Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 02 October 2018

REPORTASE – Bak Kota Mati, Palu Belum Juga Merayap


islamindonesia.id – REPORTASE – Bak Kota Mati, Palu Belum Juga Merayap

 

Laporan dari Safinuddin di Palu

 

 

Saya seakan kurang bisa memercayai lumpuhnya situasi kota ini. Palu, sejauh pengalaman saya termasuk salah satu kota yang cukup aktif. Masyarakatnya amat dinamis. Kegiatan sosial amat maju. Festival demi festival digelar berbagai kelompok sosial atas dukungan pemerintah daerah.

Semarak! Inilah citra yang melekat dalam pikiran saya. Pemerintah daerah dan aktivis sosialnya gesit.

Citra itu tiba-tiba saja hilang ketika mendengar kabar dari salah seorang keluarga saya 24 jam setelah tsunami yang menghantam Palu dan Donggala. Sehari setelah gempa bumi dengan magnitudo 7,4 itu kota nyaris tak disentuh tindakan yang seharusnya. Saya penasaran. Saya memutuskan untuk berangkat ke Palu lantaran putusnya komunikasi dengan rekan yang ada di sana.

Kurang lebih 48 jam setelah kejadian saya tiba di perbatasan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Perjalanan dari Tapalang-Mamuju ke Palu memakan waktu 11 jam. Efek gempa disertai tsunami itu langsung terasa di kabupaten yang berbatasan dengan Sulteng. BBM langka. Antrian bahan bakar di ibukota Kab. Pasangkayu sudah memberi tanda bahwa keadaan yang lebih parah akan terjadi di Palu dan Donggala.

Sesampai di Donggala kurang lebih 30 km sebelum memasuki Kota Palu suasana sudah mencekam. Kampung-kampung gelap gulita. Saya sempat menghitung tedapat 15 kelompok pengungsian sebelum memasuki pusat pemerintahan Kab. Donggala. Sepanjang pantai sudah terlihat kerusakan perumahan penduduk, begitu juga rumah ibadah dan fasilitas umum milik pemerintah. Kian mendekat ke Kota Palu kian terasa dahsyatnya gempa dan tsunami itu.

Kawasan Kabonga Kecil dan Kabonga Besar hanya tersisa beberapa rumah yang kerusakannya kecil. Memasuki daerah Loli Tasiburi hingga Watusampu juga demikian. Banyak pemukiman yang rata dengan tanah. Beberapa kilometer tak dapat dilalui mobil. Jalanan yang patah dan merosot menyebabkan arus kendaraan dari arah Makassar dan Mamuju harus dibelokkan ke bukit. Di sanalah saya melihat puluhan tempat pengungsian. Terpampang tulisan-tulisan pada carik-carik kardus, yang antara lain berbunyi; “Kami butuh makanan dan minuman”, “Terima kasih Sulbar atas bantuanmu” dan sebagainya.

Sejak memasuki Kab. Pasangkayu jaringan telkomsel sudah tidak terakses. Saya terakhir menggunakan alat komunikasi pada saat masih di wilayah Kab. Mamuju. Memasuki Kab. Pasangkayu, daerah ujung utara Sulbar alat komunikasi sudah terputus. Tidak ada seorang kawan pun yang dapat saya beri kabar atau saya tanya keberadaannya.

Ternyata ada sedikit lokasi yang dapat menangkap pesan komunikasi namun kita tidak mendapat informasi tersebut. Tepat di halaman Kantor Gubernur Sulteng saya bisa memberi kabar ke beberapa teman Jakarta dan Sulbar. Itu pun sangat-sangat lambat. Sayangnya, tak satu pun dari puluhan kawan di Palu yang saya hubungi dapat menjawab.

Beberapa hal yang amat lambat ditangani setelah 60 jam kejadian berlalu, antara lain;

Pertama, korban. Upaya penemuan korban sangat rendah. Masih banyak lokasi yang belum disentuh untuk menemukan korban. Selain korban yang sudah ditampung di beberapa Rumah Sakit masih amat banyak keluarga yang mengaku memiliki anggota keluarga yang belum pulang ke rumah. Tindakan untuk memastikan keadaan mereka tak terlihat.

Saya saksikan pada hari ketiga, masih ada puluhan jenazah yang terjejer di halaman RS Undata di kawasan Tondo, Palu. Bau busuk menyengat sudah mulai tercium dari jarak beberapa ratus meter. Jenazah sudah mulai bengkak bercampur debu ditikam terik matahari yang saya perkirakan mencapai 35 derajat Celcius itu dibiarkan sudah makin sulit dikenali, namun belum juga dikuburkan.

Saya mendatangi kantor pemerintahan tapi pimpinannya tidak di tempat. Gubernur keluar kota, pelaksana tugas wakil gubernur juga tidak dapat ditemui. Begitu juga Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palu tidak ada pada saat itu. Saya putar ke Radar Sulteng, tidak bertemu dengan seorang pun wartawan. Kantor MUI juga tak terisi. Maksud saya ingin mengusulkan agar jenazah yang sudah membusuk itu dikuburkan saja.

Menurut informasi yang saya terima bahwa tumpukan jenazah itu baru tertangani pada pagi harinya. Berarti sudah memasuki hari keempat.

Informasi tentang korban pun hanya ada di beberapa titik seperti RS, masjid besar, atau posko tertentu. Sayangnya, banyak penduduk yang tak dapat datang ke tempat itu karena tiadanya kendaraan. Saat semacam inilah peran komunikatif pemerintah kota sangat dibutuhkan.

Pada hari keempat ini masih banyak reruntuhan yang mengeluarkan bau mayat. Dapat dipastikan bahwa korban jiwa masih banyak yang tertimbun reruntuhan.

Korban luka-luka yang dirawat di RS pada umumnya ditangani seadanya. Banyak dokter dan perawat RS yang hilang pada saat kejadian. Korban luka ditangani para dokter muda, mahasiswa kedokteran yang sedang praktik, dan perawat-perawat muda. Jumlahnya yang sangat sedikit membuat mereka mengerahkan relawan non medis untuk ikut menjahit luka pasien.

Banyak korban luka serius yang akhirnya harus dievakuasi melalui pesawat hercules milik TNI AU ke Kota Makassar. Bandara Mutiara SIS Al-Djufri penuh sesak oleh antrian calon penumpang hercules yang disediakan gratis oleh pemerintah itu. Sayangnya, cara pendataan calon pengguna jasa penerbangan itu kurang baik. Begitu juga jumlah armada sangat sedikit. Semua ini menyebabkan banyaknya calon penumpang yang harus rela menunggu sampai puluhan jam. Ada yang mengaku sudah menunggu selama tiga hari namun belum juga diberangkatkan. Keadaan bandara sangat kotor dan semrawut. Tiadanya persediaan air bersih juga turut menyumbang bau tak sedap di sekeliling tempat itu. Buang air kecil di sembarang tempat sudah dibiarkan. Sampah, jangan ditanya lagi bagaimana berserakannya.

Kedua, fasilitas vital seperti jalan raya dan listrik belum juga dapat difungsikan. Banyak jalanan yang terbongkar belum diratakan sehingga belum bisa dilalui kendaraan. Ini juga menghambat arus masuknya bantuan makanan, minuman, pakaian, dan obat-obatan.

Penerangan juga masih memakai bantuan genset. Masalahnya, suplay bahan bakar minyak masih amat kurang. Keadaan semua SPBU di Kota Palu dan Donggala, bahkan Pasangkayu Sulbar diwarnai antrian yang amat panjang. Saya pernah mengantri selama 6 jam di SPBU Kawasan Tanaruntu untuk mengisi tangki sepeda motor. Tiap orang hanya boleh mengisi tempat penampungan bensin dan solar maksimal senilai IDR 50.000,00.

Ketiga, Kebutuhan air bersih pun kian terasa mendesak. Listrik yang tidak berfungsi selama lebih tiga hari menyebabkan penduduk kekurangan air bersih. Banyak yang memilih keluar kota. Ada yang ke Poso, Toli-Toli, Mamuju, Gorontalo, Manado, bahkan ke Makassar.

Rektor Universitas Tadulako memutuskan libur kuliah bagi mahasiswanya hingga sebulan. Kegiatan kampus juga diliburkan. Dosen dan pegawai kebanyakan memilih meninggalkan kota.

Menurut informasi Selasa siang, baru dua dari enam gardu listrik yang difungsikan. Gardu listrik yang melayani kebutuhan di pusat kota pun belum aktif hingga malam Rabu. Masih ada puluhan tiang listrik yang roboh atau miring belum didirikan kembali.[]

 

(Bersambung)

 

 

YS/Islamindonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *