Satu Islam Untuk Semua

Friday, 12 July 2019

Analisis – Di Balik Kunjungan PM Jepang Shinzo Abe ke Iran


islamindonesia.id – Di Balik Kunjungan PM Jepang Shinzo Abe ke Iran

Ada banyak sekali poin pembicaraan pasca diselenggarakannya KTT G20 baru-baru ini di Osaka, Jepang. Di antaranya, Presiden Amerikas Serikat (AS) Donald Trump menyoroti tentang campur tangan Rusia dalam pemilihan AS.

Lalu di luar dugaan, Trump juga menawarkan pertemuan dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un di zona demiliterisasi antara Korea utara dan Korea selatan. Selain itu, ada juga isu tentang kebuntuan resolusi AS-Iran.

Perkembangan lainnya adalah tentang peran Jepang, tuan rumah KTT tahun ini, dalam upayanya untuk meningkatkan kehadirannya di Timur Tengah.

Kebutuhan energi

Hanya dua minggu sebelum KTT G20 dimulai, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengunjungi Iran. Dia menjadi perdana menteri Jepang pertama yang melakukan kunjungan ke Iran sejak tahun 1979. Dalam upaya untuk menjadi penengah antara Washington dan Teheran, kunjungannya hanya menghasilkan kegagalan.

Kunjungan lainnya ke Timur Tengah dilakukan oleh menteri luar negeri Jepang, Taro Kono. Pada bulan April dia ke Arab Saudi, dan pada bulan Juni, dia berkunjung ke Iran untuk bertemu Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif.

Kebutuhan terhadap energi adalah faktor pendorong utama atas meningkatnya keterlibatan Jepang di Timur Tengah. Ketergantungan energi Jepang semakin meningkat setelah mereka memutuskan untuk menghentikan program energi nuklir domestik pasca terjadinya bencana nuklir Fukushima tahun 2011, sebuah kecelakaan nuklir terburuk di dunia sejak bencana Chernobyl tahun 1986.

Sejak itu peristiwa Fukushima, Timur Tengah telah menjadi penyumbang hampir 90 persen kebutuhan minyak Jepang, utamanya dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Tetapi minyak Iran lebih murah dan karenanya menarik bagi Jepang. Tawar menawar pada proses kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 di antaranya adalah tentang penjualan minyak Iran untuk Jepang, serta peluang yang menjanjikan bagi perusahaan Jepang untuk memenangkan tender proyek pembangunan infrastruktur.

Maka tidak mengherankan jika keputusan sepihak Trump membatalkan perjanjian nuklir dan menjatuhkan sanksi kembali ke Iran menjadi sumber kegusaran Jepang. Dan itu bukan satu-satunya aspek kebijakan luar negeri Trump yang mengkhawatirkan Tokyo.

Pergeseran Hubungan Diplomatik

Hubungan mendasar antara Jepang dengan AS adalah bertolak dari isu keamanan. Namun, kebijakan yang sering tak terduga dari Trump telah membuat Tokyo bingung. Misalnya saja tentang tawaran diplomatik Trump terhadap Korea Utara, dan keterlibatan langsungnya dengan Kim, yang menggiring terjadinya pertemuan bersejarah pada Juni 2018, yang mana telah membuat Jepang merasa terancam.

Selain itu, Trump juga sebelumnya pernah menyatakan bahwa sudah waktunya bagi Jepang dan Korea Selatan untuk dapat membela diri sendiri. Trump juga memiliki usulan untuk menghentikan proram latihan militer bersama antara AS dan Korea Selatan.

Pada saat yang bersamaan, kekhawatiran Jepang terhadap China juga meningkat, yaitu karena  mayoritas impor minyak dan gas ke Jepang mesti melalui Laut Cina Selatan, sebuah lokasi di mana angkatan laut China telah menegaskan dominasinya. Selain itu investasi China di Timur Tengah juga terus meningkat.

Untuk melawan pengaruh China, Jepang berupaya menggunakan kekuatan lembutnya (soft power). Berbeda dengan AS, Prancis, dan Inggris, Jepang tidak memiliki sejarah kekuasaan atau dominasi kolonial di wilayah Timur Tengah.

Selama abad terakhir ini, baik kelompok nasionalis dan Islamis di negara-negara seperti Iran dan Turki telah mengagumi Jepang karena kemampuan mereka untuk memodernisasi diri namun tetap dapat mempertahankan budaya tradisionalnya. Sementara itu, Jepang sendiri cukup berhati-hati untuk menjaga hubungan persahabatan dengan dunia Muslim.

Bantuan Kemanusiaan

Ketika Trump memutuskan untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada tahun 2017, Jepang menolak untuk mengikutinya, dan malah mengutus menteri luar negerinya untuk berkunjung ke wilayah Timur Tengah. Selain itu Kono juga telah menyuarakan pendapatnya bahwa Jepang harus menerima lebih banyak pengungsi dari Suriah.

Jepang juga telah menyumbangkan lebih dari 100 juta dollar AS untuk bantuan kemanusiaan untuk Suriah, dan 320 juta dollar AS untuk Timur Tengah pada umumnya.

Jepang juga mendukung upaya memerangi ISIS, yang mana telah membunuh jurnalis asal Jepang, Kenji Goto, dan menahan beberapa warga negara Jepang lainnya.

Jepang juga memainkan peran penting dalam inisiatif Lembah Perdamaian yang sedang berjalan (Valley of Peace initiative), sebuah upaya pengidentifikasian dan pembuatan zona industri antara wilayah Israel, Palestina, dan Yordania untuk proyek infrastruktur dan pembangunan kolaboratif yang saling menguntungkan.

Namun, apabila dibandingkan dengan China, semua yang dilakukan oleh Jepang tampak kecil. Tentu, Jepang memiliki kekuatan budaya dan itikad, tetapi China adalah kekuatan dunia dengan pasukan militer yang besar. Dan mereka tidak memiliki larangan konstitusional untuk penyebaran pasukan militer yang ofensif, memiliki persenjataan nuklir, dan memiliki kursi permanen di Dewan Keamanan PBB.

China juga memiliki lebih banyak modal. Beijing berupaya memperluas pengaruhnya di Timur Tengah melalui pinjaman dan paket bantuan, dalam bentuk inisiatif Jalur Sutra Baru.

Pada tahun 2018 saja, Beijing telah berkomitmen untuk memberikan bantuan dan pinjaman sebanyak 23 miliar dollar AS dan tambahan 28 miliar AS untuk proyek infrastruktur dan konstruksi yang telah ditandatangani. Beijing juga telah membuka pangkalan militer di Djibouti, di Teluk Aden.

Masih Layak untuk Diperjuangkan

Perkembangan dalam beberapa bulan terakhir telah menunjukkan bahwa pengaruh Jepang di Timur Tengah dan kemampuannya untuk menengahi konflik masih terbatas. Bulan lalu, dua buah kapal tanker disabotase di lepas pantai Oman – salah satunya milik Jepang – dan AS baru-baru ini mengirim kapal induk ke wilayah tersebut, yang mendorong Abe untuk menjadi penengah, yang mana tidak disambut, baik oleh Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei, maupun Trump.

Akan lebih baik bagi Tokyo untuk menerima keterbatasan pengaruh mereka. Untuk memainkan peran kepemimpinan atau untuk menengahi konflik, merupakan sesuatu yang berada di luar kemampuan Tokyo, apalagi melawan pengaruh China.

Namun, ini bukan berarti bahwa Jepang harus mundur dari Timur Tengah. Keahlian, perdagangan, dan investasi Jepang akan tetap disambut di kawasan ini. Upaya mereka tidak diragukan lagi akan membuat perdagangan dan peluang untuk mendapatkan tender meningkat. Dan tentunya, ini bernilai tinggi dan masih layak untuk mereka perjuangkan.

Catatan:

Artikel ini telah tayang di Middle East Eye dengan judul “What is Japan’s strategy in the Middle East?” pada 8 Juli 2019, penulis Simon A Waldman.

PH/IslamIndonesia/Foto Fitur: AFP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *