Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 09 February 2016

‘Rebutan Masjid NU-Muhammadiyah Masih Terjadi’


Di depan ratusan peserta seminar “Sinergi NU-Muhammadiyah”, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. H. Syafiq A. Mughni, menyampaikan dinamika perjalanan hubungan kedua ormas Islam Indonesia itu.

“NU dan Muhammadiyah setelah melalui proses sejarah yang panjang, telah banyak memiliki idiom-idiom yang sama tentang sebuah negara. Tidak lagi berbicara pada tahapan apakah dasar negara kita? Bentuk negara kita khilafah atau tidak? Menolak atau menerima pancasila dan demokrasi atau tidak?” kata Syafiq dalam seminar yang juga dihadiri oleh tokoh senior NU KH. Mustafa “Gus Mus” Bisri di Yogyakarta, Sabtu (6/2).

Bagi Eks Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo ini, perbedaan dari kedua ormas besar ini sudah biasa dan tidak perlu dikambinghitamkan. Perbedaan, kata Syafiq, harus dikelola menjadi kekuatan untuk membangun bangsa ini. Perbedaan di antaranya bisa disikapi dengan cara kompetisi atas dasar “fastabiqul khairat” atau berlomba-lomba dalam kebaikan, katanya.

“Kompitisi antara NU dan Muhammadiyah memang harus ada, karena prinsip ‘fastabiqul khairat’. Kalau tidak demikian, maka tidak akan maju. Sering kali kita mengukur, apakah Muhammadiyah maju atau tidak, itu diukur dari NU bukan dari yang lain. Itu hal yang biasa,” kata pria jebolan IAIN Surabaya ini.

Di samping kompetisi yang memicu untuk maju, kata Syafiq, harus juga ada “atta’awun” (saling menolong). “Disamping ada ‘competition’ juga harus ada ‘cooperation’,” katanya.

Meski banyak pencapaian yang baik dalam hubungan kedua ormas besar ini, Syafiq tidak menutup mata jika masih banyak tantangan yang dihadapi bersama. Salah satu tantangan terbesar bagi sinergi NU-Muhammadiyah, lanjut pak Syafiq, adalah politik.

“Di samping sering menyilaukan kita, politik juga sering sekali berjangka pendek. Politik jangka pendek ini tidak jarang merugikan tujuan jangka panjang,” katanya.

Alumnus Pesantren Persis Bangil ini juga menyebutkan sejumlah ketegangan antara politik dan ormas termasuk pada masa Masyumi. Bagi Syafiq, semua itu menjadi pelajaran bagi kita semua bagaimana seharusnya memandang politik.

“Jika selama ini Muhammadiyah dianggap dekat dengan PAN dan NU dengan PKB. Dan ketika terjadi permasalahan politik di lapangan maka timbullah masalah yang bisa menyeret kedua ormas ini kepada situasi yang tidak nyaman.”

Dulu, lanjut Syafiq, pernah terjadi sejarah yang manis. Yaitu, ketika pak Amien jadi ketua MPR dan Gus Dur menjadi presiden. Semua orang membayangkan bahwa ini bulan madu yang membawa berkah.

“Tetapi politic is politic. Dan akhirnya yang berlaku adalah kepentingan sesaat. Terjadilah persoalan yang itu semua menjadikan pelajaran bagi kita.”

Bagi Syafiq, kita memang tidak bisa menghindari politik. Tapi kita bisa membangun politik atas dasar ukhuwah bukan politik yang dibangun atas dasar kepentingan jangka pendek, katanya.

Selain masalah politik, pria kelahiran Lamongan ini juga tidak lupa mengungkapkan masalah-masalah yang menjadi “PR” bagi kedua ormas di akar rumput. “Di tingkat bawah, ya masalah-masalah seperti rebutan masjid, mushallah, terus terang ini masih ada. Mengapa ini saya ungkapkan, karena ini semua harus kita pikirkan, proses dan kelola agar bisa menjadi sumber kekuatan dan bukan menjadi kelemahan bagi umat Islam,” katanya.

Selain Gus Mus, seminar yang diadakan di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta ini dihadiri oleh Rektor UII Dr. Ir. Harsoyo, M.Sc dan sejumlah civitas akademika. Dalam sambutannya, Harsoyo menjelaskan bahwa hadirnya UII sebagai kampus Islam tertua di Indonesia ini tidak lepas dari para pendirinya yang terdiri dari tokoh Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. []

 

Edy/ Islam Indonesia

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *