Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 04 October 2016

KAJIAN – Haram Membiarkan Wajah Muslimah Terbuka? (Bagian 1)


IslamIndonesia.id – KAJIAN – Haram Membiarkan Wajah Muslimah Terbuka? (Bagian 1)

 

Salah satu kenangan Syekh Muhammad Al-Ghazali ketika berada di sebuah negara Teluk ialah membaca sebuah buku kecil yang menyebutkan bahwa Islam mengharamkan perzinaan. Sedangkan membiarkan wajah wanita tetap terbuka, adalah jalan menuju perzinaan.

“Karena itu, membiarkan wajah wanita dalam keadaan terbuka adalah haram pula. Sebab, yang demikian itu merupakan sumber kemaksiatan,” kata Syekh Al Ghazali mengutip isi buku itu.

Sejauh manakah kebenaran pandangan ini? Ada dua hal, menurut Syekh Al Ghazali, yang sangat diharapkan bagi kebangkitan Islam masa kini. Pertama, menjauhkan diri dari kesalahan-kesalahan masa lalu yang telah menyelewengkan umat sehingga mendatangkan kelemahan padanya dan menimbulkan keberanian musuh-musuh terhadapnya. Dan kedua, memberikan citra Islam yang praktis dan menyenangkan bagi siapa yang memandangnya, di samping menghapus beberapa penimbul keraguan di sekitarnya dan menampakkan kebenaran wahyu sebagai-mana adanya.

“Sungguh disesalkan bahwa sebagian dari orang-orang yang digolongkan dalam gerak kebangkitan ini telah gagal dalam menerapkan kedua hal tersebut,” kata ulama jebolan Al Azhar Mesir ini.

Bahkan sebaliknya, mereka telah berhasil menimbulkan ketakutan terhadap Islam dalam diri banyak orang, dan sekaligus memberi kesempatan kepada musuh-musuh Islam untuk menjelek-jelekkannya.

[Baca: Kritik Syeikh Al-Ghazali atas Pendiri Wahabi]

Kembali pada buku yang berpandangan haramnya membiarkan wajah Muslimah terbuka. “Saya pernah memberikan komentar mengenai pendapatnya itu. Yaitu, bahwa Islam mewajibkan wanita yang sedang menjalankan ibadah haji agar membuka wajahnya. Demikian pula di waktu shalat, agama membiarkan wanita membuka wajahnya.”

Apakah hal seperti ini, yang dilakukan dalam dua di antara rukun-rukun Islam, merupakan pembangkit nafsu birahi atau pembuka jalan bagi terjadinya kejahatan?

“Sungguh sesat kesimpulan yang diambilnya itu.’’

Rasulullah saw. sendiri telah menyaksikan wajah-wajah wanita terbuka, dalam pertemuan-pertemuan umum, di masjid dan di pasar. Namun tak pernah diberitakan bahwa beliau memerintahkan agar wajah-wajah mereka itu ditutup.

“Apakah kalian merasa lebih membela kehormatan agama daripada Allah dan Rasul-Nya?”

Al-Ghazali kemudian mengajak meneliti Kitab Allah dan Rasul-Nya agar segala sisi masalah ini menjadi jelas bagi kita. Pertama, seandainya semua wajah wanita (di masa hidup Nabi saw.) tertutup, mengapa kaum Muslim diperintahkan agar “menahan” pandangan mereka?

Sebagaimana tersebut dalam ayat suci, “Katakanlah kepada orang laki-laki beriman agar mereka “menahan” pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian adalah

lebih suci bagi mereka . . .” (An-Nur: 30).

Adakah mereka diharuskan menahannya dari melihat punggung dan bahu? Jelas bahwa “menahan pandangan” yang diperintahkan ialah pada saat melihat langsung ke arah wajah wanita. Adakalanya seorang laki-laki tertarik hatinya ketika melihat wajah seorang wanita.

“Maka seharusnya ia tidak mengulangi pandangannya itu, sebagaimana tersebut dalam salah satu hadis, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Ali r.a.: Jangan mengikuti pandangan (pertama) dengan pandangan lainnya. (Halal) bagimu pandangan yang pertama, tetapi tidak demikian halnya dengan pandangan lainnya.”

Kedua, adakalanya Rasulullah saw. mendapati seorang yang tiba tiba

timbul birahinya apabila melihat seorang wanita yang mengagumkan-nya. Bagi seorang laki-laki seperti itu, jika ia telah kawin, sebaiknya mencukupkan diri dengan istri yang dimilikinya.

Sebagaimana dirawikan oleh Jabir dari Nabi saw., “Apabila seseorang dari kamu melihat seorang wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia pergi menemui istrinya sendiri. Yang demikian itu mampu menghilangkan perasaan yang ada dalam hatinya. Dan sekiranya laki-laki itu tidak mempunyai istri, hendaknya ia mengikuti firman Allah SWT: . . . Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah memberinya kemampuan dengan karunia-Nya . . . (An-Nur: 33).”

Al-Qadhiy ‘Iyadh menuturkan pernyataan dari para ulama di masa-nya; sebagaimana diriwayatkan oleh Asy-Syaukani, bahwa seorang wanita tidak wajib menutup wajahnya ketika ia berjalan di jalanan umum. Sebaliknya, menjadi kewajiban kaum laki-laki untuk menahan pandangan mereka, sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT.

Ketiga, Pada sebuah hari raya, Rasulullah saw. menujukan khutbahnya kepada kaum wanita. (Pada waktu itu, lapangan tempat berlangsungnya shalat hari raya, digunakan bersama oleh kaum pria dan wanita). Beliau berkata kepada kaum wanita: Bersedekahlah, sebab banyak dari kalian adalah kayu bakar api neraka.

Mendengar itu, seorang perempuan yang wajahnya berwarna cokelat (karena terbakar oleh sinar matahari) dan sedang duduk di tengah-tengah perempuan-perempuan lainnya, bertanya: “Apa sebab kami seperti yang Anda lukiskan, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: Karena kalian terlalu banyak mengeluh dan melupakan jasa dan kebaikan suami-suami kalian.

Berkata perawi hadis itu: “Kaum wanita itu langsung bersedekah dengan perhiasan mereka, dengan melemparkan anting-anting dan cincin-cincin mereka ke arah baju yang dikelilingkan di antara mereka oleh Bilal.”

“Pertanyaannya kini: Dari mana si perawi hadis tersebut mengetahui bahwa perempuan yang bertanya kepada Nabi saw. itu wajahnya cokelat terbakar oleh sinar matahari? Tentunya karena wajahnya tidak tertutup!”

Dalam riwayat lainnya dikatakan oleh si perawi: “Aku menyaksikan wanita-wanita itu ketika tangan-tangan mereka melemparkan perhiasan-perhiasan mereka ke arah baju yang dibawa oleh Bilal.”

Dari sihi kita dapat menyimpulkan bahwa wajah perempuan dan tangannya tidak termasuk aurat. [Bersambung…]

 

[Baca: Dr. Yo Nonaka: Hijab, dari Perlawanan Hingga Gaya Hidup]

 

 

YS/IslamIndonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *