Satu Islam Untuk Semua

Monday, 30 June 2014

Demi Tuhan, Bola dan Rio De Jenairo


Benzema Berdoa

Bertepatannya Ramadhan dengan Piala Dunia di Rio De Jenairo, Brazil, jadi persoalan tersendiri untuk atlet bola Muslim dari berbagai negara. Di satu sisi, mereka berharap puasa mereka bisa penuh. Tapi di sisi lain, dan ini sepertinya mustahil tergapai sekaligus, kompetisi akbar bola itu menuntut fisik yang serba prima. Bukan rahasia lagi kalau pertandingan umumnya digelar siang hari dan Brazil jelas bukan kawasan yang iklimnya bersahabat.

Di Fortaleza, kota tempat dilangsungkan beberapa pertandingan bergengsi, misalnya, durasi siang hari bisa sampai 12 jam. Suhu maksimum rata-rata di bulan Juli 30 derajat celcius.

Nah, bagi atlit Muslim seperti Yaya Touré (Pantai Gading), iklim itu bukan masalah. Toh iklim Pantai Gading tak jauh beda dengan Brazil. Tapi bagi pemain Muslim dari negara yang iklimnya kontras, ini tantangan tersendiri. Sebut saja bagi Karim Benzema (Perancis), Mesut Özil (Jerman), Philippe Senderos (Swiss), dan Marouane Fellaini (Belgia).

Teorinya, pesepakbola Muslim perlu menelan makanan yang perubahan ke karbohidratnya lambat, seperti ubi jalar dan jagung; di luar jam puasa. Itu menurut Zaf Iqbal, dokter klub Liverpool FC seperti dilansir The Economist. Zaf juga bilang, mereka perlu menghindari makanan dengan kandungan gula tinggi, yang merupakan jenis karbohidrat cepat larut.

Tapi persoalannya tak sesederhana itu. Kalangan ahli bilang ancaman utama bermain bola di bulan Ramadhan adalah kekurangan cairan. Dampaknya lebih memukul ketimbang kekurangan makanan. Dehidrasi misalnya, dapat memangkas fungsi kognitif. Para atlet Muslim kerap sering melaporkan bahwa mereka merasa cepat lelah dan bisa menderita perubahan suasana hati selama Ramadhan. Dehidrasi juga dapat meningkatkan risiko cedera.

Kiatnya, kata kalangan ahli, adalah pemain bola Muslim perlu minum banyak cairan sebelum fajar. Mereka juga tidak boleh berlatih selama bagian terpanas di siang hari. Mengakali perubahan pola tidur selama Ramadhan, beberapa dokter menyarankan pemain untuk memperbanyak jam tidur siang. Menurut ahli, kiat-kiat ini cukup jika membantu pemain Muslim tetap bugar selama pertandingan di bulan Ramadhan.

Kendati, soal dehidrasi selama pertandingan tetap jadi ancaman besar. Berbeda dengan sesi latihan, waktu pertandingan tidak dapat disesuaikan dengan keinginan atlet. So, jangan heran jika kemudian banyak yang pragmatis. Marouane Chamakh, pemain bola asal Maroko, misalnya, memilih tidak berpuasa demi mengejar fisik prima saat pertandingan. Chamakh bilang dia bakal mengganti puasanya yang tertinggal di hari lain.

Contoh lainnya saat Olimpiade London pada tahun 2012, yang juga bertepatan dengan Ramadhan. Abdul Buhari, seorang atlet pelempar cakram, memilih tidak berpuasa demi mendapatkan penampilan fisik prima. “Saya percaya Allah Maha Pemaaf, dan saya bakal akan mengganti setiap puasa yang tertinggal selama pertandingan,” katanya. (Asri/The Economist)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *