Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 12 March 2014

Chavez, Palestina dan Orang-Orang Tertindas


foto:la-razon.com

“…Aku akan mengirimkan cinta tertinggi. Kita akan hidup dan menang…” (Hugo Chavez) 

 

Ketika Israel memenuhi Jalur Gaza dengan peralatan perang dan tentaranya, pada 6 Januari 2009 tanpa babibu Hugo Chavez langsung mengusir Shlomo Cohen, Duta Besar Israel untuk Venezuela. Sang presiden melakukan itu  karena merasa berang dengan ulah negara zionis itu yang menyebabkan warga sipil dan anak-anak tewas di Palestina. 

”Sampai kapan aksi barbar ini berlangsung? Presiden Israel harus diajukan ke mahkamah internasional bersama Presiden Amerika Serikat, jika memang dunia punya nurani,”teriaknya kepada pers. 

Bukan hanya kepada Israel, “sang komandan”  juga berani tunjuk hidung kepada negara adi daya seperti Amerika Serikat. Dalam sebuah forum resmi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada  September 2006, ia mengkritik Presiden George W.Bush yang ia sindir prilakunya “seolah-olah pemilik dunia”, lantas menyarankan agar seorang psikiater bisa dipanggil untuk menganalisis pernyataan-pernyataannya. 

“Iblis itu datang ke sini kemarin,” kata Chavez, merujuk pada Bush, yang sehari sebelumnya bicara di podium yang sama. “Dan bau belerangnya masih tercium hingga hari ini.” 

Chavez memang lelaki yang sangat fenomenal. Sejak memenangkan pemilu di negeri kaya minyak tersebut, pamornya mencorong sebagai pembela orang-orang miskin. Berbekal keuntungan minyak negara itu yang berlimpah, ia memprioritaskan warga miskin untuk menikmati pendidikan, perumahan dan kesehatan yang layak di negerinya sendiri. Tapi jangan salah, pamor Chavez bukan hanya terkenal di Venezuela atau negara-negara Amerika latin lainnya. Di negara-negara ketiga terutama Palestina, namanya disebut-sebut dalam setiap demonstrasi menentang kebrutalan rezim zionis.  

“Semua orang di sini (Palestina) kenal siapa dia (Chavez),” kata Mahmud Zwahreh. 

Menurut Walikota Al-Masar di Betlehem, Tepi Barat tersebut, banyak warga Palestina yang secara swadaya memperbanyak foto Chavez untuk dibawa dalam setiap demonstrasi menentang agresi Israel di Jalur Gaza. Selain foto, tak lupa warga Palestina pun mengusung bendera Venezuela dalam setiap aksinya. Sebuah kenyataan yang sangat ironis, mengingat tak ada satu pun saat itu negara-negara Arab yang diperlakukan sama oleh warga Palestina 

Menurut seorang demonstran Palestina bernama Assem, Chavez yang Kristen dan berpaham sosialis lebih mengerti apa mau rakyat Palestina dibanding para pemimpin negara Arab. “Saya ingin bisa memberikan Chavez paspor Palestina agar ia bisa menjadi warga negara Palestina. Dan kami akan memilih dia sebagai presiden kami,” katanya. 

Di Libanon, orang-orang Islam begitu mencintai Chavez. Hingga ketika walikota sebuah distrik bernama Bireh akan memberi nama satu jalan di satu sudut kota, masyarakat setempat sepakat memakai nama Hugo Chavez untuk jalan di kota itu. “Cuma ini yang bisa kami lakukan untuk seorang lelaki pemberani yang telah menyalakan harapan di hati kami dan telah membalas luka kami akibat kebiadaban Zionis,” kata Mohammed Wehbe, sang walikota tersebut. 

Bireh seolah menjelma menjadi kota pendukung Chavez. Di jalan utama menuju kota tersebut, berbagai mural dan spanduk terpampang sepanjang 45 kilometer. Isi mural dan spanduk bermacam-macam, di antaranya bertuliskan: “Bangsa ini membutuhkan pemimpin seperti Chavez”, “Chavez mengusir duta besar Israel. Kapan kalian tidak melakukannya, wahai pemimpin-pemimpin Arab?”. 

Seolah tidak cukup dengan spanduk dan mural, foto-foto Chavez juga memenuhi tiap sudut kota yang berpenduduk 17.000 jiwa itu. Seorang imam di Libanon bernama Bilal Rivai menyatakan bahwa tak ada rasa bersalah atau sungkan saat mereka memasang semua itu. “Kami tidak punya hubungan langsung dengan Chavez. Kami juga tidak beragama yang sama dengan Chavez. Kami bicara dengan bahasa yang berbeda. Tapi dia ikut merasakan penderitaan kami dan dia layak mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari kami,”ujarnya. 

Chavez wajar mendapatkan tempat di hati orang-orang tertindas itu. Dalam setiap kesempatan, ia kerap memerangi Israel dan para sekutunya dengan cara sendiri. Suatu hari, dalam sebuah pidatonya, ia  menukil ungkapan Edwar Said, filsuf post-kolonial kelahiran Palestina: “Setiap perjanjian damai yang dibangun dengan melibatkan Amerika Serikat hanya akan mengkonfirmasi kekuasaan zionis, bukan untuk menghadapinya,”ujar lelaki ramah itu. 

Chavez juga  tidak percaya bahwa konflik Palestina-Israel adalah konflik agama. Dengan gamblang ia menyebut soal ini sebagai murni konflik politik, dengan kolonialisme dan imperialism sebagai tokoh antagonisnya. Sebuah kepercayaan yang juga mulai disadari hari ini oleh sebagian dari kita.  

Setahun sudah lelaki pemberani itu  pergi. Tapi tidak benar-benar pergi. Mulai hari  itu dan seterusnya, mungkin ia akan tetap “hidup”:sebagai inspirator  bagi sebentuk cinta tanpa batas.”Aku akan terbang tinggi seperti burung kondor. Aku akan mengirimkan cinta tertinggi. Kita akan hidup dan menang,” ujarnya beberapa waktu sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya. 

 

Sumber: Islam Indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *