Satu Islam Untuk Semua

Monday, 17 March 2014

Rajut Damai Lewat Bola (1)


foto:hendijo

Bagaimana kelompok-kelompok anak muda lintas iman membangun persaudaraan dan perdamaian melalui kegiatan sepakbola

 

MATAHARI senja baru saja tiba menaungi Kampung Babakan, Desa Pondok Udik (masuk dalam wilayah Kemang, Kabupaten Bogor). Di lapangan sepakbola sederhana dalam lingkungan Kampus Al Mubarak, dua tim tengah bertarung: yang satu berkostum hijau muda dari Khuddam Jemaat Muslim Ahmadiyah (JMA) plus anak-anak muda Kampung Babakan sedang tim lawannya berkostum merah dari berbagai organisasi anak-anak muda Muslim dan Kristen.

Pertandingan kedua tim itu tersebut berlangsung seru. Baru saja babak pertama dimulai, sebuah serangan dari tim hijau berhasil menembus pertahanan tim merah. Sang penyerang sudah berhadapan dengan penjaga gawang ketika tiba-tiba sebuah penjegalan dilakukan oleh pemain belakang tim merah. Seiring peluit wasit menunjuk titik putih, si penyerang sendiri terguling-guling di daerah sekitar gawang.

“ Sorry, sorry Bro! Enggak apa-apa, kan?” ujar sang penjegal sambil berlari menghampiri penyerang yang terjatuh itu. Ia kemudian menyodorkan tangannya yang disambut hangat oleh sang penyerang.

“Sipp. Lanjut!” kata sang penyerang sembari tersenyum dan mengacungkan jempolnya. Tendangan penalty pun dilakukan dan salah satu algojo tim hijau berhasil melesakan bola ke dalam gawang tanpa bisa ditahan oleh sang penjaga gawang.

Kendati dimainkan secara serius, pertandingan sepakbola tersebut sesungguhnya memiliki tujuan utama merajut perdamaian dan persaudaraan di antara anak-anak muda lintas iman.  Pertama kali kegiatan ini sendiri diinisiasi oleh para aktivis AMAN (Asian Muslim Action Network ) bekerjasama dengan para aktivis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) cabang Kabupaten Bogor, Gusdurian, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) cabang Kabupaten Bogor dan Khuddam, organisasi anak-anak muda  JMA.

Menurut Mastur dari AMAN, kegiatan itu rencananya akan dilakukan secara bergilir. Untuk kegiatan pertama ini, Kampus Al Mubarak terpilih sebagai tuan rumah. “ Sekalian kami ingin silaturrahim dan mengenal lebih dekat  saudara-saudara dari JMA,”ujarnya.

Kampus Al Mubarak merupakan pusat pengkaderan  terbesar JMA di Indonesia. Di atas tanah seluas sekitar 5 hektare tersebut, ratusan calon mubaligh dididik untuk kemudian disebar ke seluruh cabang-cabang JMA di seluruh pelosok tanah air. Tahun 2005, Al Mubarak menjadi kawasan yang mecekam. Sekitar 1.000 orang dari berbagai kelompok intoleran saat itu mengepung dan membakar sebagian fasilitas yang ada. Kendati tidak jatuh korban jiwa, beberapa anggota JMA sempat mengalami luka-luka.

Anugerah Reza Ahmad (24), salah satu anggota Khuddam, mengingat kenangan sembilan tahun lalu itu sebagai peristiwa yang menakutkan. Sebagai remaja tanggung yang saat itu masih duduk di bangku SMP, dirinya sama sekali tak mengerti mengapa orang-orang itu marah sambil meneriakan takbir segala.

“ Sebelumnya kehidupan kami baik-baik saja dam laiknya Muslim lainnya kami bebas beribadah. Tiba-tiba kami diteriaki kafir dan bahkan darah kami dianggap halal. Itu betul-betul tertanam begitu kuat dan nyaris membuat saya agak trauma,”ungkap mahasiswa Universitas Ibnu Khaldun, Bogor itu.

Perasaan trauma yang hampir sama juga dialami oleh anggota Khuddam lain bernama Hafidz (28). Sejak Insiden 2005 itu, ia mengaku sangat hati-hati membuka identitas dirinya sebagai bagian dari komunitas Ahmadiyah. “Kalau tidak ada yang bertanya, saya lebih memilih diam saja,”ujar karyawan di sebuah perusahaan swasta tersebut. (Bersambung)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *