Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 15 April 2014

Hikayat Kampung Petjah Koelit (2): April Hitam di Batavia


foto: Tropen Museum

Sebuah pemberontakan berujung hukuman kejam

 

PERTEMUAN demi pertemuan memunculkan rasa senasib dan sepenanggungan. Dari ikatan emosional itu entah dari mana datangnya lantas muncul hasrat untuk melakukan pemberontakan. Bersama seorang ningrat asal Banten, Raden Ateng Kartadriya dan 25 pengikutnya, Pieter merencanakan aksi pembangkangan. Hari H-nya: 31 Desember 1721,bertepatan dengan pesta malam tahun baru 1722.

Selain berharap pada bantuan Kesultanan Banten yang sudah dikontak sebelumnya, pemberontakan itu juga rencananya akan melibatkan banyak bantuan dari berbagai pihak “Saya sendiri dan beberapa kawan sudah mengumpulkan 17.000 prajurit yang telah siap memasuki kota,” ujar Raden Kartadriya seperti ditulis Alwi Shahab dalam Batavia Kota Banjir.

Namun mujur tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Pemufakatan subversiv itu malah bocor sebelum waktunya kepada intelijen VOC. Lewat mulut seorang budak Pieter yang “bernyanyi”, Reykert Heere (Komisaris VOC untuk urusan bumiputera) bertindak cepat dengan menangkap 23 pelaku rencana pemberontakan tersebut termasuk Pieter dan Raden Kartadriya.

Sekitar 4 bulan pasca penangkapan (April 1722), Collage van Heemradeen Schepenen (Dewan Pejabat Tinggi Negara) memutuskan hukuman mati untuk Pieter dan para pengikutnya. Namun hukuman mati itu dilakukan dengan cara yang tidak biasa dan sangat kejam. Di sebuah lapangan sebelah selatan dekat Balai Kota, mereka menjalani hukuman sebagai pemberontak dengan punggung diikat pada sebuah salib, tangan kanan dibacok hingga putus, lengan dijepit, daging kaki dan dada dicungkil keluar.

Seolah ingin lebih puas, jantung mereka dikeluarkan dan dilemparkan ke wajah para terhukum. Kepala dipancung dan tubuh mereka diikat oleh 4 ekor kuda yang berada pada 4 posisi arah mata angin. Begitu kuda-kuda tersebut dihela maka berpecahanlah tubuh dan kulit mereka ke 4 penjuru. Kepala mereka lantas ditancapkan pada sebuah tonggak di sebuah tempat di luar kota. Maksudnya agar menjadi makanan burung-burung sekaligus pembangkit efek jera kepada siapapun yang berniat melakukan pemberontakan terhadap VOC.

“Kelak bekas tempat eksekusi Pieter dan kawan-kawanya disebut sebagai Kampung Pecah Kulit,”ujar Alwi Shahab. (Bersambung)

 

Sumber: Islam Indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *