Agama Saya Cinta
Sesungguhnya ada yang salah kala agama muncul dalam perwajahan yang kejam dan mengerikan
Dalam sebuah diskusi di mailing list beberapa tahun lalu, seorang lelaki pernah melontarkan cemohannya kepada agama. Ia menyebut agama sebagai enigma (sesuatu yang tidak bisa dipahami), lucu sekaligus mengerikan. “Bagaimana anda bisa menyerahkan planet ini kepada sekumpulan manusia yang saling meyakini diri mereka paling benar dan mengekspresikan semua nilai-nilainya dalam wujud yang paling kejam?”ujarnya.
Tentu saja saya tidak setuju dengan penilaian dangkal orang yang mengaku sebagai seorang atheis tersebut. Kekejaman yang diperlihatkan kaum beragama, tidak ada hubungannya dengan agama itu sendiri. Alih-alih sebagai pembuat onar , menurut saya agama justru bisa menjadi media bagi terciptanya perdamaian dunia. Bukankah esensi agama adalah keselarasan?
Tapi sejujurnya, saya pun mengamini beberapa hal yang disebutnya sebagai situasi rill kaum agamawan yang kerap mengekspresikan nilai-nilai yang dianutnya dalam bahasa kekerasan. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Suriah ketika sekelompok ulama dikabarkan memberika fatwa halalnya memperkosa perempuan-perempuan yang tidak sekeyakinan atau ketika para serdadu Serbia berlomba-lomba membantai orang-orang Bosnia karena alasan-alasan religius yang disampaikan para pendeta mereka belasan tahun yang lalu.
Kekerasan sesungguhnya bukan sifat agama itu sendiri. Agama mulai tampil sebagai predator manakala ada kepentingan politik dan ekonomi bermain di sana. Sebagai contoh Perang Salib. Banyak kalangan dari dunia Islam dan Kristen mengimani perang tersebut sebagai perang agama. Namun dalam Holy War, sejarawan Inggris Karen Armstrong “mencurigai” motiv pertikaian antara para adidaya saat tersebut hanyalah masalah perebutan Jalur Sutra, sebuah jalur ekonom dan militer strategis yang terbentang mulai Cina-Rusia-Maroko-Suriah-Turki dan Eropa.
Begitu pula latar belakang berbagai perang agama yang selama ini kerap dilontarkan misalnya perang antara Kristen vs Islam (di Irak dan Afghanistan), Islam vs Yahudi di Palestina, atau Budha vs Islam di Burma dan lainnya, bisa jadi itu semua hanya perwujudan dari suatu kepentingan dan nafsu segelintir orang namun diekpresikan lewat jargon perang agama. Mengapa agama? Karena hanya agamalah yang dapat memobilisasi kebencian secara massif dan destruktif.
Esensi agama sesungguhnya adalah sikap saling menghargai dan cinta kasih. Mahatma Gandhi, salah seorang tokoh humanis dari India dikenal sebagai penganut Hindu yang sangat toleran terhadap penganut agama lain. Begitu tolerannya Gandhi, hingga suatu hari ia pernah ditanya oleh orang-orang tentang agama apa yang sebenarnya dia anut. Islam atau Hindu?
“Agama saya cinta,”jawab Gandhi.
Jawaban Gandhi tersebut bisa jadi merupakan bentuk ungkapan diplomatis dari seorang negarawan. Namu jika kita merenungukan secara mendalam, apa yang dikatakan Gandhi adalah sebuah hal yang paling niscaya dari esensi agama-agama di dunia. Dengan kalimat itu, Gandhi seolah ingin menunjukkan bahwa yang seharusnya ditonjolkan dari agama adalah kebaikan, cinta kasih, belas kasih, rasa toleransi dan rasa persaudaraan. Jika kemudian agama tampil dalam wajah yang beringas an menakutkan, harus dicurigai pasti ada yang salah terhadap bentuk pendekatan dan penafsiran dari agama tersebut.
Sumber: Islam Indonesia
Leave a Reply