Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 24 December 2022

Kolom – Musa Alkadzim: Menafsir Ulang Kemenangan Islam


islamindonesia.id – Kolom – Musa Alkadzim:  Menafsir Ulang Kemenangan Islam

Jargon tentang kemenangan Islam sudah begitu sering kita dengar. Ia terdengar menggoda sekali. Banyak yang terjebak dengan jargon ini dengan menunjukkan sikap arogan kepada golongan yang mereka anggap sebagai non-Muslim. Dalam bahasa Inggris, ada padanan yang tepat untuk jargon ini, yakni “triumphalisme”.

Triumphalisme biasanya berbentuk sorak-sorai gembira atas suatu kemenangan politik tertentu atau keyakinan penuh akan kemenangan politik yang akan diraih oleh golongannya. Dalam konteks agama, triumphalisme timbul ketika penganut agama tertentu merasa bahwa Tuhan akan memberinya kemenangan atas semua kelompok penganut agama lain.

Di kalangan umat Islam, perasaan atau keyakinan ini timbul akibat pemahaman yang sempit atas beberapa ayat dan hadis Nabi. Di antara ayat yang berbicara tentang kemenangan ini terdapat dalam surah At-Tauba ayat 33, surah Al-Fath ayat 28, dan surah ash-Shaff ayat 9.

Dalam Al-Qur’an juga ada ayat-ayat lain yang menyatakan bahwa Allah akan memberikan kelapangan, keterbukaan setelah kesulitan, fath (yang sayangnya secara keliru diartikan sebagai penaklukan) dan sebagainya kepada Nabi dan Mukminin.

Dalam hadis-hadis Nabi juga ada ungkapan-ungkapan yang bermakna serupa. Khususnya dalam kaitannya dengan akhir zaman dan kemunculan Imam Mahdi.

Tentu saja dalam kaitannya dengan tafsir dan aplikasi teks-teks tersebut muncul ikhtilaf yang besar di kalangan ulama Islam. Tiap golongan menafsirkan dan menerapkan teks-teks itu untuk membenarkan pandangan-dunia yang telah mereka bangun, demikian pula untuk mengukuhkan pilihan-pilihan politik yang telah mereka tetapkan sebelumnya. Dan karena itulah, triumphalisme dalam sejarah Islam ini menjadi topik yang pelik dan menimbulkan perdebatan yang tidak berkesudahan.

Namun demikian, kenyataan hari ini justru menunjukkan betapa pentingnya seorang Muslim memaknai, menafsirkan, dan menerapkan kemenangan itu dalam konteks yang berbeda. Bahkan boleh jadi bertolak-belakang dari apa yang selama ini didengungkan oleh pandangan arus-utama Islam yang kental dipengaruhi oleh latarbelakang sosial-politik golongan masing-masing.

Kita perlu melihat teks-teks itu dengan lensa yang berbeda, agar kita dapat menemukan makna yang lebih dalam dan lebih objektif sekaligus lebih relevan dengan realitas dan situasi yang ada.

Saya pribadi lebih memaknai kemenangan Islam dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi dalam konteks spiritual dan metafisik. Dengan kata lain, kemenangan Islam, sejak masa wahyu dan kenabian, persisnya adalah dalam kemenangan rasional dan moral.

Islam sudah menang dan akan selalu menang dalam prinsip-prinsip utamanya yang sesuai dengan fitrah seluruh manusia yang waras dan jujur. Kemenangan Islam adalah kemanusiawian maqashid syariah yang dikandungnya.

Kemenangan politik dalam arti sekelompok Muslim muncul untuk mengalahkan semua kelompok lain bukan saja bertentangan dengan realitas umat saat ini tapi juga tidak ada memiliki pembenaran rasional, objektif dan landangan moralnya. Kemenangan politik atau militer seperti itu hanya akan menimbulkan imperialisme, militerisme atau kapitalisme berbaju Islam.

Meskipun makna yang terakhir inilah yang begitu menggoda banyak demagog dan Islamis yang haus kekuasaan, tapi dalam perspektif filosofis dan ilmiah, kemenangan imperialistik, militeristik dan kapitalistik sebagaimana yang pernah diraih umat Islam dahulu bukanlah yang dicita-citakan Nabi Muhammad Saw, maupun para nabi sebelumnya saat memimpin umat-umat mereka.

Kita bisa membaca narasi Al-Qur’an tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Musa. Saat kedua nabi ulul azmi itu telah mengalahkan raja-raja terbesar di zamannya, mereka tidak lantas mendeklarasikan diri sebagai raja-raja baru melainkan tetap menjadi pemimpin umat tanpa negara dan balatentara.

Nabi Ibrahim berhijrah memenuhi perintah Allah memugar Ka’bah dan Nabi Musa melanjutkan perjalanannya ke Palestina meskipun Fir’aun dan segenap pasukannya telah tenggelam di laut.

Nabi Muhammad juga menunjukkan sikap ruhani dan moral yang tinggi setelah fathu Makkah. Sebagaimana dituturkan dalam sejarah, Nabi Muhammad tidak mengkonsolidasi kemenangannya dengan menghabisi seluruh musuhnya atau mengadakan pengadilan rakyat bagi mereka. Semua sikap dan pilihan Nabi Muhammad setelah pembebasan Makkah menunjukkan bahwa misi beliau adalah moral, spiritual dan intelektual.

Dampak politik dari misi beliau bukanlah target utama melainkan efek yang tak terelakkan dari kemenangan spiritual, moral dan intelektual yang gilang gemilang. Bahkan para sarjana Islam telah menunjukkan dalam berbagai karya mereka dalam bidang-bidang studi Islam yang berbeda-beda bahwa segenap perang Nabi Muhammad bersifat defensif dan tidak pernah agresif. Alasannya tentu karena dalam diri seorang Nabi ada sifat Rahmat Ilahi yang selalu memberi kesempatan perbaikan manusia, baik dalam tataran individual maupun sosial.

Demikianlah, kita harus waspada terhadap ajakan-ajakan politisi berbaju ulama untuk meraih kemenangan golongan atas golongan lain, memprovokasi kelompok-kelompok Muslim untuk mengalahkan kelompok-kelompok Muslim maupun yang di-non-Muslim-kan dan sebagainya. Marilah kita waspadai ajakan-ajakan itu sebagai bagian dari propaganda triumphalis yang ada dalam hampir semua agama.

AL/Islam Indonesia/Featured Image: www.dakwatuna.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *