Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 05 February 2014

Rabi’ah dan Roti


mesin-bakeryku.blogspot.com

“… ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi, atau roti-roti itu memang sebenarnya bukan untukku.”

 

Suatu ketika, dua tokoh agama terkemuka datang mengunjungi Rabi’ah. Keduanya merasa sangat lapar dan berharap agar kedatangannya dapat disambut dengan hidangan lezat, mengenyangkan lagi halal.

“Mungkin kita akan diberi makanan oleh Rabi’ah,” kata keduanya satu sama lain sembari melangkahkan kaki.

“Makanannya pasti lezat dan mengenyangkan,” kata salah satu tokoh.

“Juga pastinya halal,” jawab satu tokoh yang lainnya.

Ketika duduk, di hadapan mereka terlihat sepotong kain dengan dua buah roti di atasnya. Mereka pun saling pandang, sembari melebarkan senyum bahagia karena harapan mereka segera terpenuhi.

Tak berapa lama datanglah seorang pengemis. Rabi’ah pun memberikan kedua potong roti tersebut kepadanya. Kontan dua tokoh agama itu langsung merasa jengkel. Pupus sudah harapan mereka untuk menikmati makanan yang diidamkannya itu. Namun, mereka sebisa mungkin bersikap wajar, seolah tak terjadi apa-apa dari keduanya.

Di tengah-tengah tegur sapa, muncullah seorang gadis pelayan dengan membawa setumpuk roti yang masih hangat di hadapan mereka. “Majikanku mengirimkan ini,” ujarnya.

Rabi’ah melihat isi bungkusannya, dan terlihatlah delapan belas potong roti.

“Mungkin bukan ini yang majikanmu kirimkan untukku,” katanya.

Sang gadis pun berusaha meyakinkan bahwa bungkusan itu memang diperuntukkan bagi Rabi’ah. Namun, betapa kerasnya usaha sang pembawa bungkusan, Rabi’ah tetap pada pendiriannya. Gadis itu pun berlalu sembari membawa kembali roti-roti tersebut.

Kedua tokoh agama yang melihat kejadian tersebut makin kesal dengan sikap Rabi’ah. “Apakah Rabi’ah tidak tahu jika tamunya ini sedang kelaparan?” pikir salah satunya.

Kenyataannya memang, gadis pelayan itu telah mengambil dua potong roti untuk dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun meminta dua potong lagi kepada majikannya dan kembali datang sembari membawa bungkusan. Rabi’ah pun melihatnya dan kemudian menghitungnya. Kali ini ia menemukan roti yang dikirimkan kepadanya itu berjumlah dua puluh. Ia pun menerimanya.

“Inilah yang majikanmu kirimkan untukku,” ujar Rabi’ah.

Dan, Rabi’ah pun segera menghidangkan roti-roti itu di hadapan kedua tokoh agama tadi. Keduanya langsung melahapnya sambil terheran-heran.

“Apa rahasia di balik kejadian tadi?” tanya mereka kepada Rabi’ah. “Kami berselera memakan dua potong rotimu, tapi engkau mengambilnya dari kami dan memberikannya pada seorang pengemis. Lalu kau berkata bahwa delapan belas potong roti yang pertama kali dikirimkan, bukanlah untukmu. Tapi, ketika roti yang dikirimkan berjumlah dua puluh potong, kau baru menerimanya.”

“Aku tahu bahwa menghidangkan sesuatu yang baik bagi tamu adalah kebaikan. Aku juga tahu, ketika kalian datang ke rumahku sedang dalam kondisi lapar,” jawab Rabi’ah.

“Tapi aku berkata dalam hati, ‘bagaimana mungkin aku hanya menawarkan dua potong roti kepada dua orang terpandang?’ Lalu, ketika seorang pengemis datang, aku memberikan dua potong roti itu kepadanya dan memohon pada Tuhan agar menepati janji-Nya untuk membalas sepuluh kali lipat sedekahku, dan ini sangat aku yakini. Ketika delapan belas potong roti dikirimkan kepadaku, aku tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi, atau roti-roti itu memang sebenarnya bukan untukku.” Lanjutnya.

——–

Kisah ini diolah dari karya Fariduddin Aththar.

Menurutnya, Rabi’ah binti Isma’il al ‘Adawiyah adalah seorang sufi yang berperan besar dalam pengenalan cinta Ilahi.  Konon, ia hidup dari keluarga miskin dan dijual sebagai budak sejak kanak-kanak. Namun, perjalanan hidupnya ke Basrah mengantarkannya pada kemasyhuran yang dihormati banyak kalangan sebagai seorang wali.

Rabi’ah wafat pada tahun 135 H/752 M dan dimakamkan di dekat Yerusalem.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *