Satu Islam Untuk Semua

Monday, 03 November 2014

Jejak Asyura di Asia Tenggara: dari Ayutthaya hingga Maluku (1)


Peringatan Asyura di Jawa.

Para peneliti meyakini bahwa penyebaran Islam di Asia Tenggara sudah dimulai sejak abad ke-7. Pembawanya adalah kalangan ulama, pedagang dan pelaut muslim dari jazirah Arab, Persia dan India. Seiring dengan itu, budaya yang mewarnai Agama Islam juga ikut masuk ke Asia Tenggara. Salah satunya adalah Tradisi Asyura yang jamak di bulan Muharam, seperti saat ini.

Asyura adalah peringatan syahidnya cucu Nabi Muhammad saw, Sayidina Husein bin ‘Ali bin Abithalib. Dia bersama 72 orang keluarga dan pengikut setianya kena bantai pasukan Yazid bin  Muawaiyah di Karbala, Irak, pada 10 Muharram 681M. Inilah pembantaian yang tak pernah lekang dari memori banyak Muslimin yang mengetahuinya. Berbagai acara dan peringatan berlangsung di hampir setiap negeri, utamanya di Irak, Iran, Libanon, Suriah, Yaman, Mesir dan banyak negara lainnya di Afrika.

Nah, di Asia Tenggara, Asyura juga telah menjadi bagian dari budaya Muslimin sejak berabad-abad lalu. Inilah salah satu tradisi yang kini ikut mewarnai kehidupan populasi Muslim di Asia Tenggara yang kini mencapai sekitar 42% atau 240 juta jiwa.

Asyura di Jawa

Di Jawa, bulan Muharam menandai masuknya tradisi Grebeg Suro dan Bubur Merah Bubur Putih. Grebeg Suro ini ritual budaya masyarakat Ponorogo menyambut 1 Muharam dengan berbagai tradisi seni. Mereka yang menggelarnya berharap keselamatan dan kemakmuran.

Bubur Merah dan Bubur Putih konon merupakan simbol perjuangan Sayidina Husein dan Sayidina Hasan. Bubur putih simbol perjuangan Sayidina Hasan yang mengedepankan negosiasi dan kompromi. Sedangkan bubur merah yang menandakan keberanian dan darah yang merupakan simbol perlawanan Sayidina Husein.

Daboih dan ie bu di Aceh

Di Aceh, Hikayat Hasan Husen terbilang masyhur. Diceritakan turun temurun, hikayat ini mengabadikan peristiwa heroik kesyahidan Husein di Karbala. Ada juga tradisi menyediakan ie bu, yakni bubur Hasan-Husein, yang masih dilakukan sebagaian masyarakat Aceh. Upacara daboih atau debus juga kerap dipentaskan untuk mengenang kematian Husein. Prosesi ini biasanya digelar di jalan umum, dimana yang terlihat mempertontonkan sejumlah gerakan memukul diri dengan rantai atau benda tajam.

Hoyak Husen (Tabuik) di Sumatera Barat

Tabuik

Di Pariaman, Suamtera Barat, perayaan Hoyak Hosen dilaksanakan guna mengenang kematian Husein dengan membuat tabuik. Tabuik artinya keranda jenazah. Kegiatan mengusung tabuk pertama kali dibawa oleh tentara Sipahi (sepooy) ketika Inggris menguasai pesisir barat Sumatera sekitar tahun 1825. Tabuik dirancang indah, di sisinya terdapat kerangka burung yang dinamai buraq, perlambang kendaraan Husein ke surga. Dalam pelaksanaannya, golongan Sidi dan Bagindo jadi penyandang dana, sedangkan golongan Sutan adalah yang berkepentingan dengan adat dan penjaga keamanan. Prosesinya dimulai dengan mengambil segumpal tanah yang dipimpin oleh seorang pawang yang diiringi seratus orang sambil menabuh gendang. Pengambilan tanah ini merupakan simbol pengambilan jenazah Husein di Karbala. Lalu tanah dibawa ke daraga (simbol kuburan Husein) dengan iringan riuh pengantar.

Hari berikutnya, prosesi dilanjutkan dengan memotong batang pisang yang dinamakan Pedang Jenawi. Beberapa batang pisang ditebas dengan pedang sebagai representasi kekejaman algojo pada pengikut Husein. Ekpresi kemarahan kontan mucul dari rombongan pengiring yang melahirkan perkelahian massal. Adakalanya perkelahian ini sampai terjadi sungguh-sungguh. Prosesi Hoyak Hosen sempat dilarang pada pendudukan Belanda dan Jepang. Orde Baru juga pernah melarangnya selama delapan tahun tahun sejak 1972. Pada tahun 1980, Bupati Anas Malik kembali membolehkannya.

(SB/berbagai sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *