Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 12 May 2016

ANALISIS—Disorientasi, Nasrudin & Saut versus HMI (Bagian Kedua)


IslamIndonesia.id–Disorientasi, Nasrudin & Saut versus HMI

“Mereka orang-orang cerdas ketika menjadi mahasiswa, kalau HMI minimal LK I. Tapi ketika menjadi pejabat, mereka korup dan sangat jahat.”

Itulah “Statemen maut Saut” di acara talkshow TVOne belum lama ini yang membuat Keluarga Besar HMI dan KAHMI bersuara lantang pertanda “tak terima”.

Apakah hanya HMI dan KAHMI yang menyebut Saut layak dipidana bahkan dicopot dari jabatannya selaku Wakil Ketua KPK? Ternyata tidak.

Tak kurang, mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Moeldoko dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi pun ikut bereaksi keras terkait ucapan Saut yang menyudutkan Korps Alumni HMI.

Moeldoko menilai, statemen Saut yang menyebut KAHMI dan HMI korup serta jahat sangat tidak relevan. Dia bahkan tak percaya jika seorang pimpinan lembaga negara bisa bebas ngomong sembarangan.

“Wah kok ada pimpinan Lembaga Negara yang mengeluarkan pernyataan serampangan seperti itu, sadar tidak ucapannya menyinggung banyak orang,” cuit Moeldoko di akun pribadi miliknya, @generalmoeldoko, Sabtu (7/5) lalu.

Moeldoko menegaskan, apa yang dikatakan Saut sangat tendensius dan potensial membuat sakit hati banyak kader serta alumni HMI.

“Ada baiknya oknum pimpinan KPK tersebut segera meminta maaf,” pungkasnya, menyoal pernyataan Saut yang saat didapuk menjadi narasumber acara talkshow menyinggung ihwal eksistensi tokoh HMI di kancah Nasional.

Sementara mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva menilai, jabatan atau posisi tinggi di KPK-lah yang menjadikan Saut mungkin lupa diri dan menganggap remeh segala sesuatunya. Padahal menurut Hamdan melalui akun twitternya, @hamdanzoelva, dengan menjadi pimpinan KPK, seharusnya Saut justru rendah hati. “Tanya Saut Situmorang, siapa tokoh-tokoh yang membentuk UU (Undang-Undang) KPK. Kalau jadi pimpinan belajarlah rendah hati,” cuitnya, Minggu (8/5) kemarin. “Jangan karena dengki Anda lupa diri,” sambung tokoh yang digadang-gadang sebagai calon Jaksa Agung ini.

Tak hanya sampai di situ. Bukan hanya Moeldoko dan Hamdan Zoelva, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin pun ternyata juga ikut mengomentari pernyataan Saut. Menurut Pak Din,  pernyataan itu memang sangat tidak etik.

“Saya kira mengabaikan kode etik KPK itu sendiri,” katanya, Minggu (8/5) kepada sejumlah awak media.

Din melanjutkan seyogyanya sebagai pejabat publik, Saut tidak mengeluarkan pernyataan seperti itu. Apalagi secara publik di media massa, dan menyinggung organisasi atau kelompok tertentu. Bagi Din, kata-kata Saut yang mengaitkan pelaku kejahatan khususnya korupsi dengan organisasi apalagi organisasi keagamaan semacam HMI adalah berbahaya dan bisa dianggap memasuki wilayah sensitif bernuansa SARA.

“Generalisasi tentang kejahatan adalah kejahatan itu sendiri,” tegas Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini.

Menurut Din, pernyataan Saut selain tidak etis juga bersifat tak adil. Sebab ia tidak menyebut koruptor dari organisasi atau kelompok-kelompok lain yang justru banyak, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Perilaku tidak etis dan tidak adil ini tentu akan dicatat masyarakat. Karenanya wajar jika para alumni HMI dan semua pihak yang ingin menjaga kerukunan nasional memprotesnya.

Maka tak ada jalan lain dari kekeliruan tersebut, kecuali Saut meminta maaf secara luas kepada HMI dan KAHMI. Jika tidak, maka biarlah hukum dan keadilan yang berbicara.

Jika protes keras telah ditunjukkan “orang luar”, lalu bagaimana sejatinya sikap kader-kader di internal HMI sendiri?

Sebut saja salah satu pernyataan yang dikatakan Ketua HMI Komisariat  Fakultas Unhas, Makassar, Nurafiat.  Menurutnya, statemen Saut yang menyebut kader-kader HMI ketika menjadi pejabat akan korup dan jahat, senyatanya merupakan pernyataan yang telah menghina nama baik serta harkat dan martabat setiap kader HMI di seluruh Indonesia.

“Ini tindakan penistaan bukan hanya kepada fakta historis sumbangsih HMI terhadap bangsa ini. Tapi juga kepada fakta sosiologis yang telah mencederai HMI. Baik secara personal kader-kadernya maupun Institusi HMI sebagai organisasi perjuangan,” ujarnya Sabtu (7/5) lalu.

Dia menegaskan, Saut sudah jelas telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dan fitnah sebagaimana diatur dalam  Pasal 310 dan 311 KUH Pidana jo. Pasal 45 Ayat (1) UU No. 11/2008 tentang ITE.

Tindakan tersebut senyatanya juga merupakan tindakan yang dapat dikualifikasikan sebagai Penyebaran Ujaran Kebencian (hate of speech) sebagaimana diatur dalam SE Kapolri No. SE/6/X/2015.

“Sehingga sebagai representasi lembaga penegak hukum, Saut Situmorang tidak lagi pantas untuk menduduki jabatannya baik secara hukum maupun secara moral,” kecam  kader HMI itu.

Indonesia, kata Nurafiat, adalah negara hukum yang menghormati hukum sebagai frame kehidupan bangsa dan hak-hak konstitusional warganegara sebagai Hak Asasi. Karenanya, setiap orang berhak mendapatkan  perlindungan atas diri dan kehormatannya (Vide Pasal 28 G UUD NRI 1945). Dengan demikian jelaslah bahwa pernyataan Saut Situmorang tersebut sangat bertentangan dengan prinsip negara hukum dan prinsip penegakan Hak Konstitusional warganegara, selain berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan lembaga negara (abuse of power) serta merupakan pelanggaran nyata terhadap Hak-Hak Warganegara.

Menimbang “Dosa Besar” Saut

Nah, sampai di sini, bukankah sudah cukup tergambar di benak kita bahwa: betapa besarnya “dosa” Saut dengan pernyataan kontroversialnya itu? Dan karenanya, belum cukupkah alasan untuk “menghukum” Saut seberat-beratnya?

Lalu, sebagai warganegara biasa, dalam posisi di luar HMI dan KPK, sikap apa yang seharusnya kita ambil dalam melihat kasus “perseteruan panas” antara Saut versus HMI?

Kita tentu tak dapat menutup mata atas kasus menghebohkan yang, tiba-tiba menyeruak dan membesar ini, di tengah kasus-kasus besar lain yang seharusnya lebih menjadi pusat perhatian publik. Sebab bagaimana tidak, yang terlibat di dalamnya adalah petinggi institusi KPK, lembaga antirasuah yang selama ini kerap ini dielu-elukan dan “dibela” rakyat. Sedangkan di sisi lain ada HMI, organisasi pergerakan mahasiswa Islam terbesar, yang sekian lama telah punya nama dan disegani di kancah Nasional.

Tapi, benarkah kita “wajib” terlibat menengahinya?

Misalnya saja, dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada HMI, bolehkah kita minta kepada para kader dan tokoh alumni HMI di seluruh negeri agar benar-benar memaafkan Saut dan segera mengakhiri kegaduhan ini, berhubung Saut sudah mengklarifikasi sekaligus meminta maaf atas ucapannya, di media, seperti yang diminta HMI dan disarankan beberapa tokoh Nasional lainnya, seperti Jenderal (Purn) Moeldoko dan Pak Din itu?

Bolehkah kita berharap, tentunya demi menjaga nama baik HMI sendiri, agar para kadernya di seluruh daerah dan khususnya di Ibu Kota, tak mengulang lagi aksi anarkis, merusak fasilitas KPK, termasuk melemparinya dengan batu hingga konon seperti diberitakan media, telah “membocorkan” minimal dua kepala aparat keamanan yang bertugas di sana?

Jika hal serupa terus berulang dimana-mana, bagaimana HMI sebagai institusi, nantinya bakal tak kerepotan mengklarifikasi bahwa para kadernya taat konstitusi, santun dan Islami?

Di sisi lain, dengan tetap menaruh rasa hormat kepada Saut secara pribadi dan pada KPK sebagai institusi, bolehkah kita bertanya, apakah Saut benar-benar khilaf dan tak lebih dari sekadar “kelepasan omong” tanpa rencana, tanpa mempertimbangkan dampaknya di kemudian hari?

Bolehkah kita sebagai warganegara biasa bertanya, atau tepatnya, maaf, sedikit curiga kepada Saut sebagai mantan aparat BIN, jangan-jangan pernyataan berujung kegaduhan ini sejatinya memang sengaja diciptakan sebagai, kata banyak orang, pengalihan isu semata, di antaranya agar isu komunis bisa diversuskan dengan HMI, dan seterusnya dan sebagainya?

Sebagai warganegara yang baik, tentu kita layak mendahulukan sikap khusnudzan: sebagai mantan anggota BIN, yang tingkat intelijensianya di atas rata-rata kita, mana mungkin Saut akan seceroboh itu dalam bertindak dan berbicara, tanpa sengaja memaksudkannya untuk “sesuatu”, yang hanya dia sendiri memahaminya?

Namun tetap saja, lagi-lagi masalahnya adalah, siapa yang akan memberi kita kesempatan untuk turut terlibat, meski hanya sekadar mengomentari, apalagi membahas panjang-lebar kasus yang “membesar tiba-tiba” ini?

Memangnya, siapa kita?

Mari barang sejenak kita camkan baik-baik, apakah KPK (atau dalam hal ini terutama Saut yang mantan aparat BIN itu) membutuhkan kehadiran dan partisipasi kita dalam mendinginkan situasi?

Atau HMI, baik kader di akar rumput maupun tokoh-tokoh Nasional alumni HMI, akankah semua pihak itu mau legowo mendengar apa pendapat kita sebagai rakyat, sebagai penonton kegaduhan yang terlanjur berlangsung dan membuat bangsa kita kembali terjangkiti disorientasi ini?

Jika sebelumnya kita telah belajar kepada Nasrudin dalam kasus disorientasi kaum elit, tidakkah patut pula kali ini, sekali lagi kita belajar kepadanya bagaimana caranya agar di antara kita tak kembali berulang disorientasi demi disorientasi dalam memandang kasus kerusuhan besar yang melibatkan Saut, petinggi institusi besar KPK versus kader serta alumni HMI, salah satu institusi besar pergerakan di Tanah Air, kali ini?

Untuk itu, sebelum menentukan sikap, mungkin tak ada salahnya kita cermati kisah Nasrudin berikut ini.

***

Antara Raja, Tamu Agung, Perusuh dan Rakyat Jelata

Suatu ketika, kebetulan Nasrudin sedang berlibur ke kota raja. Pada saat yang sama, tampaknya sedang berlangsung kesibukan luar biasa di istana. Karena penasaran dan ingin tahu, Nasrudin pun bergegas, mencoba mendekati pintu istana. Tapi tanpa disangka, para pengawal berbadan tegap bersikap sangat waspada dan tidak ramah kepadanya. Padahal pengawal itu sudah mengenal siapa Nasrudin dengan baik, sebelumnya.

“Menjauhlah engkau, hai Mullah!” teriak para pengawal itu.

“Mengapa aku mesti menjauh?” tanya Nasrudin.

“Sebab Raja sedang menerima tamu-tamu agung dari seluruh negeri. Saat ini sedang berlangsung pembicaraan penting. Pembicaraan soal nasib rakyat. Jadi, sebaiknya kau pergilah!”

“Tidakkah kalian sendiri sadar telah berlaku aneh? Kalau memang Raja dan para tamu agung sedang membicarakan apa yang terbaik bagi rakyat, lalu mengapa rakyat sepertiku justru harus menjauh?” gugat Nasrudin.

“Tentu saja. Sebab pembicaraan yang sedang berlangsung di dalam istana itu adalah pembicaraan yang sifatnya mahapenting, menyangkut urusan keamanan dan ketenteraman kerajaan. Kau tahu lah, ini menyangkut pencarian solusi jitu atas kegaduhan yang marak akhir-akhir ini dan mesti segera dituntaskan Raja kita. Kami hanya menjaga agar tidak ada perusuh yang masuk dan mengganggu. Karena itu, sekarang juga, sebaiknya kau pergilah! Sebelum Raja dan para tamu agung marah dan menghukummu.”

“Iya, baiklah. Aku sungguh tak keberatan untuk segera pergi dari sini,” jawab Nasrudin dengan tenang kepada para pengawal istana.

Namun sebelum pergi, Nasrudin tampak membisikkan sesuatu ke telinga salah seorang pimpinan pengawal itu.

“Kalian tak perlu susah-payah mengusirku. Tapi sebelum itu, coba kalian pikirkan satu hal ini: bagaimana kalau perusuhnya justru sudah ada di dalam sana?” kata Nasrudin sambil beranjak dari tempatnya.

***

Nah, berkaca dari kisah Nasrudin di atas, dalam kasus Saut versus HMI, dimana posisi kita sebenarnya?

Kita kah Nasrudinnya atau tamu agungnya, sementara Saut dan HMI adalah perusuhnya? Atau kita kah sang Raja yang menginginkan kegaduhan tak perlu ini segera berlalu, sementara Saut dan HMI tak lebih dari rakyat jelatanya?

Sebelum tahu pasti jawaban atas beberapa pertanyaan sederhana di atas, demi menghindari jebakan disorientasi untuk kesekian kalinya, sebagai warganegara yang bijak, bukankah lebih maslahat kalau kita wait and see dulu saja?

Atau memang sudah tak adakah pilihan lain yang terbaik dari itu semua, semisal kita abaikan saja seolah kegaduhan ini tak pernah terjadi?

Bagaimana kalau kita kembali fokus pada banyak hal yang lebih layak diperhatikan, dan lebih bermanfaat dikerjakan serta lebih serius ditindaklanjuti?

Bukankah masih tersisa tunggakan kerja nyata kita semua dalam mengatasi wabah dekadensi moral utamanya di kalangan generasi muda? Bukankah masih banyak pekerjaan rumah penuntasan kasus-kasus HAM, diskriminasi, intoleransi dan ujaran-ujaran kebencian yang berpotensi memecah-belah kerukunan dan disintegrasi bangsa, yang kesemuanya belum tertangani dengan semestinya?

Akhirnya, dengan segala hormat, agar kita tak terjatuh berulangkali dalam kubangan lumpur disorientasi, sebaiknya tulisan tentang Saut versus HMI ini kita sudahi saja sampai di sini.

(Tamat)

 

EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *