Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 17 January 2015

OPINI: Islam Dan Demokratisasi Ekosob Di Indonesia


* IVAN HADAR

Oleh banyak ilmuwan dan pengamat nasional maupun internasional, basic landscape Islam di Indonesia dinilai relativ moderat dan demokratis. Pandangan bahwa kedaulatan rakyat sebagai elemen dasar demokrasi tidak kompatibel dengan Islam, apalagi “fatwa” dimukratia kufr (Ben Hadj), tidak popular di negeri ini.

Mencermati sejarah, ekspansi Eropa ke Timur Tengah sebagai “pusat dunia Islam” pada awal abad ke-19, sempat disambut cukup baik. Banyak yang menaruh harapan pada prinsip-prinsip liberte, egalite, fratemite (kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan) demi penentuan kedaulatan dan pembentukan negara bangsa (Antonius, 1983). Tetapi harapan tersebut dengan cepat sirna, karena ternyata prinsip-prinsip dasar Revolusi Perancis tadi, tidak diberlakukan bagi daerah jajahan.

Untuk melegitimasi diskriminasi dan penaklukan, pemerintah kolonial Barat memerlukan pembenaran ideologi.  Edward Said, dengan cemerlang mengungkapkan hal ini, ketika ia menyebut Orientalism sebagai alat diskriminasi dan kontrol politik, ekonomi dan budaya Orient (Timur). Kekaguman, berbarengan dengan penghinaan terhadap Orient yang tertulis baik dalam literatur ilmiah maupun picisan (trivial), menurut Said, adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama.  Hal itu misalnya, tampak jelas dalam formulasi Ernest Renan (1883): “Kesederhaan cara berpikir Orient membuatnya tertutup dari hal yang subtil…tanpa didasari observasi rasional.”

Cara pandang tersebut, ternyata berkesinambungan dengan Huntington sebagai contoh terbaru yang menganggap kebudayaan non-Barat, terutama kebudayaan Islam, tidak kompatibel terhadap pengembangan kebebasan individu, demokrasi politik, negara hukum serta Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Berbagai hal tadi, menurut Huntington, menjadikan kebudayaan Barat unik.

Politik penjajahan dan wacana kolonial (Orientalisme) bertanggungjawab atas munculnya “identitas tandingan” yang sedikit banyak telah menghalangi munculnya konsep yang penuh percaya diri dalam dunia Islam.

Pada saat yang sama, berbagai model pembangunan di hampir semua negara bermayoritas Muslim, telah melahirkan lapisan tipis pemenang modernisasi berhadapan dengan mayoritas mereka yang miskin.  Kegagalan model-model pembangunan itu, telah mempertajam krisis legitimasi secara dramatis, tercetus dalam pertanyaan berikut. Bukankah baik kapitalisme maupun sosialisme, adalah dua sisi dari mata uang yang sama, yaitu ateisme? Lebih dari itu, bukankah kemiskinan dan kemelaratan rakyat jelata akibat korupsi dan ketamakan penguasa yang hidup dengan gaya hidup modern dan kebarat-baratan? Menguatnya gerakan protes – atau bahkan teror – anti-Barat sebagai pendukung demokrasi (yang sering berstandar ganda) di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, termasuk di Indonesia, bisa dilihat dari sudut pandang ini. Sinyalemen Huntington tentang The Clash of Civilizations seakan menjadi self-fulfilling-prophecy.

Untuk melegitimasi tindakan militer, pasca 11 September 2001, AS dibawah Bush melancarkan propaganda tentang bahaya “Islam Fundamentalis” secara generalisasi dan tanpa mengacu pada akar permasalahan. Konsep tentang “risiko baru” berupa ancaman fundamental terhadap Barat oleh gerakan Islamisme juga ditemui dalam doktrin pertahanan AS dan sekutunya. Misalnya, apa yang termaktub dalam “Buku Putih Pertahanan” Perancis: “Ekstrememis Islam, tak bisa dipungkiri, merupakan bahaya yang mencemaskan.  Ia mengambil alih posisi komunisme sebagai bentuk perlawanan terhadap dunia Barat”. (Republique France, Livre blanc de la defence, Paris 1994:18).

Kecurigaan dan represi (kebudayaan) menutup pintu dialog yang, pada gilirannya, melahirkan perlawanan termasuk dalam bentuknya yang ekstrem berupa teror sebagai bentuk artikulasi politik mereka yang tertindas.  Hal ini, memperkuat lingkaran setan karena dapat menjadi alasan untuk melegalisasi semua bentuk represi.  Dalam kondisi politik demikian, asumsi berikut ini benarlah adanya: “…bahwa definisi terorisme ini relatif dan mudah untuk mengkriminalisasi oposisi, termasuk mereka yang mempunyai tujuan demokratis sekalipun.“ (Schulze, 1993:22).

Kesimpulan dari uraian diatas adalah bahwa kedudukan Islam terhadap proses demokratisasi, sangat tergantung pada kondisi riil-politik sebuah bangsa serta kepentingan ekonomi-politik yang lebih besar. Di Indonesia, periode ketika “Islam” dipinggirkan, untuk kemudian “dirangkul” oleh penguasa Orde Baru, telah dilalui dan diharapkan berperan mematangkan sikap umat dalam bersinggungan dengan kekuasaan.

Pemilu 1999, 2004, 2009 dan 2014 tidak memunculkan partai Islam per se sebagai pemenang. Dari berbagai jajak pendapat untuk Pemilu 2009, hal yang sama diperkirakan bakal terjadi. Hal tersebut membuat penilaian bahwa Muslim di negeri ini memang memiliki sikap pluralistis.

Dalam sebuah tatanan demokratis, aspek yang paling krusial adalah demokratisasi ekosob – ekonomi, sosial dan budaya. Demokrasi politik yang relativ maju di Indonesia, belum dibarengi terjadinya proses demokrasi ekosob. Kemiskinan, masih menjadi momok dan sangat sulit diberantas akibat mengguritanya korupsi. Strategi pembangunan ekonomi neo-liberal yang menjadi “ideologi” pemerintah saat ini, mempercepat kesenjangan kaya-miskin. Jumlah mereka yang miskin dan hampir miskinpun, semakin membludak, mencapai angka di atas 100 juta jiwa.

Tugas ummat di negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini, adalah ikut mengatasi persoalan ini. Sebagai ummat “Agama Jalan Tengah”, Muslim Indonesia dituntut untuk menghentikan kecenderungan penguasa yang condong memberikan keuntungan kepada pengusaha dan perusahaan besar dan asing dengan mengorbankan wong cilik (dari manapun asal-usulnya) serta perusahaan mikro dan kecil. Tanpa itu, demokratisasi ekonomi, sosial dan – pada gilirannya juga – budaya, mustahil terjadi.

* IVAN HADAR, Direktur Eksekutif IDe (Institute for Democracy Education)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *