maka timbullah kesan yang hingga kini terus berkembang, bahwa penduduk Papua identik dengan pemeluk agama Kristen. Padahal, berbagai bukti sejarah menunjukkan, agama Islam bukanlah sesuatu yang asing bagi orang Papua karena mereka sudah berinteraksi dengan para pedagang dan raja-raja Muslim baik dari Jawa, Aceh maupun Maluku sejak abad XV, bahkan jauh sebelum itu. Sementara agama Kristen dan Katholik baru masuk ke Tanah Papua pada pertengahan abad XIX.
Meski demikian, masih terjadi silang pendapat di antara para pemerhati, peneliti maupun keturunan raja-raja di Raja Ampat-Sorong, Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni-Manokwari, perihal kedatangan Islam di Tanah Papua. Karena di antara mereka saling mengklaim bahwa Islam lebih awal datang ke daerahnya hanya berdasarkan tradisi lisan, tanpa didukung bukti-bukti tertulis maupun bukti-bukti arkeolgis.
Menurut Azyumardi Azra, meskipun tradisi lisan atau historiografi lokal ini sering bercampur dengan mitos dan legenda, tetapi apa yang mereka ceritakan patut juga didengarkan. Hal ini dipertegas Azra, dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dengan menyebutkan bahwa dalam beberapa kasus, sumber-sumber lokal kadang menekankan pentingnya mimpi (Arab: ru’yah) dalam proses konversi kepada Islam.
Untuk pembahasan tentang mimpi dalam masyarakat Muslim, sebagaimana yang dikutip Azra dalam G.E. von Grunebaum & Roger Caillos, The Dream and Human Sosieties, Los Angeles & Barkeley; University of California Pres, 1966, terdapat pembahasan menarik tentang pentingnya dongeng dan mitos historis sebagai sumber informasi tentang sejarah wilayah tertentu.
Seperti halnya Jan Vansina dalam Oral Tradition: A Study in Historical Methodology yang menegaskan bahwa seluruh dongeng dan mitos merupakan tradisi resmi masyarakat-masyarakat tertentu untuk merekam sejarah mereka. Cerita-cerita ini disampaikan oleh para spesialis pada kesempatan resmi dalam mentransmisikannya di dalam kelompok sosial tertentu. Menurutnya, setiap dongeng dan mitos mempunyai nilainya sendiri. Karena itu, dongeng historis dinilai berguna bagi sumber informasi tentang sejarah militer, politik kelembagaan, dan hukum. Sedangkan dongeng didaktik memberikan informasi tentang nilai-nilai kultural; sementara mitos didaktik merupakan sumber yang amat berguna untuk sejarah agama.
Untuk itu, perlu ditelusuri lebih jauh beberapa versi sejarah, terutama mitos didaktik terkait awal masuknya Islam di Tanah Papua, setidaknya dengan melihat beberapa versi mengenai kedatangan Islam di beberapa tempat di wilayah itu.
Versi Papua
Teori ini merupakan pandangan adat dan legenda yang melekat di sebagian kalangan rakyat asli Papua, khususnya yang berdiam di wilayah Fakfak, Kaimana, Manokwari dan Raja Ampat (Sorong).
Pada umumnya, versi ini memandang Islam bukanlah berasal dari luar Papua dan bukan dibawa dan disebarkan oleh kerajaan Tidore atau pedagang Muslim dan dai dari Arab, Sumatera, Jawa, maupun Sulawesi. Namun Islam berasal dari Papua sendiri sejak pulau Papua diciptakan oleh Allah SWT. Mereka juga mengatakan bahwa agama Islam telah terdapat di Papua bersamaan dengan adanya pulau Papua sendiri.
Bahkan mereka juga meyakini kisah yang menyebutkan bahwa tempat turunnya Nabi Adam dan Ibu Hawa berada di suatu tempat di daratan Papua, dengan busana seperti ketika mereka masih berdiam di surga.
Mereka juga beranggapan ada bekas-bekas jejak sejarah Nabi Nuh yang terdampar di pedalaman dekat Nambi-Manokwari dan mereka percaya bahwa Gunung Wondivoi adalah tempat pemberhentian bahtera Nuh.
Keyakinan lain, Nabi Ibrahim mempersembahkan anaknya Ismail atau Ishak di pedalaman Dusner. Sedangkan Taman Eden yang asli terletak di Obo dan Bukit Zaitun berada di Puncak Rinsawan. Pandangan seperti ini dipengaruhi oleh pemikiran mistis dan agama suku yang telah merakyat dan melegenda di masyarakat asli, khususnya di wilayah Fakfak, Kaimana, Teluk Bintuni, maupun di Wondama. Pandangan ini tercermin dalam prosesi ibadah, di antaranya orang naik haji bukan ke Makkah, namun mereka berangkat ke Gunung Nabi yang terletak di belakang Teluk Arguni (Kaimana) dan Teluk Wondama (Manokwari).
Versi Aceh
Menurut sejarah lisan dari daerah Kokas, Fakfak bahwa Syekh Abdurrauf yang merupakan putra ke 27 dari waliyullah Syekh Abdul Qadir Jaelani dari kerajaan Samudera Pasai mengutus Tuan Syekh Iskandar Syah untuk melakukan perjalanan dakwah ke Nuu War (Papua) sekitar abad XIII tepatnya 17 Juli 1224, datang Syekh Iskandar Syah di Mesia atau Mes, kini distrik Kokas kebupaten Fakfak. Orang pertama yang diajarkan Iskandar Syah bernama Kriskris. Saat itu Syekh Iskandar Syah mengatakan; “Jika kamu mau maju, mau aman, mau berkembang, maka kamu harus mengenal Alif Lam Ha (maksudnya Allah) dan Mim Ha Mim Dal (maksudnya Muhammad)”.
Singkat cerita Kriskris mengucapkan dua kalimat syahadat. Tiga bulan kemudian, Kriskris diangkat menjadi imam pertama dan beliau sudah menjadi Raja pertama di Patipi, Fakfak.
Sementara studi sejarah masuknya Islam di Fakfak yang diinisiasi oleh Pemerintah Kabupaten Fakfak pada tahun 2006, menyimpulkan bahwa Islam datang di Fakfak pada tanggal 8 Agustus 1360 M, yang ditandai oleh hadirnya mubaligh Abdul Ghafar asal Aceh di Fatagar Lama, kampung Rumbati Fakfak. Penetapan tanggal awal masuknya Islam tersebut berdasarkan tradisi lisan yang disampaikan oleh Putra Bungsu Raja Rumbati XVI (Muhammad Sidik Bauw) dan Raja Rumbati XVII (H. Ismail Samali Bauw). Mubaligh Abdul Ghafar berdakwah selama 14 tahun (1360 –1374 M) di Rumbati dan sekitarnya, kemudian ia wafat dan dimakamkan di belakang masjid kampung Rumbati pada tahun 1374 M.
Konon pada awalnya, Abdul Ghafar dan teman-temannya sering melakukan shalat Zuhur dan Ashar di ruang terbuka, sehingga menarik perhatian masyarakat setempat. Penduduk heran melihat mulutnya komat-kamit dan mereka berkata: iangge wagamanim waimbi ia oaka isafa som yama riri aroa rera toto wania fauar wai (orang ini rupanya menyembah setan, sedang apa dia berdiri menghadap matahari turun dan berbicara sendiri). Kata-kata yang tercetak miring di atas berasal dari penduduk setempat yang menggunakan bahasa Onin (yang merupakan lingua franca pada masa itu) untuk menyatakan keheranan mereka atas apa yang dilakukan kedua mubaligh asal Aceh tersebut.
Setelah dapat beradaptasi (termasuk upayanya mempelajari bahasa lokal), akhirnya Abdul Ghafar pun dapat menjelaskan bahwa apa yang dilakukannya setiap hari bersama teman-temannya adalah menyembah Allah, sang Pencipta langit dan bumi beserta segala isinya. Penjelasan ini menyentuh dan menggugah hati penduduk setempat, sehingga mereka mulai membuka diri menerima Islam. Peristiwa inilah yang akhirnya tercatat sebagai awal masuknya Islam di Jazirah Onin, Kabupaten Fakfak.
Versi Jawa
Pada tahun 1518 M, Sultan Adipati Muhammad Yunus dengan gelar Pangeran Sebrang Lor anak Raden Patah dari kerajaan Islam Demak mengadakan kerjasama dengan kesultanan Ternate dan Tidore untuk mengirim dai dan mubaligh ke Papua dalam rangka menyiarkan Islam. Para dai dan mubaligh itu dikirim ke wilayah pesisir Barat dan Utara Papua.
Berdasarkan informasi dari pengurus Yayasan Sunan Drajad dan Sunan Giri, Perdana Jamilu dari Hitu dan Sultan Zainal Abidin (1480-1500 M) dari Ternate, belajar langsung dari Sunan Giri yang dikenal dengan gelar Prabu Satmata. Setelah mempelajari dan memperdalam Islam selama kurang lebih satu tahun, maka Sultan kembali ke Ternate dengan membawa seorang mubaligh bernama Tuhubahahul dari Giri untuk mengajarkan dan menyiarkan Islam di Maluku, sedangkan Perdana Jamilu dari Hitu dipercayakan menyiarkan Islam ke Papua. Perjalanan syiar Islam Perdana Jamilu dimulai dari Seram menuju Fakfak pada tahun 1488 M. Sejak syiar Islam tersebut, maka penduduk barat Papua mendapat sentuhan dan mengenal nilai-nilai Islam melalui para mubaligh utusan Sunan Giri.
***
Sebenarnya masih banyak versi lain yang dapat dikemukakan di sini, sebagaimana hal tersebut secara lebih komprehensif telah diuraikan oleh Toni Victor M. Wanggai, mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam Disertasi Doktoralnya yang berjudul Rekonstruksi Sejarah Umat Islam Di Tanah Papua. Tapi dengan uraian singkat dari tiga versi mitos didaktik dan catatan sejarah di atas, beserta bukti-bukti historis yang ada dan dapat dipertanggung jawabkan validitasnya, setidaknya kita bisa mengetahui bahwa agama Islam bukanlah sesuatu yang sama sekali asing bagi penduduk asli Papua sejak ratusan tahun silam, melainkan sebaliknya, sudah sangat akrab dengan kehidupan mereka.
Pertanyaannya: masih relevankah informasi yang saat ini sering dipahami sebagai kebenaran oleh sebagian kalangan, bahwa Islam bagi penduduk Papua merupakan hal “asing” dan “barang” baru, sementara Tanah Papua hanya identik sebagai tanah leluhur bagi penduduk asli non-Muslim saja?
EH/IslamIndonesia
Leave a Reply