Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 29 November 2015

Soussa, Potret Sekulerisme ala Prancis di Tunisa


Tunisia adalah negara yang menjadikan Islam sebagai agama resmi negara, namun juga membuka lebar-lebar pintu demokrasi. Berada di benua Afrika, Tunisia mengidentitaskan dirinya sebagai bangsa Arab dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara. Dalam catatan sejarah, Islam dikenalkan di Tunisia oleh sahabat Nabi, Uqbah bin Nafi. Dari daratan Tunisia pula, Islam pertama kali masuk ke Eropa.

Meski mayoritas Tunisia adalah Muslim bermazhab Maliki dan berbahasa Arab, namun pola hidup sekuler sisa jejak penjajahan Prancis lebih kentara. Derap ‘Arab Spring’ yang bermula dari Tunisia pada Januari 2011 pun, yang mengulingkan tiran Bin Ali, tidak pula serta merta menjadikan masyarakatnya lebih ‘bersyariah.’

Seperti di Soussa, kota terbesar ketiga Tunisia, yang berjarak 140 kilometer dari ibu kota Tunisia. Lebih lagi di Universitas Sousa, nuansa liberalnya lebih nampak. Mahasiswa dengan modis ala Eropa lebih banyak berseliweran daripada yang berjilbab syar’i. Tak usah ditanya mahasiswi bercadar. Anda tak bakalan menemukannya.

“Setibanya di kampus, saya agak terkejut melihat suasana kampus yang benar-benar “liberal”, tidak ada nuansa Islami. Mahasiswa bebas pakai celana jeans, kerudung atau tidak juga boleh,” kata Dr. H. R. Taufiqurrochman, dosen UIN Malang, dalam sebuah catatan perjalanan di situs Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dia saat ini sedang berada di Soussa mengikuti Postdoctoral Fellowship Program For Islamic Higher Education 2015, program beasiswa Kementerian Agama untuk mengenalkan Bahasa dan sejarah Indonesia, serta budaya Islam Nusantara, ke seluruh dunia.

Menurut Taufiqurrochman, Budaya sekuler di Tunisia lahir karena kebijakan Habib Borguiba, presiden Tunisia sebelum Bin Ali. Kala itu, sekularisme di Tunisia sangat wajib. Atribut Islam tidak boleh ada di publik dan berjilbab pun dilarang. Sapai-sampai ada larangan berpuasa di bulan Ramadhan agar ekonomi tetap berjalan dan tidak mengurangi produktifitas masyarakat.

“Sedemikian getolnya sekularisme di Tunisia sehingga kini meski revolusi telah bergulir dan kesadaran rakyatnya untuk menjalankan syariat Islam kembali tumbuh, namun tetap saja, sisa-sisa sekularisme dan peninggalan Prancis yang lama menjajah Tunisia, masih tetap melekat di Tunisia,” katanya.

Bahkan menurut dosen arek Malang ini, karena kesamaan pakaian yang dikenakan mahasiswa dan para dosen, sulit sekali membedakan antara dosen dan mahasiswa. Para dosen tidak memakai atribut khas muslim, baik yang laki maupun perempuannya.

“Saya melihat para dosen wanita tidak ada yang berjilbab, apalagi pakai ‘niqab ninja’.Mereka memakai gaun khas Eropa, bahkan ada yang cukup berkaos. Sedangkan dosen pria, banyak yang bercelana jeans dan berkaos.”

MA/IslamIndonesia gambar: http://www.taufiq.net/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *