Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 21 March 2020

Kolom Oman Fathurahman: Sejarah Pandemi Dunia dan Bagaimana Sarjana Muslim Menyikapinya


islamindonesia.id – Kolom Oman Fathurahman: Sejarah Pandemi Dunia dan Bagaimana Sarjana Muslim Menyikapinya

Catatan redaksi:

Prof. Oman Fathurahman, Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Jumat (20/3) menulis sebuah utas panjang di akun Twitter-nya mengenai sejarah pandemi dunia dan bagaimana orang-orang pada masanya menyikapi.

Khusus tentang pandemi yang pernah dialami oleh Kaum Muslim, Oman menuturkan bagaimana cara mereka menafsirkan ketauhidan. Apakah dengan kepasrahan, menantangnya, atau mencoba bersikap rasional? Selengkapnya dapat disimak di dalam tulisan di bawah ini.

Sebagai catatan, demi kepentingan penyajian, karena sumber tulisan ini berasal Twitter yang ruang penulisannya terbatas, sehingga mengakibatkan banyaknya singkatan kata dan penyederhanaan kalimat, redaksi mengedit secara minor tulisan Oman tanpa mengubah makna aslinya (judul artikel dibuatkan oleh redaksi Islam Indonesia).

Selamat menyimak!

Sejarah Pandemi Dunia dan Bagaimana Sarjana Muslim Menyikapinya

Oleh Oman Fathurahman | Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sejarah mencatat, tiga kali pandemic (pandemi) terjadi akibat wabah mematikan: Wabah Yustinianus (plague of Justinian) 541-542 M, Maut Hitam (Black Death) 1347-1351 M, dan Wabah Bombay (Bombay plague) 1896-1897 M. Pandemic abad ke-6 terkait dengan kematian kurang lebih 25 ribu sahabat Nabi.

Sumber-sumber Arab mencatat dengan baik bagaimana Nabi Muhammad Saw dan para sahabat menyikapi pandemic, bukan dengan menantangnya atas nama Tauhid, atau atas nama “hanya takut kepada Allah”, tetapi justru dengan mengajarkan bahwa esensi agama adalah menjaga kemanusiaan. Itulah tauhid yang sesungguhnya.

Eropa pernah kelam akibat sikap fanatik sebagian umat beragama dalam menyikapi the Black Death. Saat otoritas Eropa kehabisan ide atasi wabah, masyarakat menjadi putus asa, dan mulai mengaitkan bahwa umat Yahudi adalah penyebabnya hingga Tuhan murka. Konflik terjadi, ribuan Yahudi dipersekusi.

Lukisan karya Pierart dou Tielt yang menggambarkan tentang the Black Death, dibuat sekitar tahun 1353. Sumber: Public Domain

Sebagian sarjana besar Muslim abad pertengahan juga pernah mengalami wabah atau thaun yang mematikan. Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 1449 M) kehilangan tiga putrinya akibat thaun: Fatimah, Aliyah, dan Zin Khatun si sulung yang bahkan sedang hamil. Apa yang dia lakukan? Menulis karya untuk menjaga nyawa sesama.

Al-Asqalani menulis kitab “Badzl al-Maun fi Fadhl al-Thaun”. Dia jauh dari sikap “pasrah”, menyerah kepada takdir Allah. Pandangan dan sikap beragamanya rasional.

Karya ini telah di-tahqiq oleh Ahmad Ishom Abd al-Qadir al-Katib, yang mengulas dengan detail tentang thaun: definisinya secara metafisis dan medis, jenis-jenisnya termasuk Black Death di Eropa, pandangan ahli medis, cara menghindarinya, hukum syahid bagi korban, dan tentang bagaimana Muslim harus menyikapi wabah.

Al-Asqalani bukan satu-satunya ulama besar yang terdampak thaun pandemic. Abu Aswad al-Duwali (w. 688 M), penggagas ilmu nahwu terkemuka, bahkan wafat akibat thaun. Ini bukti bahwa wabah pandemic tidak mengenal agama, ras, usia, gender, dan kelas sosial. Kita pun perlu bersama melawan Corona.

Pemerintah sudah memutuskan bahwa Indonesia darurat bencana akibat Corona. Social distancing sudah diterjemahkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai “Bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan bekerja di rumah”. Berbagai tokoh agama sudah berijtihad menunda ritual agama, tapi bukan menunda beragama.

Mari belajar dari sejarah, mari berguru dari para suhu masa lalu. Beragama yang paripurna bukan dengan cara mengabaikan keselamatan sesama, melainkan dengan menjaganya melalui berbagai cara. Bertauhid adalah meyakini bahwa Dia Maha Mutlak, Dia Mencipta, Dia juga Meniada. Jumah berkah, salam ngariksa.

PH/IslamIndonesia/Foto utama: UIN Syarif Hidayatullah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *