Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 07 July 2015

CERPEN – Bahagia di Hari Ketujuh


Is, seorang penyayang kucing maniak. Sebagai karyawan harian dengan gaji Rp 35.000 per hari, ia sisihkan Rp 5.000 untuk enam ekor kucing kecintaannya.

Pagi yang bahagia bagi Is bila ke enam ekor kucingnya sudah sarapan kenyang dengan menu istimewa, berkumpul mengelilinginya berdesakan berebut duduk di pangkuannya, sambil krrrrr…krrrrr menemaninya minum kopi.

Dalam keadaan seperti itu, Is seperti menemukan kebahagiaannya yang sulit dimengerti orang lain. Istrinya, hidup bergerak seperti mesin, tenggelam dalam rutinitas tradisinya sepanjang tahun. Menyiapkan makan pagi bagi anak-anaknya yang segera berangkat sekolah, berbelanja, memasak, mencuci pakaian, menyetrika dan beberes rumah. Tidak ketinggalan dia menghidangkan STMJ (Susu Telur Madu Jahe) buat Is.

Begitulah hari-hari dalam keluarga Is. Kucing sudah mendapat posisi jauh melampaui hak-haknya.

Tapi memang sudah wataknya, malapetaka seringkali hadir tidak pernah terbayang sebelumnya. Dalam beberapa hari terakhir, empat dari enam ekor kucingnya mendadak tidak mau makan dengan sebab yang tidak jelas. Is jadi gelisah. Menu khusus dihidangkan. Empat sehat lima sempurna. Susu murni, daging cincang, wortel parut, juga telor. Is tidak lagi menghitung berapa uang yang mesti dibayar. Kucing-kucing itu tetap saja melengos tanpa selera dengan sorot mata yang sayu.

Hari-hari berikutnya, gerakan mereka melemah, tubuh makin kurus, tidak lagi lincah seperti biasa. Bahasanya hanya pandangan kosong, seakan hendak segera mengucapkan selamat tinggal.

Is makin bingung. Terpikir oleh Is, kucing-kucingnya ini rupanya stress menahan rindu berat padanya. Memang akhir-akhir ini, Is sering keluar kota mencari tambahan nafkah bagi keluarganya. Karenanya di hari hari kelabu itu, ia menghabiskan waktunya lebih banyak mengurus kucingnya. Ia mengelus-elus, menyodorkan berbagai makanan, minuman vitamin, susu, sambil terus membujuk dengan janji-janji.
“Tak kan pernah lagi aku meninggalkan kalian lebih dari tiga hari,” katanya berjanji dalam hati.

Tapi kucing-kucingnya tidak juga menanggapi. Mereka sepertinya sudah berketetapan hati untuk terus mogok makan.
“Tidak ada jalan lain, mereka harus dibawa ke dokter,” kata Is bergumam. Sang istri yang sejak tadi sibuk menyulam, nyeletuk: ”Bila kucing-kucing itu dibawa kedokter…itu berarti ….”

“Berarti appaa!” Nada suara Is meninggi.
”Itu berarti bulan ini kita sekeluarga bakal minum teh dan kopi tanpa gula, anak-anak juga tidak minum susu … tapi terserahlah” jawab sang istri menahan diri dari pertengkaran. Dia memilih menyalurkan kekesalannya pada sulaman di tangan.

Walhasil, ajal tidak bisa diundur atau diajukan. Pada harinya, empat dari enam ekor kucing itu mati. Dramatis. Satu persatu mati selang beberapa jam.

Is terpukul berat. Ia merasa bersalah — bahkan berdosa. Kini kucingnya tinggal dua ekor. Keruan saja ia curahkan perhatian serba lebih dari hari hari sebelumnya. Seperti kata orang, musibah seringkali datang tidak sendiri melainkan, seperti pepatah Arab, afwaja: susul menyusul berbondong bondong.

Dua minggu selepas hari sedih itu, Klepon dan Tiwul, begitu nama kedua kucingnya yang tersisa, mengikuti gejala saudara-saudaranya almarhum. Mereka mulai mogok makan. Is panik, stress! Sang istri, meski tegang, berpura-pura tidak tahu apa yang dirasakan suaminya. Diam-diam, ibu tiga anak ini berandai-andai dalam hatinya: “Kalau saja dua ekor kucing terakhir ini mati juga, alangkah bahagianya keluarga ini. Setidaknya biaya untuk kucing-kucing itu bisa dialihkan untuk rekreasi keluarga di akhir minggu. Juga Mirna, anak bungsunya akan sempat mendapat elusan ayahnya. Ah, semoga.”

Begitulah kehidupan: “kullun fi falakin yasbahun” (segala sesuatu, masing masing, punya orbit, putaran kehidupan dunianya sendiri, alquran). Setiap orang secara individual juga punya dunianya sendiri sendiri.

Tiba-tiba, sang ibu mengumumkan pada ketiga anaknya. ”Minggu depan, yuk kita semua rekreasi ke Bengawan Solo, sambil makan pecel karak.”

Spontan pengumuman itu disambut teriakan gembira si bungsu Mirna. “Horeee…horeee….”

Tapi kegembiraan itu hanya berlangsung beberapa detik. Sang ayah yang lagi mbulet (ruwet kusut) dalam dunianya sendiri, menelan kegembiraan keluarganya dengan perkataan keras. ”Tidak akan ada acara kemana-mana! Sebelum Klepon dan Tiwul sembuh,” sambil memukul dinding triplek penyekat kamar rumah.
Is tersinggung, merasa istrinya telah melecehkan perasaannya yang lagi gundah. Si kecil Mirna merayap pelahan masuk ke kamar. Bibirnya gemetar menggumamkan do’a. ”Ya Allah, semoga kucing-kucing itu mau mengembalikan ayah padaku, amien.”

Hari itu, Jum’at, hari kelima Klepon dan Tiwul mogok makan. Kegelisahan Is makin menjadi jadi. Tak henti-hentinya ia mengelus, membujuk, mencoba memaksa kucingnya makan. Klepon dan Tiwul menjawabnya dengan batuk-batuk, muntah, mengerang sakit, seperti keracunan. Is tidak menyerah, meski kondisi mereka semakin parah.

Sabtu adalah hari keenam. Bayang-bayang kucing-kucingnya yang lalu, yang kematiannya di hari ketujuh lepas sakit, menambah kepanikan. Hari ini, malam ini, adalah akhir dari segala daya upaya, pikirnya.

Setelah lama muram dan merenung di kamar, tiba tiba Is nampak lebih tenang. Sepertinya ia sudah menemukan resep mujarab. Sore itu, sebentar-sebentar ia melihat jam, keteras rumah melihat langit, seperti orang puasa menunggu maghrib. Tiba waktu maghrib, ia sholat sendiri saja dan tetap bersimpuh di sajadah sampai waktu isya. Selepas isya’, Is menggendong dua ekor kucingnya, mengunci diri di kamar depan. Klepon dan Tiwul melungker rapi di pangkuannya, merintih lemas. Sorot matanya makin pudar pucat, mengambang tak bersinar, memelas tertuju arah tuannya. Is trenyuh abis, tercabik cabik miris rasa hatinya. Is tenggelam sempurna dalam kesedihan dunianya sendiri.

Ia menggelar sajadah, bersila menghadap kiblat. Klepon dan Tiwul dibaringkan di hadapannya. Entah siapa gurunya, ia mulai membaca qulhu dan ayat kursi masing masing tujuh kali, disambung dzikir sembilan puluh sembilan asmaulhusna untuk kesembuhan Klepon dan Tiwul. Begitulah niatnya.

Bo hwat (apa mau dikata), sampai di penghujung bacaan, Klepon dan Tiwul menggeliat, nungging, mengejangkan kakinya beberapa detik dan … tidak pernah bergerak lagi. Mereka mati hampir dalam waktu yang bersamaan.

Is terpukul berat, terkulai lemas tak berdaya, tidak bisa berpikir apa apa lagi, menyerah sambil memandangi jasad Klepon dan Tiwul yang berbusa di sekitar bibirnya.

Di tengah malam buta, Is sendirian, ya sendirian, ia mengubur cintanya lebih dalam. Di kebon belakang rumahnya, Klepon dan Tiwul dikuburkan. Apa yang dirasakannya, apa yang ada dan terjadi dalam hati jiwa dan pikirannya, hanya Is dan Tuhan yang Maha Tahu.
Fa inna ma’al ‘ushri yusra ..inna ma’al ‘ushri yusra.” (sungguh, bersamaan dengan kesulitan, ada kemudahan).

Menjelang subuh di hari ketujuh, menyusul “musibah besar” yang membuat Is kehilangan daya upaya, tiba-tiba “lailatul-qodar” mampir di kehidupannya.

Dalam ketiada-berdayaannya, ia bersimpuh, tafakur, sholat malam yang dihiasi isak tangis, khusuk dengan sujud panjang sampai adzan subuh terdengar.

Tidak seperti biasanya, subuh di hari itu, ia bangunkan istri dan anak-anaknya dengan semangat. “Ayo bangun, sholat semuanya, siap-siap, kita akan akan rekreasi ke Bengawan Solo rame-rame..ayo Mirna.. ayo…”.

Sambil mengusap matanya yang masih berat, Mirna bertanya pelan. ”Ayah….ayah..ayah, apa si Klepon dan Tiwul sudah sembuh?”

Sambil tersenyum, Is mengelus kepala Mirna penuh kasih sayang. ”Bukan Mirna….bukan sayang…Ayah yang sudah sembuh.”

Do’a Mirna agaknya didengar Allah dan kucing-kucing itu rela mati untuk mengembalikan sang ayah, Is pada anak-anaknya.###

HY/Islam Indonesia/ sumber foto: www.playbuzz.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *