Satu Islam Untuk Semua

Monday, 18 July 2016

ANALISIS—Bom Bunuh Diri dan Drama Kudeta, Model Baru False Flag dan Playing Victim?


IslamIndonesia.id—Bom Bunuh Diri dan Drama Kudeta, Model Baru False Flag dan Playing Victim?

 

Jumat malam, 15 Juli 2016 waktu setempat: Tak jauh dari lingkungan Taksim Square, dua ledakan keras tiba-tiba terdengar. Ledakan serupa yang terjadi di gedung parlemen Ankara, menciptakan kepulan asap tebal di udara.

Tampak ratusan tentara memblokade Jembatan Bosphorus yang menghubungkan Asia dan Eropa. Suara bising jet-jet tempur yang berseliweran di langit, meraung-raung memekakkan telinga.

Lagi, bunyi tembakan dan ledakan keras terdengar di Istanbul, kota terbesar negara itu.

Lembaga penyiaran negara diambil alih. Di bawah todongan senjata, dengan nada gemetar sang presenter membacakan pernyataan dari faksi militer yang melakukan kudeta. Memaklumatkan bahwa negara sudah berada dalam cengkeraman kuasa tentara.

Beberapa saat, situasi dalam negeri sontak chaos dan kacau. Rakyat yang dicekam suasana histeris serentak berhamburan keluar, berkerumun di jalan-jalan besar kota, melakukan aksi perlawanan dan bersatu memadamkan upaya penggulingan kekuasaan oleh 0,5 % kelompok militer yang konon tak mereka kehendaki itu.

Hanya dalam hitungan 5 jam, percobaan kudeta berhasil digagalkan. Ratusan personil militer yang semula memegang kendali dan menguasai beberapa tempat strategis, dalam sekejap berubah nasib menjadi bulan-bulanan massa.

Saatnya militer diberangus rakyat. Tak sedikit dari mereka bahkan tewas mengenaskan, menjadi korban pembantaian yang dilakukan beramai-ramai oleh rakyat sipil yang ternyata bersenjata. Sementara hampir 200 tentara pembangkang di pangkalan militer, dikabarkan telah menyerah kepada pasukan militer Turki yang masih loyal kepada pemerintah.

ErdoFake

Nun jauh di sana di sebuah tempat, tepatnya di kota pantai Turki bernama Marmaris, Erdogan sang presiden, tampak sedang menikmati suasana libur bersama keluarga. Senyumnya terlihat mengembang saat PM Binali Yildirim mengirim kabar, tampuk kuasa sudah kembali dalam genggaman dan kendali penuh loyalis mereka. Hal senada yang disampaikan Yildirim kepada awak media bahwa situasi di Turki “sebagian besar sudah berada di bawah kendali”.

Recep Tayyip Erdogan, Mantan PM Turki yang berkuasa 3 kali periode sebelum akhirnya menjabat Presiden Turki pada tahun 2014 itu seolah ingin meyakinkan dunia bahwa seruan dan titahnya melalui pesan singkat yang dikirimkannya, agar rakyat turun ke jalan menyelamatkan posisi pemerintah yang sedang terancam, telah membuahkan hasil gemilang. Inilah bukti bahwa rakyat bersamanya, di belakangnya, masih mencintai dan mengagumi kepemimpinannya.

Yildirim mengatakan, seraya memberlakukan zona larangan terbang di atas Ibu Kota Ankara, militer telah diperintahkan oleh presiden untuk menembak jatuh pesawat yang dibajak oleh pasukan militer yang terlibat dalam upaya kudeta. Hasilnya, jet tempur loyalis pemerintah pun telah menembak jatuh, menghanguskan sebuah helikopter yang ditunggangi pemberontak.

Media lokal dan lembaga penyiaran pemerintah mengkonfirmasi, korban tewas dalam peristiwa kudeta gagal itu bertambah, menjadi lebih 100 orang jumlahnya.

Kantor berita pemerintah Turki, Anadolu Agency menyebutkan sekitar 1.154 orang mengalami luka-luka.

Sebelumnya, PM Binali Yildirim juga mengumumkan sebanyak 161 warga sipil menjadi martir, 1.440 cedera, lebih dari 20 prajurit pelaku kudeta, termasuk sejumlah perwira senior, terbunuh dalam peristiwa itu.

Di media sosial Twitter, para netizen terbelah kubunya. Selain berebut saling melontar hashtag #Save dan #Pray untuk Turki dan Erdogan, tak sedikit juga yang saling terlibat kecamuk twitwar; antara pihak yang bersyukur kudeta gagal menggoyang kuasa sang khalifah yang diidolakan dan pihak yang kecewa si otoriter Erdogan masih kembali ke tampuk kekuasaan.

Di Facebook, Telegram dan Whatsapp pun tak ketinggalan. Antara kubu pro dan kontra, berlomba saling mempublish sisi putih dan hitam Erdogan.

Tak ayal, reduplah kehebohan tragedi Nice Prancis yang hanya sehari berselang.

Keesokan harinya, Sabtu, 16 Juli 2016 waktu setempat:

Erdogan muncul di antara kerumunan pendukungnya di bandara utama Istanbul. Rekaman siaran media lokal menunjukkan, lelaki pembangun istana 1.150 kamar itu muncul hanya beberapa jam setelah upaya dramatis faksi militer menggulingkan pemerintahannya yang sah dinyatakan gagal total.

Berbicara pada konferensi pers, Erdogan menyebut upaya menggulingkannya dari kekuasaan adalah “tindakan pengkhianatan” dan mereka yang berada di balik rencana kudeta akan “membayar harga yang mahal”. Dia mengatakan dirinya akan tetap tinggal dengan rakyatnya dan tidak akan pergi ke mana pun setelah terbang kembali ke Istanbul dari Marmaris.

“Tak lama setelah saya pergi, saya diberitahu bahwa mereka melakukan pengeboman di lokasi-lokasi saya berada di sana sebelumnya,” katanya kepada awak media. “Saya menduga mereka berpikir saya masih ada di situ ketika mereka mengebom tempat-tempat itu.”

Dalam kesempatan itu pula Erdogan menegaskan bahwa pelaku kudeta adalah pendukung Fethullah Gulen, ulama moderat dan mantan kawan dekat yang belakangan menjadi musuh bebuyutannya dan kini tinggal di Amerika Serikat. Gulen pindah ke AS pada tahun 1999, sebelum dia dikenai dakwaan pengkhianatan di Turki.

Ya. Gulen, ulama berumur 75 tahun itu, dulunya merupakan karib Erdogan. Namun keduanya berseteru dalam beberapa tahun terakhir seiring kecurigaan Erdogan pada gerakan Hizmet yang dipimpin Gulen. Keberadaan gerakan tersebut, yang menentang keras sikap otoritarian Erdogan, belakangan ini memang kian menonjol di kalangan masyarakat Turki, utamanya di kalangan media, aparat militer dan kepolisian serta kalangan pejabat pengadilan di negara itu.

Kali ini, kembalinya Erdogan ke Istanbul, disusul penangkapan 182 personel militer dari berbagai jenjang kepangkatan, termasuk sejumlah komandan senior yang juga ditangkap di bagian tenggara Provinsi Diyarbakir. Aksi ini melengkapi penangkapan massal 2.839 personel militer yang telah lebih dulu ditangkap atau dikabarkan telah menyerahkan diri.

Selain itu, di antara yang ditangkap terdapat pula Mayjen Metin Akkaya, Komandan Garnisun di wilayah Isparta Mayjen Mustafa Kurutmaz, dan Komandan Pasukan II Turki Jenderal Adem Huduti yang berbasis di Malatya dan bertanggung jawab melindungi perbatasan dengan Suriah, Irak dan Iran. Dengan aksi penangkapan itu terhitung, setidaknya sudah 5 jenderal dan 29 kolonel yang secara serentak telah dibebastugaskan.

Sementara di kalangan aparat pengadilan, sebagaimana diumumkan oleh Hakimler ve Savcılar Yuksek Kurulu (HSYK), yakni lembaga tinggi negara semacam Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, dinyatakan bahwa sebanyak 2.745 hakim telah dinonaktifkan. Tak terkecuali juga 5 orang anggota lembaga tinggi HSYK sendiri yang ikut dipecat. Sedangkan 140 anggota lainnya masih diperiksa.

HSYK secara intensif masih terus menggelar pertemuan untuk mengambil keputusan apakah sejumlah hakim yang menurut Presiden Erdogan termasuk pengikut tokoh spiritual Gulen, tetap bisa berada dalam posisi dan jabatan itu untuk menjalankan fungsinya atau harus dipecat seperti 5 rekan sejawat mereka lainnya.

Melihat fakta-fakta ini, media sosial pun kembali heboh. Di antara sebagian netizen, mulai ada yang melempar hashtag #ErdoFake, #TurkeyFake, #FakeCoup, #ErdoGone, #ErdoMustGo dan semacamnya. Beredar pula ratusan meme yang salah satu di antaranya menampilkan Erdogan yang digambarkan hampir tenggelam dalam lautan merah darah, berkata, “The Coup was A God’s Blessing!”

Banyak kalangan mulai ragu, alih-alih menyebut kudeta yang terjadi di Turki merupakan kudeta asli, mereka kuat menduga bahwa semua itu tak lebih dari drama dan mainan Erdogan untuk mendongkrak popularitasnya sekaligus upaya sistematis untuk menghabisi musuh-musuh politiknya, baik di kalangan militer dan kepolisian maupun kehakiman, yang selama ini telah diketahui lebih mendukung dan berpihak kepada pemikiran dan sikap moderat Gulen.

Lebih jauh, kudeta palsu itu ditengarai banyak pihak sebagai bagian dari operasi “false flag” ala Erdogan, serupa aksi bom bunuh diri yang terjadi di Arab Saudi atau Madinah beberapa waktu lalu.

Artinya, percobaan kudeta di Turki dan bom bunuh diri di Saudi Arabia tampaknya merupakan kejadian yang sudah direkayasa para penguasa kedua negara tersebut, demi meraih simpati dunia Islam dan menutupi kejahatan mereka yang telah menciptakan dan mendanai monster-monster semacam ISIS dan Al-Qaeda. Mereka mau cuci tangan dan mencitrakan seolah mereka adalah korban.

Thus, inilah bentuk lain kecanggihan dari apa yang disebut netizen sebagai playing the victim, sebagai akting bom bunuh diri dan kudeta yang diorkestra secara matang oleh sang sutradara. Sutradara cerdas dan kreatif yang sejak awal sudah siap menjadi “korban” yang patut dikasihani saat layar telah ditutup dan pertunjukan kolosalnya telah usai.

 

EH/IslamIndonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *