Satu Islam Untuk Semua

Monday, 28 April 2014

Ingatan Saya Tentang Seorang Pengungsi


foto:hanane.me

“Agama seharusnya adalah cinta…” (Mahatma Gandhi)

 

SAYA ingat cerita seorang pengungsi tua bernama Kasim. Lelaki itu sangat percaya,Tuhan adalah milik semua orang yang beriman, apapun agamanya. Itu pula yang ia pegang ketika kampung halamannya dan para tetangganya yang sebagian bukan Muslim harus membuktikan bahwa mereka adalah manusia yang tak mempertuhankan perbedaan.

Saat itu adalah pagi di 13 tahun yang lalu, kala  matahari baru saja muncul dari arah timur Sayo, sebuah kampung di Poso. Baru lima menit, lelaki setengah baya itu naik ke dangau, saat suara panik orang-orang terdengar olehnya. “Kota rusuh! Kota rusuh!” Seperempat jam kemudian, berkumpullah para petani di dangau miliknya. Mereka sangat cemas, kerusuhan akan melebar ke Sayo. Atas usul salah satu petani, bersama-sama mereka turun ke kampung. “Pekerjaan kebun yang belum selesai terpaksa kami tinggal,” tuturnya kepada saya ketika mengunjunginya di daerah pengungsian.

Sekitar pukul 9, mereka sampai di kampung. Suasana terasa mencekam. Sebagian besar warga Sayo sudah mengungsi ke Markas Komando Distrik Militer (Kodim) Poso. Lelaki yang lengkapnya bernama Kasim Tatuwo itu, bergegas menuju rumah, menemui keempat anggota keluarganya. “Mereka lalu saya antarkan ke Markas Kodim, saya sendiri balik lagi ke kampung untuk jaga-jaga,” kenangnya.
Sejak itu, hari-hari Kasim dan ratusan lelaki Sayo selalu dipenuhi ketegangan. Mereka harus berjibaku mempertahankan Sayo dari para penyerang, dengan hanya mengandalkan batu dan parang. “Sedang dari pihak mereka ada yang pake bedil,” ujarnya. Tak heran, karena ketidakseimbangan itu, banyak rekan-rekannya yang tewas. Muslim maupun Kristen.

Hampir satu setengah bulan bertahan, Sayo akhirnya jatuh ke tangan salah satu pihak penyerang. “Kami dikepung beberapa hari, tapi alhamdulillah bisa lolos,” kata kakek dari lima cucu itu. Dengan sedih, mereka tinggalkan kampung halaman. Mereka hanya bisa menatap dari jauh, saat Sayo mulai dilalap api.
Lepas dari maut, Kasim kemudian menyusul keluarganya ke Kodim Poso. Berbulan-bulan mereka jadi pengungsi. Sampai suatu hari aparat mengantarkan mereka kembali ke Sayo. “Tapi tidak lama, karena Sayo kembali diserang dan kami jadinya mengungsi lagi.”

Di tengah kebingungan mencari tempat berteduh, pada Januari 2001, Kasim “menemukan” sebuah hotel yang telah terbakar di Jalan Pulau Samosir, Poso. “Saya berpikir, kenapa tidak saya bawa keluarga saya ke sini?” ujar laki-laki berdarah Gorontalo itu.

Pada 9 Januari 2001, Kasim memboyong anak istrinya ke tempat itu. Dari sana, ia menyambung kembali alur hidupnya. “Mulanya saya menafkahi keluarga dengan bekerja serabutan,” katanya. “Tapi alhamdulillah, beberapa bulan kemudian saya diterima kerja di Dinas Kebersihan Kabupaten Poso.”
Awalnya, bekas hotel itu ditempati hanya keluarga Kasim. Lambat laun, banyak pengungsi dari Sayo datang dan tinggal juga di sana. “Sekarang sudah ada 14 KK yang tinggal di sini,” ujar Kasim.

Walau kecil dan kumuh, Kasim dan keluarganya sekarang sudah memiliki tempat bernaung. Namun situasi itu tidak lantas melarutkan rasa rindunya untuk melihat Sayo dan mengurusi lagi ladang-ladang yang sudah lama ia tinggalkan. Kendati mengaku betah, Kasim sadar bangunan itu bukan hak milik dia. “Ini tempat bukan milik kitorang. Hak saya ada di Sayo,” katanya pelan. Lalu apakah dia percaya semua yang terjadi pada dirinya dikarenakan agama? “Kalau mereka beragama, tak mungkin kitorang dijadikan menderita begini,”ujarnya lirih

 

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *