Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 31 December 2015

Surat Pengakuan Dosa Serdadu Amerika: ‘Saya Ikut Menciptakan ISIS’


Oleh Vincent Emanuel* 

Beberapa tahun terakhir masyarakat dunia bertanya-tanya “dari manakah datangnya ISIS?”.
Banyak versi penjelasan yang beredar, termasuk yang sering terdengar: ini soal kepentingan geopolitik Hegemoni Amerika, ketegangan Suni-Syiah, ideologi Wahabi, atau ekologi dan meningkatnya pengungsi dari negara tertentu.

Ada banyak juga komentator, bahkan dari eks perwira militer, yang secara benar menyatakan bahwa Perang Amerika di Irak adalah yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan kekuatan yang dikenal dengan nama ISIS, ISIL, Daesh dan semacamnya. Di sini semoga saya bisa menambahkan beberapa catatan dari pengalaman pribadi.

Mimpi buruk Mesopotamia (Irak)

Saat saya ditugaskan di Irak bersama Batalion 1 dan Marinir 7 dari tahun 2003 sampai 2005, saya belum menyadari dampak dari peperangan itu, tapi saya tahu pasti akan ada bumerang. Balasannya itu djuluki “blowback” (ledakan balik) dan itulah yang sedang dialami di dunia (Irak, Afghanistan, Yaman, Libya, Mesir, Syria, Prancis, Tunisia, California, dan seterusnya) yang seakan takkan berakhir.

Saat itu, saya sering melihat terjadinya pencabulan. Tentu seramnya perang tidak pernah tergambar secara nyata di mata masyarakat Barat. Walaupun ada banyak organisasi anti-perang yang giat berusaha memaparkan kekejaman perang Amerika terhadap Irak, namun mainstream media dan kekuatan korporasi politik Barat selalu bisa menghalangi terungkapnya kejahatan perang terbesar di abad ke-21 ini.

Saat kami berpatroli provinsi Anbaar sambil melempar-lemparkan “makanan siap santap” dari kendaraan kami, saya tidak pernah berfikir seperti apakah kami akan dikenang sepanjang sejarah? Saat itu saya hanya berfikir mengurangi padatnya ruangan kendaraan Humvee kami. Beberapa tahun selanjutnya, saat saya duduk di bangku universitas yang membahas sejarah peradaban Barat dan mendengar bagaimana professor berbicara soal kebangkitan peradaban, saya malah mengingat sampah kami di daratan sahara Mesopotamia.

Melihat apa yang terjadi di Irak dan Suria akhir-akhir ini, membuat saya mengingat anak-anak kecil yang dizalimi oleh rekan serdadu yang melempari mereka bukan hanya dengan makanan dan permen, tapi juga kotoran air seni, sampah, batu, dan segala macam lainnya. 

Selain itu saya juga mengingat ratusan orang yang ditangkap dan disiksa di fasilitas sel-sel kami yang dipenuhi dengan serdadu ABG dari  Tennessee, New York dan Oregon. Untung saya tidak pernah bernasib buruk harus bekerja menjaga penjara. Tapi saya masih ingat bagaimana mereka bercerita soal memukuli, menampar, menendang, menyikut, dan menyiksa tahanan warga asli Irak. Saya juga mengingat soal pelecehan seksual seperti memaksa tahanan pria untuk bersetubuh satu sama lain, seraya menakuti dengan pisau yang mengarah di antara kemaluan. Bahkan kadang sampai menyodomi mereka dengan tongkat. 

Keluarga mereka yang ditahan tak pernah diberi tahu dan jika ada yang akhirnya dibebaskan, dia akan dibuang begitu saja di tengah padang pasir yang jauh dari pemukiman. Kadang ada juga yang masih menembak ke sekitarnya, sekedar untuk menakut-nakuti dan tertawa. Tahanan Irak itu tentu kan berlari terbirit-birit seraya masih menangisi nasib mereka yang dijanjikan kemerdekaan dari luar. Siapa yang tahu mana yang tetap hidup, pada akhirnya seakan tiada dunia yang benar-benar peduli.
Kami tahu ada seorang tahanan yang tetap hidup dibebaskan. Namanya adalah Abu Bakar Albaghdadi, pemimpin ISIS.

Saat itu banyak tentara kami yang mengisi waktunya dengan memotret orang-orang Irak yang mati. Bahkan kadang ada yang memutilasi tubuh mereka hanya sekedar untuk mencari hiburan dan bahan tertawaan. Karena i-Phone belum ada saat itu, jadi ada yang membawa kamera digital. Tentu isi kamera itu memuat sejarah kejahatan yang mana Barat berharap dunia tidak pernah tahu. Sebagian kamera itu juga menyimpan memori Pembantaian Wanton dan banyak kejahatan perang yang takkan bisa terlupakan oleh Irak.

Betapa seringnya warga sipil yang tak berdosa dirazia, disiksa dan dipenjarakan, bahkan ada ratusan ribu orang yang jasadnya dibakar. Sebagian penelitian bahkan mengatakan jumlah korban dibakar mencapai jutaan orang.

Hanya rakyat Iraklah yang memahami kejahatan yang ditimpakan pada mereka. Mereka tentu mengingat peran Barat yang membuat mereka memerangi Iran selama 8 tahun. Mereka mengingat sanksi Clinton semenjak 1990 yang menyebabkan kematian 500.000 orang. Mayoritasnya adalah wanita dan anak-anak. Tentunya, mereka juga mengingat datangnya tahun 2003 dimana Barat mematangkan misi perangnya di Irak.
Irak telah menjadi negeri yang hancur. Masyarakatnya hidup dengan racun penyakit dan lingkungannya tercemari racun bekas bom dan uranium. Setelah 14 tahun “War on Terror” satu hal adalah pasti; Barat sangatlah hebat menumbuhkan kekejaman dan mencipta negara-negara gagal.

Hidup bersama hantu

Tatapan mata basah pemuda-pemuda Irak menghantui saya. Membuat saya terus mengingat jiwa-jiwa yang terbunuh dan mayat-mayat yang berserakan namun tak pernah hilang dari benak.

Kenangan hari-hari dan mimpi buruk selalu mengingatkanku pada ISIS dan dari mana datangnya mereka. Tentu saja mereka membenci kami. Kebencian yang telah lama tertanam dan kan tertuju pada Barat untuk masa yang lama.

Skala kehancuran yang telah dibuat Barat pada Timur Tengah sudah tak terbayangkan. sehingga sudah tidak sepatutnya lagi kita masih mendengar pertanyaan “mengapa mereka membenci kami?”.

Akhir kata, satu-satunya cara untuk menghalangi adanya organisasi seperti gaya ISIS adalah dengan melawan militerisme ala Barat yang kerap muncul dalam berbagai format: kudeta ala CIA, perang proxy, serangan drone, kampanye palsu, pemboikotan ekonomi dan semacamnya.

Sementara ini siapapun yang sempat bertugas militer di Irak pasti akan hidup bersama hantu-hantu perang.[]

*Tulisan opini ini terjemahan IslamIndonesia atas opini Emanuel di situa TeleSUR.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *