Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 27 August 2016

KAJIAN–Membincang Keadilan Tuhan (Bagian Pertama)


Islamindonesia.id–Membincang Keadilan Tuhan (Bagian Pertama)

 

Oleh: Haidar Bagir*
Di antara segala kepiluan, kegalauan, dan kepanikan melakukan apa saja yang mungkin dalam menghadapi katastrofi dahsyat, sebagaimana gempa tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004, biasanya selalu mendekam pertanyaan besar : apa maunya Tuhan dengan semua ini? Ia bisa melintas secara otomatis dan tidak disengaja, atau bisa juga merupakan kebutuhan filosofis yang sedikit atau banyak lebih terelaborasi, yang pasti ia sulit ditekan – dan sesungguhnya memang tak bisa ditekan – khususnya bagi pikiran-pikiran yang memujikan rasionalisme. Maka, melewati kejadian-kejadian besar seperti ini, biasanya terjadi semacam aktivitas soul searching — yang bisa membawa kita kepada keimanan yang lebih kuat, atau justru krisis teologis yang mengguncang.
Pertanyaan yang menyembul tanpa bisa ditahan-tahan itu adalah : Kenapa Tuhan yang Mahapengasih dan Penyayang, yang Mahakuasa (yang kekuasaannya tidak terbatas), membiarkan – kalau tak malah menciptakan – keburukan semacam gempa Tsunami yang menimbulkan korban jiwa, benda, dan penderitaan yang Maha Dahsyat seperti ini? Apa maunya Dia? Atau, jangan-jangan Tuhan tidak sepenyayang dan sepengasih yang kita kira? Bahkan sesungguhnya Dia Mahapemarah? Di mana keadilan Tuhan, kalau memang Tuhan, seperti yang dikenal oleh orang-orang beragama, itu memang ada?

Inilah sesungguhnya suatu isu yang telah mengisi buku-buku teologi, nyaris sejak pertama kali agama dikenal manusia. Atau, setidaknya, sejak orang mengenal filsafat. Dari zaman pemikir Yunani “pelbegu” seperti Plato, bahkan jauh sebelumnya, hingga pemikir-pemikir Kristen, Yahudi, Islam, atau dari kelompok pemikir mana pun, masalah ini telah menjadi salah satu isu penting dalam filsafat dan teologi. Nyaris tak ada satu pun buku yang terkait dengan filsafat dan teologi yang tak menjadikan isu ini sebagai salah satu bagian pembahasannya. Tapi, kapan saja katastrofi dahsyat terjadi, isu ini kembali mencuat. Karena, betapa pun banyak penjelasan diupayakan, tak bisa semua orang dipuaskan, atau bahkan tak ada pikiran-pikiran filosofis yang bisa sepenuhnya dipuaskan.
Tentu saja ada alternatif penjelasan yang mungkin bisa diterima, meski tak sepenuhnya filosofis, melainkan eksplikatif. Misalnya, penjelasan teologis.

Di antara penjelasan teologis yang biasa ditawarkan adalah, bahwa bencana seperti ini sesungguhnya adalah peringatan dan hukuman Tuhan bagi kebaikan – yakni, “harapan” akan peningkatan kualitas — manusia sendiri. Yang dimaksud tentu manusia yang masih hidup, sementara yang menjadi korban dipercayai akan diperlakukan dengan adil oleh Tuhan di alam yang lain. Apalagi, sebagai bagian dari paket penjelasan ini, bukankah penilaian akan keadilan Tuhan memang tak berhenti hanya pada kehidupan dunia ini? Bukankah perhitungan baru selesai di akhirat nanti?
Masih dalam rangka penjelasan teologis seperti ini, ada yang bahkan berusaha menjelaskan katastrofi – terkadang sambil mendukungnya dengan bukti-bukti kesejarahan – sebagai pendahulu bagi sebuah kelahiran baru yang lebih menjanjikan. Kenapa di Aceh, misalnya? Sebagian orang merasa bahwa ini terjadi justru karena Aceh membutuhkan sebuah kelahiran baru setelah apa yang tampak sebagai kebuntuan dalam penyelesaian masalahnya yang terasa berlarut-larut dan tanpa tanda-tanda penyelesaian. (Sekian tahun setelah itu, melihat Aceh sekarang, tak sedikit orang yang makin yakin pada argumen ini).

Tulisan ini dibuat tentu saja tanpa pretensi untuk memberikan solusi tuntas dan memuaskan terhadap pertanyaan yang usianya sudah setua peradaban manusia ini. Kalau pun ada kontribusinya, maka hal itu akan terletak pada upayanya dalam memaparkan – atau, malah, hanya meringkaskan – solusi-solusi yang pernah ditawarkan terhadap persoalan ini. Bukannya teologis, pendekatan yang dipakai oleh tulisan ini bersifat nyaris sepenuhnya filosofis. Maka, jika setelah membaca tulisan ini orang menjadi faham bahwa persoalannya sama sekali tak sederhana — dan, karena itu, menjadikannya tak gegabah dalam menarik kesimpulan-kesimpulan atas persoalan terdalam hakikat kehidupan manusia di bumi ini — maka saya menganggap tujuan penulisannya sudah tercapai.
Dirumuskan secara logis-diskursif, masalah keadilan Tuhan ini mengambil bentuk silogisme sebagai berikut :
1. Tuhan ada
2. Tuhan adalah baik
3. Tuhan adalah mahakuasa
4. Tuhan adalah mahatahu
5. Dunia mengandung kejahatan (moral) / keburukan (natural)
Berdasar premis-premis di atas orang merasa dapat menyimpulkan secara logis adanya inkonsistensi. Bagaimana mungkin Tuhan yang baik, serta maha kuasa dan maha tahu, menciptakan atau membiarkan kejahatan atau keburukan di dunia?

Menurut John L. Mackie (“Evil and Omnipotence”, dalam Nelson Pike (ed.), Good and Evil, Prentice Hall, Englewoods Cliff, New Jersey, 1964) solusi yang ditawarkan terhadap apa yang dilihat sebagai inkonsistensi logis di atas bisa dibagi dalam dua kategori utama: kategori yang menolak setidak-tidaknya salah satu premis di atas, dan kategori kedua yang mempertahankan semua premis tersebut. Mackie menyebut kategori pertama mencakup solusi yang “mencukupi” dan kategori kedua mencakup solusi yang “rancu”. Marilah sekarang kita uraikan sedikit lebih lanjut dua kategori tersebut.

 

Kategori Pertama
Contoh penting dari kategori pertama adalah argumen bahwa kekuasaan Tuhan tidak absolut. Misalnya, Tuhan atau Demiurgos (Sang Tukang Pencipta Alam Semesta) yang dinyatakan Plato di dalam Timaeus, tidak dapat menjalankan kekuasaan tanpa batas, karena di dunia ada dua asas: materi dan forma (“bentuk”, sifat-sifat yang menjadikan materi memiliki sifat-sifat tertentu yang menjadikannya sesuatu benda tertentu). Demiurgos tidak mampu membuat materi menjadi bentuk apa saja yang Ia maui; Ia sama sekali tidak dapat mempengaruhi bentuk (forma). Maka, Tuhan-nya Plato tidak dapat disalahkan akibat tidak menjadikan kursi, meja, singa, dan seterusnya sebagai benda-benda yang sempurna. Hal ini dikarenakan, materi yang menjadi sumber penciptaan dan ketidaksempurnaan semua benda merintangi kehendak dan tindakan Tuhan.

Ini tidak berarti kita mengatakan bahwa Demiurgos bebas dari tanggung jawab atau kesalahan atas segala kejahatan dan keburukan yang telah atau akan terjadi di dunia. Karena Dia sesungguhnya dapat mencegah beberapa tindakan yang menyebabkan kejahatan dan keburukan, dan Dia memiliki kuasa untuk melakukan atau tidak melakukan hal itu. Tapi, bagaimanapun, penolakan Plato terhadap kekuasaan absolut Demiurgos menghapuskan masalah kejahatan sebagai sebuah kontradiksi, karena kehadiran setidak-tidaknya suatu kejahatan atau keburukan, yakni ketidaksempurnaan benda-benda material, adalah sesuatu yang tidak dapat dikontrol oleh Demiurgos.

Pandangan kedua, yang menegaskan secara konsisten bahwa Tuhan itu baik dan kejahatan itu ada, berasal dari kaum Manikhean. (Mungkin juga dari agama Hindu). Menurut pandangan ini, Tuhan, yang diidentikkan dengan kebaikan, tidak memiliki kuasa selain atas benda-benda yang baik. Benda-benda yang jahat atau buruk diciptakan oleh “oknum” Tuhan yang lain, yakni Tuhan kejahatan/keburukan. Di sini masalah kejahatan tidak muncul; karena, entah kita membicarakan Tuhan kebaikan atau Tuhan kejahatan, kontradiksi mudah dihindari.

Tuhan kebaikan tidak memiliki kuasa selain atas benda-benda baik; karenanya kejahatan atau keburukan muncul bukan karena kehendak Tuhan. Sedang Tuhan kejahatan/keburukan, Dia bukan hanya Tuhan yang terbatas kuasanya, karena Ia memiliki kuasa hanya atas benda-benda yang buruk atau jahat, Ia pun memang bukan Tuhan kebaikan – bahkan, sebenarnya, Ia memang memiliki pembawaan sifat jahat atau buruk. Penciptaan-Nya atas kejahatan atau keburukan, tidak hanya tidak bertentangan dengan Sifat-Nya melainkan justru konsekuensi dari sifat-Nya itu.
Tipe solusi lain dari pandangan kedua dimasukkan ke dalam kategori pertama; karena, bukannya menghapuskan satu atau lebih sifat Tuhan, ia justru menghapuskan kejahatan.
Salah satu solusi lain yang masuk ke dalam kelompok ini menganggap kejahatan sebagai sebuah ilusi, sedang solusi yang lain lagi menganggapnya sebagai ketiadaan kebaikan. Beberapa sekte Hindu seperti Madyamika, misalnya, percaya bahwa seluruh dunia fenomena dengan segala sesuatu yang muncul di dalamnya – benda-benda yang hidup atau mati, baik atau jahat – hanyalah sebuah ilusi.

Dunia ini dimanifestasikan pada kita sebagai real karena pemahaman pikiran kita dibatasi sebagai akibat dari keterpisahannya dengan pikiran absolut atau makrokosmis. Jika kita dapat menghindari diri kita dari keterbatasan pikiran dan melihat benda sebagaimana tampak pada pikiran makrokosmik, semua yang kita alami tentang benda-benda fenomena, termasuk penderitaan dan kebahagiaan, kejahatan dan kebaikan, akan menghilang; yang tersisa adalah sebuah visi tentang keseluruhan, yang tidak mencerminkan pembedaan di antara benda, nilai, atau segala hal yang lain.

Apakah pandangan semacam itu masuk akal, merupakan persoalan di luar cakupan tulisan ini. Yang menjadi perhatian kita di sini adalah fakta bahwa ajaran-dasarnya tidak mengalami inkonsistensi yang ditimbulkan akibat adanya (konsep tentang) kejahatan atau keburukan – setidak-tidaknya ketika ajaran ini diuraikan dalam bentuknya yang eksplisit – karena sesungguhnya kejahatan tidak memiliki eksistensi real di dunia.
Mengenai pandangan yang mereduksi kejahatan menjadi tiadanya kebaikan, seperti juga pandangan yang menganggap kejahatan sebagai sebuah ilusi, ia mencoba memecahkan masalah dengan menghapuskan kejahatan atau keburukan sebagai sebuah realitas positif. Contohnya, ketunarunguan, kebutaan, sakit, kebodohan dan kelemahan adalah ketiadaan pendengaran, penglihatan, kesehatan, pengetahuan, dan kemampuan. Karena merupakan ketiadaan (nonexistence, nonbeing, nothingness), maka kejahatan atau keburukan tak membutuhkan sumber atau pencipta, karena penciptaan hanya berhubungan dengan keberadaan (existence, being).
Persoalannya adalah, kenapa alam ini tidak diciptakan dengan cara sedemikian, sehingga keberadaan bisa menggantikan ketiadaan? Jawaban terhadap persoalan ini bisa diperoleh dengan memfokuskan perhatian pada karakteristik-karakteristik dunia natural. Aksi-aksi dan reaksi-reaksi yang bersifat resiprokal, perubahan-perubahan, penggantian-penggantian, konflik, dan interferensi adalah karakteristik-karakteristik esensial dari dunia material. Jika karakteristik-karakteristik ini tidak ada, maka dunia material ini juga tidak ada. Dengan kata lain, sistem kausal spesifik dunia material adalah suatu sistem esensial yang dibutuhkan oleh sifat dasar maujud-maujud material. Oleh karena itu, dunia material haruslah: terwujud dengan sistem ini, atau ia tak akan terwujud sama sekali.

Di sisi lain, kemunculan sebuah fenomena baru tergantung kepada kemusnahan (atau pemusnahan) fenomena yang lama (yang ada sebelumnya). Demikian pula, ketahanan hidup suatu maujud hidup tergantung kepada pengonsumsian – dan, karena itu, pemusnahan – maujud-maujud hidup lainnya. Misalnya, ketahanan hidup manusia tergantung pada pengonsumsian hasil-hasil tanaman atau hewan-hewan tertentu. Argumentasi terakhir ini antara lain diajukan dalam (filsafat) Hikmah yang bersumber dari aliran Akbarian (aliran yang mendasarkan pada pemikiran Syaikh al-Akbar Ibn Arabi).

 

AJ/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *