Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 26 October 2014

Bibit-Bibit ISIS di Sekitar Kita (Bagian Pertama)


Habib Ali Aljiri

Mufti Besar Mesir, Shawqi Allam, telah melakukan langkah tepat sekali dengan mendesak orang untuk mengganti penyebutan ISIS (Islamic States of Iraq and Syiria) menjadi QSIS (Qaeda Separatist in Iraq and Sham) atau Sempalan Al-Qaeda di Irak dan Suriah. Lantaran dunia telah lama memerangi Al-Qaeda, maka salah satu taktik kelompok ini ialah dengan menciptakan berbagai cabang organisasi seperti Jund Al-Islam (Mesir), Anshar Al-Syaria (Mesir, Libya, Yaman), Anshar Bayt Al-Maqdis (Mesir) dan yang paling terakhir, ISIS.

Kelompok-kelompok ini muncul sebagiannya karena fakta bahwa keyakinan sesat mereka telah berakar dalam sistem pendidikan kita, masjid kita, media kita — dan bahkan dalam cara kita berpikir, bereaksi dan menjalani hidup.

Pelbagai kurikulum sekolah di sebagian negara Muslim dipenuhi dengan virus fundamentalisme dan ekstremisme yang memunculkan generasi ekstremis. Sekolah-sekolah inilah yang kini berusaha untuk cuci tangan dari tuduhan melahirkan alumni-alumni seperti itu.

Sejalan dengan itu, lembaga-lembaga lain memberikan pendidikan yang tidak efektif dan lemah. Jumlah pengetahuan tentang Islam yang mereka berikan kepada kalangan siswa tidak memadai untuk melindungi mereka dari jerat jaring laba-laba perekrut ekstrimis. Kita melihat dokter, insinyur dan matematikawan—semuanya lulusan lembaga-lembaga ini—ikut bertempur di jajaran pasukan ISIS. Kita juga telah melihat banyak lulusan dari berbagai cabang regional universitas-universitas asing dan Amerika yang mendaftar ke ISIS.

Setelah serangan 11 September di Amerika Serikat, sebagian besar negara Muslim menghapus pengajaran tentang jihad dari kurikulum sekolah. Hasilnya, generasi remaja Muslim justru tidak memahami aturan jihad yang benar menurut hukum Islam yang hakiki. Maka, kaum ekstrimis mampu dengan mudah meyakinkan mereka bahwa aksi-aksi kejahatan yang mereka tebar dengan kedok jihad adalah “jihad” yang sesungguhnya.

Demikian juga, masjid di banyak negara cenderung jatuh ke dalam dua kategori.

Pertama, masjid dimana pengkhotbahnya rutin mengisi pikiran jamaah dengan ekstremisme dan intoleransi, memenuhi hati mereka dengan kebencian dan dendam, dan menyesaki jiwa mereka dengan kemarahan dan kesombongan. Khotbah mereka berapi-api, kuliah mereka licik dan bahkan kelas-kelas menghafAlquran yang mereka gelar menjadi sarana untuk merekrut para pemuda sejak usia dini.

Kedua, masjid dengan para pengkhotbah yang sekadar melakukan pekerjaan. Mereka tidak memiliki keinginan yang tulus untuk memanggil orang-orang kepada Allah, untuk melayani mereka dan untuk memperbaharui iman mereka. Khotbah mereka lemah dan dangkal. Jamaah hadir hanya untuk melakukan kewajiban agama. Mereka datang hanya untuk sholat, dan meninggalkan mesjid dalam keadaan yang sama seperti mereka masuk — bahkan lebih jenuh dan tidak puas.

Lalu ada peran yang dimainkan oleh kanal teve satelit. Di sini juga ada dua kategori:

Pertama, kanal yang menayangkan wacana keagamaan yang membangkitkan kebencian, menutup pikiran dan mendorong sektarianisme. Agamawan ditampilkan sebagai seseorang yang jauh dari keindahan, cinta dan perenungan. Mereka juga menggunakan iman sebagai alat pemasaran untuk menjual produk yang tidak berbeda dari yang sudah ada, kecuali bahwa produk-produk itu memiliki label-label keagamaan seperti “Mecca Cola”, “Zam Zam Cola” dan “Kabah Perfume”. Mereka bahkan memasarkan obat-obatan herbal yang secara sembarangan diberi label “Pengobatan Nabawi”.

Kedua, kanal teve satelit yang mempermainkan emosi masyarakat dengan mengklaim bahwa siapa pun boleh mengeluarkan keputusan hukum atau fatwa. Mereka mengentengkan topik-topik sakral, menyerang nilai-nilai agama, dan menyebar-luaskan ajaran-ajaran sekuler garis keras. Dalih mereka adalah hak kebebasan berekspresi, kebebasan mereka untuk ‘mencerahkan’ masyarakat dan kebebasan mereka untuk mencetuskan perubahan. Semua ini mereka lakukan sambil melecehkan nilai-nilai, etika atau norma-norma sosial.

Dengan gaya seperti itu mereka sejatinya sedang memperparah defisit mental dan emosional yang dirasakan oleh banyak pemuda: perasaan-perasaan tulus berupa kepedulian dan keinginan melindungi agama, yang dirasakan oleh para pemuda terhadap agama mereka dan nilai-nilai mereka, serta kemarahan yang mereka rasakan ketika simbol-simbol agama mereka dipermainkan.

Kelompok ekstremis memanfaatkan situasi ini dengan menawarkan jalan pelampiasan perasaan ini, yakni bergabung dalam perjuangan bersenjata “membela” agama dan nilai-nilai mereka.

Bersambung…

* Habib Ali Al-Jifri adalah ulama pendiri Tabah Foundation, sebuah institute penelitian di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Saduran ini merujuk pada opini Al-Jifri, “Defeating ISIL’s appeal starts long before youth hear the call of jihad”, yang diterbitkan pertama kali The National, koran berbahasa Inggris di Abu Dhabi, pada 18 Oktober 2014.

(MK/The National)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *