Satu Islam Untuk Semua

Monday, 05 May 2014

Festival Film Santri 2013: Kartu Pos dari 10 Pesantren


foto:engagemedia.org

Ketidaktahuan adalah sumber dari ketidakmengertian dan itu berujung pada sikap saling curiga serta memusuhi. Terkait konteks tersebut, Festival Film Santri  merupakan ajang  yang sangat penting. 


SETAHUN lalu, pernah digelar suatu ajang yang bertajuk Festival Film Santri 2013 (FFS 2013). Kendati ajang ini sudah berlalu, namun saya melihat FFS 2013 sangat penting dan masih relevan hingga saat ini. Bbahkan sepertinya akan terus menjadi isu signifikan, selama dinamika dan dialog antara agama dan budaya masih berlangsung.   

Ada beberapa faktor yang menjadikan FFS 2013 memiliki posisi  penting. Pertama, konten FFS 2013 yang memiliki muatan toleransi dan koeksistensi serta menghargai keragaman. Kedua, pembuatnya adalah para santri, sehingga penonton secara langsung dan tak langsung mendapatkan gambaran mengenai isi kepala “orang dalam pesantren”, yang acap kali dianggap sarang teroris dan label negatif lainnya.  FFS 2013 juga menjadi cermin bagaimana para santri memahami pluralitas dan perbedaan. Ketiga, film-film yang ada dalam FFS 2013 bisa menjadi duta dan representasi ke dunia internasional bahwa masih sangat banyak pesantren yang membawa visi dan misi perdamaian, koeksistensi, dan toleransi.

Alhamdulillah, dalam suatu kesempatan, Suraji (program officer  dari Search for Common Ground/SFCG) mengatakan kepada saya bahwa ajang festival ini akan diselenggarakan bukan hanya tahun ini saja. Rencananya FFS akan menjadi ajang tahunan yang dikelola lebih baik lagi.

Sekadar menyegarkan ingatan, FFS ini dibuat  berkat kerja sama antara SFCG, The Wahid Institute, dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).  Mereka mendatangi beberapa pesantren, membuat lokakarya pembuatan film dokumenter selama tiga hari, dan mengundang para peserta untuk mengikuti perlombaaan film pendeknya. Hasilnya, sebagai ajang perdana dan dibuat oleh para amatiran yang baru belajar produksi, cukup luar biasa. Ada 21 film yang dikirim, lantas mengerucut menjadi 10 besar, dan akhirnya terpilihlah 3 film terbaik. Tiga film pilihan dewan juri itu adalah Kuda Lumping (Juara 1) ,  Tata Cara Tante Cora (juara 2),  Mimpi Sang Santri Mujaji   (Juara 3). Tentu saja, 7 film lainnya tak kalah pentingnya.  Dewan juri terdiri dari   Endah Sulistianti ( sekarang direktur Eagle Award Program MetroTV) . Kisno Ardi ( pegiat dokumenter dari Yogyakarta). Juga Ian White (filmmaker yang  punya reputasi internasional). Ke 10 pesantren itu adalah  ponpes As-Shidiqiyah (Tangerang), Qothrotul Falah (Lebak), Al Ghazali (Bogor), Baitul Hikmah (Tasikmalaya), Raudlatul Banat (Cirebon), Al-Ihya Ulumaddin (Cilacap), Al-Muayyad (Surakarta), Darul Ma’Arif (Lamongan) dan Nahdlatul Ulum, (Maros, Sulawesi Selatan).

Kuda Lumping karya tim Pesantren Sabilul Hasanah, Banyuasin, Sumatera Selatan berkisah tentang Susi, santriwati dari Jawa yang dulunya adalah penari kuda lumping. Film ini bercerita tentang dinamika interaktif antara ajaran Islam dengan budaya lokal yang dianggap kurang Islami (karena ada aksi kesurupan dan mabuk-mabukan).  Selain Susi, beberapa narasumber juga dihadirkan untuk menjelaskan dialog kultural ini.

Film terbaik kedua, Tata Cara Tante Cora (tim Pesantren Nahdlatul Ulum, Maros, Sulawesi Selatan) menggarisbawahi hubungan harmonis dua madzhab Islam, khususnya antara ajaran pesantren dengan Tante Cora, sang ibu kantin yang adalah salah satu jamaah Tarekat Khalwatiyah yang mempunyai beberapa perbedaan. Tak hanya melihat kedua sisi, tim produksi film ini juga mengesyut adegan ritual kelompok sufistik itu.  Tapi seberapa berbeda? Sayangnya,  kurang dijabarkan.

Pemenang ketiga, Mimpi Sang Santri Mujaji ini kocak dan sangat dekat dengan keseharian banyak orang.  Tentang Ahmad Mujaji yang bermimpi untuk menjadi seperti KH Zainuddin MZ, tapi acap dibully teman-temannya karena urusan fisik (sakit mata, sakit kulit). Sang sutradara mewawancarai kedua belah pihak. Yang menarik, berbagai ejekan fisik itu tak membuat Mujaji jatuh mental dan terpancing emosinya.  Hal “seolah remeh tapi serius” ini menegaskan bahwa santri juga manusia yang tak lepas dari hal-hal buruk.

Film lainnya tak kalah menarik, yang semuanya membahas tentang semangat toleransi dan upaya saling memahami dan menghargai.  Favorit saya adalah Satu Alamat dan Santri Punk.

Satu alamat berawal dari  Nisa, santriwati asal    Pesantren Al-Muayyad, Solo, yang menemukan hal menarik: sebuah masjid dan satu gereja tak hanya berdampingan tapi juga berbagai alamat yang satu.  Itulah Masjid Al-Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan. Mereka saling menghargai sehingga meniadakan bedug dan lonceng. Yang menarik lainnya, para santriwati berjilbab itu baru pertama kali masuk ke dalam gereja dan mengamati ibadah ritual di sana. “Dan itu keren!” kata mereka.

Peserta lain yang juga punya pengalaman masuk gereja pertama kali adalah Ilham Kurniawan (Pesantren Al-Ghazaly, Bogor), yang membuat film Pesantren Bukan Sarang Teroris. Dalam rangka membuat filmnya, Ilham yang baru mondok 8 bulan itu  bersilaturahim dan mewawancarai pemimpin gereja GSJA Eben Haezar.

Film favorit kedua saya adalah Tripunk: Santri Punk. Film karya tim Pesantren Nahdlatul Ulum, Maros, Sulawesi Selatan itu berpusat pada Sauki Al Gazali, seorang santri yang juga nongkrong dengan kaum Punk di pinggir jalan. Berawal dari rasa kesepian Sauki di malam tahun baru yang membawanya bertemu komunitas Punk, dan ia pun menjadi bagian dari mereka. Tentu saja hal ini menjadi pro kontra. Tidak hanya karena banyak yang menganggap bahwa akhlak anak-anak punk ini banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, tapi mereka juga dicap negatif oleh masyarakat ditakutkan akan mencemarkan nama baik pesantren. Tapi tak sedikit kawan-kawan Sauki di pesantren yang tidak masalah dengan hal itu. Sauki sendiri merasa bahwa ia menyerap nilai-nilai positif teman barunya itu, di antaranya semangat saling menghargai, mencintai, dan kompak.

 

Film-film lainnya tak jauh dari semangat mencoba memahami dan kemudian menghargai perbedaan kelompok lain. Misalnya terhadap kaum Kejawen Kaki Turki di Selok (Cilacap)  dalam Dhewek Be Islam (Kami juga Muslim) oleh Pesantren Al-Ihya Ulumaddin, Cilacap, atau satu keluarga yang anggotanya punya tiga agama yang berbeda dalam Harmoni Sutarji oleh  Pesantren Darul Ma’arif, Lamongan,  atau tradisi lokal Sasambat yang memanggil makhluk halus  yang acap disalahpahami sebagai perbuatan syirik oleh  tim Pesantren Madinah Rasul Babakan, Cirebon. Ada pula Shalawat dari  Pesantren Qothrotul Falah, Lebak (Banten) yang mencoba mengangkat shalawat berbahasa Sunda atau Jawa, termasuk mewawancara Mang Jalong, seniman shalawat Bahasa daerah. Sayangnya, bagian shalawat berbahasa local kurang dieksplorasi dengan dalam. 

Film-film di atas lantas diputar di berbagai pesantren, sekolah umum, komunitas masyarakat, dan bahkan di lapas, hingga sampai ke Palu dan Ambon, serta London. “Apresiasi sangat tinggi, terutama soal idenya yang mengangkat komunitas yang berbeda. Bagaimana santri mau mendatangi gereja, komunitas kejawen, kelompok yang beda aliran, itu sungguh luar biasa“ jelas Suraji.  Rencana ke depan, penyelenggara akan   membuka master class di beberapa kota yang bisa diikuti pesantren secara terbuka.

Semoga kaum santri, sebagai stakeholder perfilman kita,  makin dilibatkan (atau melibatkan diri) dalam kultur film Indonesia, baik dari pembuatan film, konsumsi, dan juga kritik. Dan semoga makin banyak santri yang mengambil produksi film sebagai bagian dari dakwah kreatif mereka. Agar mereka mendapatkan tempat dan suaranya tersendiri dan mewarnai industry film kita, dan agar  ketidaktahuan tentang semesta pesantren  makin terkikis oleh karya dari perspektif “orang dalam”.

 

Link lainnya dari FFS:

10 Langkah Membuat Film Dokumenter – klik di sini

Di Balik Kamera Santri 

 

 

*) Ekky Imanjaya adalah dosen tetap School of Media and Communication, BINUS Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Salah satu pendiri  sekaligus redaktur rumahfilm.org  itu kini sedang menempuh studi S3 di bidang Kajian Film di University of East Anglia, Norwich, Inggris

 

Sumber: Islam Indonesia

 

0 responses to “Festival Film Santri 2013: Kartu Pos dari 10 Pesantren”

  1. […] Tulisan berikut pernah dimuat di website Islam Indonesia pada tanggal 5 Mei 2014 yang dapat diakses di https://islamindonesia.id/berita/festival-film-santri-2013-kartu-pos-dari-10-pesantren-2.htm […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *