Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 17 May 2015

OPINI – Makna Isra’ dan Mi’raj (2)


Masih dalam kaitan dengan surat pengantar atas surat Al-Isra, yaitu surat Al-Nahl. Pada ayat pertama surat An-Nahl (Lebah), Allah berfirman: “Telah datang ketetapan Allah (Hari Kiamat). Oleh sebab itu janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya…”

Pertanyaannya, mengapa Allah mengatakan kiamat telah datang? Mengapa Allah juga menyatakan “jangan meminta agar disegerakan datangnya”? Jawabannya: kalimat-kalimat ini untuk memberi isyarat sekaligus pelajaran bahwa Allah tidak mengenal waktu dalam mewujudkan sesuatu. Hari ini, esok, juga kemarin, adalah waktu perhitungan manusia, perhitungan makhluk. Allah sama sekali tidak terikat dengannya, sebab Dialah yang menciptakan dan mengendalikan waktu.

Dia tidak punya batas waktu dalam mewujudkan sesuatu. Di hadapan Allah, waktu kemarin, sekarang dan besok itu sama saja. Itulah yang Dia tegaskan dalam surat pengantar ini: Maka perkataan Kami kepada sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya menyatakan kepadanya “kun” (jadilah), maka jadilah ia (QS 16:40).

Di sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada akhirnya, ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang dikehendaki-Nya. Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa.

Kedua, segala sesuatu, menurut kalangan ilmuwan, juga menurut Al-Quran, mempunyai sebab-musabab. Tetapi, apakah sebab-musabab setara dalam kekuatannya mewujudkan sesuatu itu? Menurut para ilmuwan dan filosof, tidak. Demikian juga menurut Al-Quran. Para ilmuwan yang melakukan observasi empiris dapat menemukan sebab-musabab terdekat, sementara para filosof mencoba menemukan sebab ontologis atau sebab utama (kausa prima).

Namun, baik para ilmuwan maupun para filosof percaya bahwa sebab yang mewujudkan dan menciptakan sesuatu berada di luar jangkauan manusia, dan memiliki sifat-sifat yang sama sekali berbeda dengan yang lain. Albert Einstein pernah menyatakan bahwa semua yang terjadi diwujudkan oleh “superior reasoning power” (kekuatan nalar yang adikuasa). Atau, menurut bahasa Al-Quran, “Al-‘Aziz Al-Alim”, Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.

Inilah yang ditegaskan oleh Allah dalam surat An-Nahl yang mengantar surat yang mengisahkan peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu dengan firman-Nya: Kepada Allah saja tunduk segala apa yang di langit dan di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka) (QS 16:49-50).

***

Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah: “Janganlah meminta untuk disegerakan.” Sayangnya, manusia bertabiat tergesa-gesa, seperti ditegaskan Tuhan ketika menceritakan peristiwa Isra’ ini: “Adalah manusia bertabiat tergesa-gesa.” (QS 17:11). Ketergesa-gesaan inilah yang antara lain menjadikannya tidak dapat membedakan antara: (a) yang mustahil menurut akal dengan yang mustahil menurut kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dengan yang tidak atau belum dimengerti oleh akal, dan (c) yang rasional dan irasional dengan yang suprarasional.

Dari segi lain, dalam kumpulan ayat yang mengantarkan uraian Al-Quran tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, dalam surat Isra’ sendiri, berulang kali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut. Simaklah ayat-ayat berikut: Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya (QS 16:8); Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS 16:74); dan Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS 17:85); dan banyak lagi lainnya.

Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya: Dan janganlah kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan maupun tindakan) yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut; karena sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36).

Kalau demikian, seandainya, sekali lagi seandainya, pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara ilmiah atas peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini; kalau betul demikian adanya dan sampai saat ini masih juga demikian, maka tentunya ketidaksampaian pengetahuan itu bukanlah dalil ketiadaan. Apalagi jika yang kita maksudkan di sini adalah pembuktian saintifik, yakni observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja.

Kita percaya pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj, karena tiada perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi berulang kali selama semua itu diciptakan serta berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa. Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini, digambarkannya bagaimana kelak orang-orang yang tidak mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus diambilnya. Allah berfirman: Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap (pengingkaran) mereka. Jangan pula kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang orang yang berbuat kebajikan. (QS 16:127-128).

Inilah pengantar lain yang disampaikanAlquran sebelum mengisahkan peristiwa Isra’ dan Mi’raj.

MH/Saduran dari Tafsir Al-Misbah karya Prof. Quraisy Shihab

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *