Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 14 June 2017

KOLOM – Pemimpin yang Takabur


islamindonesia.id – KOLOM – Pemimpin yang Takabur

 

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Sumber daya primer pada dan dari manusia untuk pelaksanaan manajemen sosial adalah kasih sayang dan pengayoman. Hanya kalau terpaksa kemudian mungkin digunakan kekuasaan. Dan jika ada yang darurat, diterapkan kekuatan. Keikhlasan dan etos kerja lebih maksimal dalam atmosfer yang pertama dibanding yang kedua, apalagi yang ketiga.

Itu berlaku dalam mengelola keluarga, masyarakat, perusahaan, pemerintahan Negara, bahkanpun menangani sebuah kesebelasan sepak bola atau memimpin orkestra musik. Jangan lupa berlaku juga untuk memelihara kambing, merawat tetanaman, atau menghandle kesehatan jasad dan kejiwaan manusia.

Kehadiran (main display, main icon) Allah yang utama adalah Rahman dan Rahim. Maha Pengasih dan Penyayang. Bukan Maha Perkasa, Maha Berkuasa atau Maha Penghukum. Ketika menampung kebutuhan manusia untuk mengeluh dan minta tolong kepada-Nya, Allah memberi metode: “Katakan: aku berlindung kepada Yang Maha Mengayomi” dulu. Kalau urusannya agak “padat”, baru “Katakan: aku berlindung kepada Yang Maha Berkuasa”. Jika terpaksa baru “Katakan: aku berlindung kepada Maha Sesembahan”.

Yang “Maha Sesembahan” itu praksisnya dalam Islam adalah si hamba bersujud. Frasa Jawanya bahkan “ambruk”, “ndelosor” dan “pasrah bongkokan”. Pasrah berlangsung pada hubungan yang rela. Kalau terpaksa, namanya menyerah. Kepada Tuhan kita ambrukkan semuanya, ya pasrah ya menyerah. Kalau ada tetangga di kampung berlaku sok hebat, seenaknya sendiri memperlakukan sekelilingnya, kita layani dengan kasih sayang. Kalau tidak mereda kurang ajarnya, kita bilang Pak RT untuk menggunakan kekuasaan. Kalau terpaksa dan darurat, demi kemashlahatan penduduk sekampung: kita bikin dia “ndelosor”, bersimpuh pada posisi “menyembah” kita karena kesakitan kita bikin sengsara.

Pada panduan metode lain yang menyangkut struktur penggunaan karakter-Nya, Tuhan mencontohkan, bahwa sebelum kasih sayang, ada sumber daya yang lebih lubuk lagi, yakni ‘Alimul ghoibi was-syahadah. Allah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib dan maha menyaksikannya. Terapannya untuk manusia mestinya Muta’allimul ghoib was-syahadah: seorang pemimpin atau pengelola, secara konstan dan dinamis mempelajari segala sesuatu dalam lingkup kepemimpinannya, sehingga secara simultan ia berhijrah dari belum tahu menjadi tahu.

Sesuatu yang belum diketahui namanya gaib. Sesudah diketahui tak gaib lagi, tapi selalu tetap tersisa lebih banyak lagi yang gaib. Maka pengetahuan atau pembelajaran terhadap segala sesuatu yang belum diketahui — tidak boleh berhenti. Itupun oleh Tuhan dianjurkan agar “was-syahadah”: sampai ke tingkat empiris, dialami, dihayati, disimulasi, dimuhasabahi, dihitung, ditimbang-timbang.

Kadar pencapaian Muta’allimul ghoib was-syahadah manusia atau pemimpin, berbanding lurus dengan volume atau kedalaman tumbuhnya kasih sayang sosial di dalam dirinya. Urutan dari Tuhan: sesudah ‘Alimul ghoibi was-syahadah, kemudian Rahman dan Rahim, baru seseorang punya modal memadai untuk Al-Malik, menjadi pemimpin, pemegang otoritas.

Mungkin sekalian dilengkapi saja. Pengelola, pemimpin, pemegang otoritas, Al-Malik, harus al-Quddus, harus suci niatnya, jujur pikirannya, objektif pandangannya dan adil keputusannya. Hanya dengan itu ia menapaki tahap kepemimpinannya hingga sampai ke as-Salam: membangun keselamatan bersama. Kemudian al-Mu`min: berlangsung dialektika saling mengamankan. Lantas al-Muhaimin: terbangun organisme perawatan keamanan, metabolisme putaran kenyamanan dalam kehidupan rakyat dan masyarakat.

Kalau Pemimpin lulus mengkarakteri delapan kualitas itu beserta pengejawantahannya, maka secara alamiah ia akan memasuki tahap al-‘Aziz, kekuasaannya menjadi perkasa, tidak karena kekuataannya yang menindih, melainkan bersumber dari dialektika kasih sayang. Berikutnya lebih kokoh lagi, al-Jabbarngedap-edapi. Puncaknya al-Mutakabbir. Pemimpin menjadi “takabur”, tidak kepada rakyatnya, tetapi kepada masalah-masalah yang harus ditanganinya. Takabur artinya “membesari” atau “mengatasi”, hadir lebih besar dibanding tantangannya, lebih tinggi dibanding ancaman kepadanya, “mrantasi”, mampu mengatasi masalah-masalah, sehingga rakyat merasa aman dan nyaman dipimpin olehnya. Level Pemimpin Takabur tidak perlu “parno” selama masa jabatan 5 tahun pertamanya, sibuk menghimpun aset dan akses supaya berkuasa lagi 5 tahun berikutnya. Rakyat sendiri yang akan “nggandholi” dan memintanya tetap memimpin, tanpa rakyat perlu diiklani, dicitra-citrai, ditipu dan diperdaya.

Kalau mau dekat pada macan dan macan dekat padamu, jangan punya niat untuk mengalahkannya. Tapi kalau tetap bernafsu mengalahkan, berkelahilah melawan macan itu, dan menanglah. Macan tunduk, tetapi di lubuk nalurinya menggumpal dendam dan ancaman. Cara yang agak lebih terpelajar adalah menaklukannya dengan ilmu, strategi dan taktik: dirayu, disediakan makanan, disiapkan lasso, tali atau kurungan untuk mengikatnya. Ini juga tidak menjamin hati macan memuat sekam amarah, yang dipendam.

Cara yang lebih “adil dan beradab” adalah engkau membangun energi positif di dalam dirimu, perbowo, wibawa, pancaran hawa kesejukan, aura yang mengamankan, karakter Pawang. Engkau cukup hadir, asal ada engkau, semua lega dan merasa terlindung. Mungkin engkau menatap mata macan, mengelus kepalanya. Hadirmu meneduhkannya. Ia bukan hanya tidak merasa terganggu, bahkan merasa punya sahabat yang membuat ia merasa aman. Pawang itulah Pemimpin Takabur. Kalau ada dia, pertengkaran reda, suhu menurun, angin menyapu sejuk, semua saling mengalah karena tidak merasa terancam. Semua berlomba memberi dan mengasihi, karena merasa nyaman dalam kebersamaan.

Yogya 6 Juni 2017.

 

IslamIndonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *