Satu Islam Untuk Semua

Friday, 23 November 2018

Renungan Pagi – Abdillah Toha: KEBODOHAN


islamindonesia.id – Kolom Abdillah Toha: KEBODOHAN

 

 

Bodoh itu berarti tidak pandai. Tidak cerdas dan sulit memahami hal yang sederhana. Apalagi yang kompleks. Bodoh juga bisa diartikan sebagai tidak tahu atau tidak berpengetahuan. Jahil atau dalam bahasa Inggris ignorant. Orang bodoh juga sering diberi makna sebagai mereka yang tidak cukup berpendidikan. Artinya, orang berpendidikan itu pasti tidak bodoh. Benarkah demikian?

Belum tentu. Orang bisa pintar dalam berhitung tapi bodoh dalam menilai orang atau obyek. Bisa berpendidikan tinggi dalam ilmu fisika tapi dungu dalam menyaring berita. Bisa ahli dalam ilmu agama tapi tak mampu menyampaikan dakwah yang berkesan di hati. Tak satu orang pun di dunia yang menguasai seluruh keahlian dalam semua bidang. Setiap orang pasti ada bodohnya dalam bidang tertentu.

Dalam hubungan ini, ada orang yang sadar dan mengaku bahwa dirinya bodoh  dan ada yang tidak tahu atau tidak mau mengakui kebodohannya. Yang masuk kelompok pertama punya harapan untuk memperbaiki diri. Sedang yang kedua bisa membahayakan dirinya dan orang lain.

Bodoh tidak saja dihubungkan dengan pengetahuan tetapi juga bisa dihubungkan dengan perasaan dan emosi. Istilah populernya EQ (Emotional Quotient) yang rendah. Inilah orang yang tidak peka terhadap sekelilingnya, tidak mampu mengendalikan emosi, biasanya kurang pergaulan, lambat belajar dari kesalahan sikapnya, dan cenderung cepat bereaksi tanpa berpikir matang.

Belakangan ada pula istilah spiritual intelligence (SQ). Orang yang SQ-nya rendah atau bodoh spiritual, secara sederhana bisa diartikan sebagai kesulitan dalam memahami hal-hal yang bersifat non fisikal. Sulit mengerti dunia secara utuh, tidak kenal siapa dirinya dan asal usulnya, menganggap hidup terbatas pada apa yang bisa dilihat dan dipegang serta dirasakan dengan indranya. Inilah orang yang nyaris tak pernah bertanya mengapa.

Dalam Islam, sumber kecerdasan manusia adalah kombinasi antara akal, hati, dan iman. Makin jauh kita dari tiga hal tersebut makin dekat kita pada kebodohan. Islam menaruh ahli dan ilmuwan pada tingkat yang tinggi dan terhormat. Allah memerintahkan manusia untuk bertanya kepada ahlinya bila kita tidak tahu. Untuk itu kita harus lebih dahulu mengenal dan mengakui ketidaktahuan kita.

Islam lebih menekankan hati dan iman dalam upaya untuk mencapai tiga tingkat kecerdasan seperti disebut di atas. Mengandalkan kecerdasan akal saja bisa menjerumuskan orang ke jurang kehancuran bila tak disertai keyakinan bahwa akal tak mungkin menjangkau semua pengetahuan. Kecerdasan akal juga harus dilengkapi dengan kecerdasan moral dan rohani.

Kebodohan adalah malapetaka dan sumber segala permasalahan masyarakat. Kebodohan antara lain adalah salah satu penyebab utama kemiskinan. Gagal memahami apa yang baik dan bermanfaat bagi kelangsungan hidup bersama telah menimbulkan berbagai tragedi kemanusiaan dalam sejarah. Kebencian, perseteruan, perang dan saling bunuh antar manusia yang tak pernah berhenti adalah beberapa contoh akibat kebodohan universal.

Al-Quran dalam beberapa ayatnya telah memperingatkan kita bahwa sesungguhnya sebagian besar manusia itu bodoh (aktsaruhum la ya’lamun). Agama yang berlandaskan pesan dan wahyu Allah melalui para nabi pilihanNya juga belum mampu menciptakan kedamaian duniawi yang abadi sehingga sebagian orang berkesimpulan bahwa barangkali dunia akan lebih tentram tanpa agama. Penyebabnya tidak lain adalah kebodohan yang berakibat gagal memahami dan melaksanakan dengan benar pesan dan wahyu Allah.

Pendidikan yang digalakkan di dunia modern telah berhasil mengurangi jumlah manusia bodoh di mana-mana. Namun demikian, pendidikan yang lebih diarahkan pada sisi akal saja dengan mengenyampingkan kecerdasan mengendalikan nafsu, terbukti tidak menjamin manusia berpendidikan menjadi lebih cerdas dan bijak. Begitu pula keterbatasan wawasan yang disebabkan oleh kecenderungan makin sempitnya bidang spesialisasi pendidikan, telah menekan daya kritis dan menghasilkan “kebodohan” baru pada orang-orang berpendidikan. Dan ini lebih berbahaya karena mereka yang berpendidikan biasanya berposisi di depan dan dijadikan contoh teladan oleh masyarakat awam di belakangnya.

Nafsu kekuasaan dan keserakahan juga sampai batas tertentu telah mendorong elit mengeksploitasi emosi dan kebodohan orang berpendidikan dan awam yang tak berpendidikan untuk tujuan sempit mereka. Masyarakat dipecah menjadi kelompok yang mengancam dan terancam. Bayangan ketakutan dan ancaman bahaya terhadap eksistensi mereka disebarluaskan dengan tawaran bahwa hanya pemimpin tertentu yang bisa menyelamatkan mereka. Fakta dan data benar dan palsu dijajakan dengan penafsiran sesuai selera penjaja.

Yang membuat kita lebih masygul adalah ketika dalam komunitas majemuk seperti di negeri kita, sentimen agama dilibatkan dalam merebut simpati masyarakat secara tidak benar melalui proses pembodohan. Masyarakat awam beragama yang sebenarnya hanya mendambakan kehidupan yang tenang, kemudian tergoda dan terbawa oleh harapan-harapan palsu bahwa kehidupannya akan menjadi jauh lebih menjanjikan dengan mengikuti jalan pikiran dan penafsiran agama mereka.

Menjadi cerdas dan menghindar dari  kebodohan itu sebenarnya adalah sebuah pilihan melalui upaya sungguh-sungguh dalam mengenal diri dan memberi respon yang tepat terhadap stimulus dari luar. Selebihnya, kita memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk mengulurkan tanganNya dalam usaha kita menggapai kebenaran.

“اللهُمَّ أَرِنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا التِبَاعَةَ وَأَرِنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ”

Ya Allah, tunjukkan kepada kami bahwa yang benar itu benar dan limpahkanlah kepada kami kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukkan kepada kami bahwa yang salah itu salah, dan limpahkanlah kepada kami kekuatan untuk menjauhinya.”

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *