Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 17 March 2019

Ulil Abshar: Umat Islam Perlu Fikih Yang Ditulis Dari Sudut Pandang Pengalaman Minoritas.


Islamindonesia.id – Ulil Abshar: Umat Islam Perlu Fikih Yang Ditulis Dari Sudut Pandang Pengalaman Minoritas.

Aksi terorisme yang terjadi di dua masjid Kota Christchurch, Selandia Baru pada Jumat 15 Maret 2019 lalu, mengundang keprihatinan dari seluruh dunia. Banyak simpati dan ucapan bela sungkawa yang datang dari berbagai belahan dunia atas tragedi tersebut. Tapi tidak sedikit juga yang berusaha mengambil hikmah dan pelajaran berharga dari peristiwa yang menewaskan lebih dari 40 jiwa tersebut.

Salah satunya, adalah Ulil Abshar Abdalla. Sejak peristiwa tersebut, sosok yang dulunya dikenal sebagai pentolan Jaringan Islam Liberal (JIL) ini, menulis cukup banyak di akun Twitternya melalui alamat @ulil.

Dari sekian banyak cuitannya, redaksi Islam Indonesia menemukan satu hal menarik dan perlu ditekankan lebih jauh. Yaitu usulan mengenai fikih yang ditulis dengan mempertimbangkan pengalaman sebagai minoritas yang dipinggirkan. Karena menurut menantu Gus Mus ini, “Fikih Islam klasik ditulis dari sudut pandang pengalaman umat Islam sebagai mayoritas. Karena semua ulama Islam klasik yang menulis buku-buku fikih klasik dulu hidup di negeri-negeri di mana umat Islam adalah mayoritas.”

Berikut ini adalah pendapat Ulil Abshar Abdalah yang telah dirangkum oleh redaksi Islam Indonesia dari cuitannya di media sosial Twitter pada 16 Maret 2019, pukul 22:09 sampai 22:32. Tulisan tersebut mengalami editing minor dan beberapa keterangan tambahan dari redaksi mengingat aslinya banyak singkatan karena ditulis dalam Twitter yang memiliki ruang penulisan terbatas. Silakan disimak:

“Kalau anda pernah merasakan hidup sebagai Muslim minoritas di negeri Barat, anda akan merasakan betapa sakitnya menjadi obyek yang “dicurigai”, di-lain-kan, menjadi sasaran fobia yang bisa berujung pada kekerasan seperti di New Zealand kemarin.

Karena itu, hormatilah minoritas di manapun.

Di setiap negara pastilah selalu ada sekelompok orang yang kebetulan menjadi minoritas – dalam level manapun: minoritas budaya, bahasa, etnik, agama, mazhab, sekte, ekonomi, dan lain-lain.

Mari hormati perasaan kaum minoritas, dan lindungilah hak-hak mereka.

Umat Islam bisa menjadi mayoritas di sebuah tempat, tetapi di tempat lain ia menjadi minoritas. Pengalaman minoritas Muslim sama dengan pengalaman minoritas manapun.

Pengalaman minoritas selalu kurang lebih sama di mana-mana: mereka disepelekan, diliyankan, diabaikan, tak dihitung.

Yang menyedihkan adalah pengalaman minoritas dalam konteks pemilu. Di banyak negara, minoritas ini kalau tidak jadi sasaran perundungan/bully, ya jadi sasaran perolehan suara, apalagi jika kompetisi ketat, dan tak ada pihak yang unggul mutlak.

Minoritas jadi “tie breaker“.

Yang menyedihkan adalah: mem-bully minoritas itu mudah karena “harga politik”-nya murah, ngga ada resiko, dan biasanya mendapat tepuk tangan dari selapisan mayoritas yang kebetulan konservatif.

Karena itu, minoritas bisa jadi tumbal dalam demokrasi yang terbuka.

Umat Islam jelas perlu merumuskan “fiqhul aqalliyyat“, fikih minoritas yang pas dengan tantangan modern. Sebab umat Islam sekarang pun menjadi minoritas di banyak tempat.

Dan fiqhul aqalliyyat ini perlu mendengar suara dan pengalaman minoritas, termasuk minoritas Muslim.

Fikih Islam klasik ditulis dari sudut pandang pengalaman umat Islam sebagai mayoritas. Karena semua ulama Islam klasik yang menulis buku-buku fikih klasik dulu hidup di negeri-negeri di mana umat Islam adalah mayoritas.

Masih jarang fikih yang ditulis dari sudut pandang pengalaman minoritas.

Yusuf Qardawi adalah salah satu dari sedikit ulama yang menulis tentang fikih minoritas ini. Sementara itu, setahu saya, masih belum ada ulama fikih Indonesia yang menulis fikih minoritas ini, meskipun pikiran-pikiran terserak dari sebagian ulama dan sarjana Islam tentang tema ini sudah ada.

Umat Islam perlu fikih yang tidak ditulis dari sudut pandang “tajribah tafawwuqiyyah“, pengalaman superioritas, yang menjadi ciri fikih klasik kita. Melainkan juga fikih yang ditulis dengan mempertimbangkan pengalaman sebagai minoritas yang dipinggirkan.”

AL/ Islam Indonesia/Photo: Republika

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *