Satu Islam Untuk Semua

Friday, 04 November 2016

OPINI REDAKSI — Bianglala 4 November: Suatu Rekonsiliasi


islamindonesia.id — Bianglala 4 November: Suatu Rekonsiliasi

 

Menjelang demo Jum’at 4 November 2016, berbagai spekulasi ihwal faktor-faktor penggerak dan aktor-aktor intelektual di balik aksi itu bermunculan di media. Tentu saja beragam faktor itu tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling memperkuat, menciptakan dorongan sosial politik yang besar. Adakalanya satu faktor mendahului timbulnya faktor lain, tetapi kemudian yang belakangan muncul menjadi lebih dominan dan determinan dibandingkan yang sebelumnya.

Secara teori memang tidak ada peristiwa sosial politik yang digerakkan oleh satu faktor tunggal. Bahkan para ahli logika menyatakan tidak ada peristiwa apapun di dunia ini yang diakibatkan oleh satu sebab (cause). Gerakan di tengah masyarakat yang begitu kompleks selalu terjadi oleh munculnya berbagai faktor dan bertemunya berbagai kepentingan. Dan penyederhanaan sebab bukanlah penjelasan yang ilmiah. Tidak terkecuali aksi 4 November besok.

Fakta di atas tidak lantas gugur akibat kegigihan sejumlah penulis media sosial yang, demi mempromosikan tujuan-tujuan ideologis dan agenda politiknya, suka membesar-besarkan salah satu faktor untuk menutupi faktor-faktor lainnya. Ini misalnya dapat kita lihat pada sejumlah analis berlatarbelakang ideologi neoliberal yang secara massif menunjukkan bahwa aksi 4 November itu hanya dipengaruhi oleh kebengisan ideologi Islam garis keras atau bahkan rasisme. Tapi cara berpikir seperti itu telah dipetieskan oleh para peneliti dan sarjana ilmu sosial.

Para sarjana ilmu sosial mengenal apa yang disebut dengan the fallacy of the single cause, complex cause, causal oversimplification, causal reductionism, atau reduction fallacy. Deretan istilah asing ini bertujuan menjelaskan adanya kesalahan berpikir yang menyatakan suatu peristiwa diakibatkan oleh satu sebab, padahal peristiwa itu sebenarnya disebabkan oleh berbagai sebab. Kesesatan berpikir seperti ini biasanya bersumber dari kecenderungan manusia yang malas, penuh sentimen, prasangka dan merasa benar sendiri.

Oversimplifikasi sebab-akibat yang mengemuka dalam banyak tulisan di media massa tentu juga tidak bisa dianggap spontan. Sebagian mereka memang menyederhanakan masalah agar mampu membakar massa dan membangkitkan selera primordial. Ini teknik lama yang tetap moncer. Ketimbang menjelaskan rumitnya persoalan Jakarta dan kebijakan yang harus diambil dalam mengelolanya, memang lebih enteng langsung saja kasih gambaran seperti ini: kaum toleran, pro Bhinneka Tunggal Ika yang mendukung Ahok versus kelompok garis keras yang anti Ahok. Kita dipaksa jadi pluralis pro Ahok atau intoleran anti Ahok. Tak ada jalan lain: masuk surga pluralisme bersama Ahok atau masuk neraka intoleransi bersama ISIS.

Intinya hanya mereka berdua lah pemain di lapangan Jakarta. Selain dua kelompok ini tidak ada jalan ketiga, yang setidaknya bisa menjadi jembatan lalu lalang dua kelompok yang berseberangan, yang berpikir soal pengelolaan Jakarta yang lebih adil dan ramah terhadap kelas bawah, bersama atau tanpa Ahok. Pembungkaman atas kelompok ketiga ini berakibat pada potensi konflik yang menggeser urusan yang rasional menjadi emosional, urusan pengelolaan Jakarta menjadi pembelaan atas agama, urusan profan mundial menjadi primordial kolosal apokaliptikal.

Padahal, jika kita mau jujur dan teliti, ufuk Jakarta selalunya bianglala. Di antara yang pro Ahok banyak juga yang intoleran—bahkan untuk sekedar mendengar kritik kebijakan dan model pembangunan Ahok; dan di antara yang anti Ahok juga tidak semuanya intoleran. “Ahoker” tidak jarang melecehkan lawan politiknya sedemikian sehingga prestasi Ahok jadi tidak bisa dilihat oleh lawan-lawannya. Sebaliknya, para “hater” juga sering melawan Ahok dengan ayat dan riwayat sehingga kritik terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan Jakarta Sang Gubernur terasa hambar dan anyep. Dua kubu, sesungguhnya, telah berhasil meretakkan jembatan rekonsiliasi yang lebih manusiawi dan beradab.

Untuk menunjukkan betapa 4 November itu boleh jadi bukan sekadar soal penistaan agama, kita tak boleh melupakan kaidah ilmiah di atas: suatu peristiwa tidak mungkin terjadi karena satu sebab. Selalu saja ada sebab-sebab langsung dan tidak langsung; sebab-sebab ekonomi, politik, ideologis, spiritual (terlepas benar-salahnya), psikologis dan sebagainya. Kaum agamawan dadakan memang suka bernafsu menunjukkan bahwa motivasi utamanya adalah membela Islam dan Al-Qur’an, seperti juga musuh kelompok ini dari kalangan agamawan seberang juga tak kurang-kurangnya bernafsu menunjukkan lawannya sebagai para penyokong fasisme.

Dalam rangka memperkaya perspektif soal 4 November dan gerakan-gerakan lain di Jakarta, ada baiknya pembaca menengok dua tulisan bagus ini. Pertama, Your liberal human rights make a glaring omission of universal principles, buah pena Evi Mariani di The Jakarta Post dan kedua tulisan Making enemies out of friends oleh Ian Wilson di situs Newmandala.org. Kedua tulisan ini menunjukkan spektruk gerakan dengan motif berbeda, baik untuk yang pro Ahok maupun yang anti Ahok.

So, bagi yang pro Ahok maupun yang anti Ahok, plis jangan rusak jembatan lalu lalang buat rakyat kebanyakan. Biarkan mereka mondar-mandir belanja ide dan pikiran dari ujung sana ke ujung sini dan begitu seterusnya. Jangan jadikan Ahok sebagai musuh Islam seperti jangan anggap dia pahlawan penghancur fasisme agama.

Ahok, seperti juga musuh-musuhnya, hanyalah cermin dari kita-kita juga. Jangan sampai buruk rupa cermin dibelah. Jangan sampai kita hapus bianglala di ufuk Jakarta yang indah hanya untuk sekadar memuaskan hasrat mengalahkan lawan, karena jangan-jangan, seperti kata Sufi, musuh terbesar manusia ada di dalam dirinya sendiri.

Selamat berdialog, berdemo, berkampanye dan bertukar ekspresi dengan tenang dan damai.

 

AJ / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *