Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 14 December 2021

Konsep ‘Suwung’ dalam Teosofi Jawa menurut Raden Ngabehi Ronggowarsito


islamindonesia.id – Masyarakat Jawa tidak akan gampang melupakan sastrawan dan pujangga besar bernama Raden Ngabehi (R. Ng.) Ronggowarsito. Tokoh yang hidup pada masa keemasan Keraton Surakarta tersebut adalah pujangga besar yang telah meninggalkan “warisan tak terharga” berupa puluhan serat yang mempunyai nilai dan capaian estetika menakjubkan. Ketekunannya pada sastra, budaya, teologi serta ditunjang bakat, mendudukkan ia sebagai pujangga terakhir Keraton Surakarta.

R. Ng. Ronggowarsito terlahir dengan nama kecil Bagus Burham pada tahun 1728 J atau 1802 M, putra dari RM. Ng. Pajangsworo. Kakeknya, R.T. Sastronagoro yang pertama kali menemukan satu jiwa yang teguh dan bakat yang besar di balik kenakalan Burham kecil yang memang terkenal bengal. Sastronagoro kemudian mengambil inisiatif untuk mengirimnya nyantri ke Pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo asuhan Kyai Kasan Besari.

Sebagai putra bangsawan Burham mempunyai seorang emban bernama Ki Tanujoyo sebagai guru mistiknya. Di masa kematangannya sebagai pujangga, Ronggowarsito dengan gamblang dan wijang mampu menuangkan suara jaman dalam serat-serat yang ditulisnya.

Ronggowarsito memulai kariernya sebagai sastrawan dengan menulis Serat Jayengbaya ketika masih menjadi mantri carik di Kadipaten Anom dengan sebutan M. Ng. Sorotoko. Dalam serat ini dia berhasil menampilkan tokoh seorang pengangguran bernama Jayengboyo yang konyol dan lincah bermain-main dengan khayalannya tentang pekerjaan.

Sebagai seorang intelektual, Ronggowarsito menulis banyak hal tentang sisi kehidupan. Pemikirannya tentang dunia tasawuf tertuang diantaranya dalam Serat Wirid Hidayatjati, pengamatan sosialnya termuat dalam Serat Kalatidha, dan kelebihan beliau dalam dunia ramalan terdapat dalam Serat Jaka Lodhang, bahkan pada Serat Sabda Jati terdapat sebuah ramalan tentang saat kematiannya sendiri.

Pertama mengabdi pada keraton Surakarta Hadiningrat dengan pangkat Jajar. Pangkat ini membuatnya menyandang nama Mas Panjangswara. Semasa kecil beliau diasuh oleh abdi yang amat kasih bernama Ki Tanudjaja. Hubungan dan pergaulan keduanya membuat Ranggawaraita memiliki jiwa cinta kasih dengan orang-orang kecil (wong cilik).

Ki Tanudjaja memengaruhi kepribadian Ronggowarsito dalam penghargaannya kepada wong cilik dan berkemampuan terbatas. Karena pergaulan itu, maka dikemudian hari, watak Bagus Burham berkembang menjadi semakin bijaksana. Ronggowarsito wafat pada tanggal 24 Desember1873 bulan Desember hari Rabu pon.

Berikut ini di antara serat dari Ronggowarsito:

Sejatine Ingsun anata malige ana sajroning Betal Muharram,

iku omah enggoning lalaranganing Ingsun,

jumeneng ana dhadhaning Adam,

kang ana sajroning dhadha iku ati,

kang ana antaraning ati iku jantung,

sajroning jantung iku budi,

sajroning budi iku jinem,

iya iku angen-angen,

sajroning angen-angen iku rahsa,

sajroning rahsa iku Ingsun,

ora ana Pangéran amung Ingsun Dat kang anglimputi kahanan jati.

Artinya:

Sesungguhnya Aku merajai istana di dalam Betal Muharram,

yaitu rumah larangan-Ku,

yang terletak di dada Adam,

di dalam dada ada hati,

di antara hati ada jantung,

di dalam jantung ada budi,

di dalam budi ada jinem,

yaitu angan-angan,

di dalam angan-angan ada rahsa,

di dalam rahsa ada Aku,

tiada Tuhan kecuali Aku,

Dzat yang meliputi keadaan hakiki.

Mengenai kaitan antara filsafat rasa dan keindahan sastra, ada peristiwa tekstual-kultural yang sangat menarik. Yaitu, adanya teks tembang yang mengalami apresiasi kultural yang luar biasa. Teks itu adalah bagian dari pupuh Pangkur (pupuh pertama) dalam Serat Wedhatama, tepatnya pada atau bait ke-13. Teks itu layak disebut sebagai “teks sakral,” yang lengkapnya adalah sebagai berikut:

Tan samar pamoring Suksma

Sinukmaya winahya ing asepi

Sinimpen telenging kalbu

Pambukane warana

Tarlen saking layap-liyeping ngaluyut

Pindha pesating supena

Sumusuping rasa jati

Artinya: 

Tiada diragukan menyatunya Sang Suksma

Menembus yang semu, diwahyukan dalam keheningan

Tersimpan rapat di kedalaman kalbu

Tempat terbukanya tabir

Tiada beda dengan suasana antara lelap dan jaga

Bagaikan kilasan mimpi

Begitulah selinap-sadar dari rasa sejati

Bagaimanakah bentuk “apresiasi kultural yang luarbiasa” terhadap teks sakral tersebut? Pertama, teks tersebut “dinaikkan derajatnya” dari teks tembang macapat menjadi teks janturan (Sukatno 1993: 90). Berikut adalah sebagian dari teks janturan:

Pramila winastan Kahywangan Alang-alang Kumitir

karana dumunung munggwing telenging cipta,

manthenging pangèsthi,

wekasaning SUWUNG,

tan ana rasa pribadi,

anané hamung ayem kang sarta tentrem.

Artinya:

Maka disebut Kahyangan Alang-alang Kumitir

karena terletak di pusat keheningan cipta,

di inti pemusatan hasrat,

di batas-akhir kekosongan,

(di sana) tiada rasa pribadi,

yang hanya hening-damai serta tenteram.

Ana padhang dudu padhanging rahina,

ana peteng dudu petenging wengi,

kang ana amung alam tumlawung,

ngalangut tanpa tepi,

yèku tapaking Hywang Suksma,

sinuk maya winahya ing asepi.

Artinya:

Ada cahaya bukan cahaya siang,

ada gelap bukan gelapnya malam,

yang ada hanya alam kebas-lepas,

larut-hanyut tiada batas,

itulah jejak Hyang Suksma,

menembus yang semu.

Sinimpen telenging kalbu,

pambukaning warana,

tarlen amung layap liyeping aluyup,

pindha pesating supena,

sumusuping rahsa jati,

jatining manggih bagya mulya,

tan ana sangsaya sinangsaya.

Artinya:

diwahyukan dalam keheningan,

tersimpan rapat di kedalaman kalbu,

tempat terbukanya tabir,

tiada beda dengan suasana antara lelap dan jaga,

bagaikan kilasan mimpi,

begitulah selinap-sadar dari rasa sejati,

kesejatian menemu mulia-bahagia,

tiada derita tiada saling aniaya. 


Menurut R. Ng. Ronggowarsito, “Suwung” mengandung makna kekosongan yang bernuansa pengendalian diri yang sempurna dan kesadaran sejati akan diri. 

Seseorang yang berada dalam kondisi Suwung jenis ini, dia mencapai tahapan akhir dalam pengendalian diri yang luar biasa dan mampu mengontrol diri secara sempurna sehingga dia mengetahui secara pasti kapan dia harus berbuat dan kapan dia harus menahan diri. 

Kesempurnaan pengendalian diri ini menjadikan dirinya memiliki kemerdekaan yang hakiki atas hidup. 

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *