Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 13 October 2016

ANALISIS–Ada apa dengan Kompas?


islamindonesia.id–Ada apa dengan Kompas? Kenapa jadi Media Provokator Sektarianisme?

Siapapun yang menggawangi desk Internasional di situs berita Kompas.com perlu sesegera mungkin ditegur, sebelum dimaafkan dan diizinkan bertemu Jacob Utama (pemilik media raksasa Kompas) untuk dikuliahi panjang kalau ada beda yang sangat besar antara menjadi wartawan yang teliti dan disiplin dalam verifikasi dengan seorang juru propaganda penyebar kebencian.

Kasus: Pada 13 Oktober, media yang dimaksud menurunkan sebuah berita bertajuk “Ritual Menyiksa Diri Warnai Peringatan Hari Asyura di Lebanon

Membaca isinya, pemberitaan jelas merujuk pada isi harian berbasis London, The Independent, sehari sebelumnya dengan judul: “Ashura 2016: Muslims across Lebanon and the Middle East mark holiest day of the Shia calendar”.

Detil: Lepas membubuhkan judul, Kompas.com memasang sebuah foto yang membuat orang mudah bergedik. Berkebalikan dari tradisi raksasa media yang konservatif (baca: anti) dalam memuat foto yang vulgar dan mengandung darah, kali ini media ini memajang foto sekumpulan lelaki Irak dengan pedang di tangan dan darah di sekujur tubuh. Captionnya: “Laki-laki Muslim Syiah di Irak menggoreskan kepala mereka hingga berdarah pada peringatan hari kesepuluh masa berkabung Muharram, yang menandai hari Asyura. Ritual menyiksa diri hingga berdarah-darah juga terjadi di Lebanon.” Atribusi foto: The Independent, yang mengambil dari kantor berita foto Getty Images.

Sampai di sini, sedikit teori penting. Buku-buku teranyar jurnalisme tetap menyebut kewajiban wartawan untuk berpantang dari menghilangkan konteks berita, apalagi sampai menyembunyikan konteksnya.

Bagaimana dengan foto di atas? Foto itu adalah foto stok dari Getty. Momennya kemungkinan besar merujuk pada prosesi Asyura di Irak pada 2009 – jadi bukan kejadian pada 12 Oktober 2016. Bila Anda memeriksa arsip Getty, ada ribuan foto sejenis yang diambil dari kejadian yang sudah lampau. Toh, namanya saja arsip.

Isi berita: Pada bagian lead, media menulis: Darah menetes di jalan-jalan di kota Nabatieh, Lebanon ketika warga Muslim Syiah memperingati hari suci Asyura, yang mencerminkan akar keyakinan mereka.

Kritik: Lead itu membingkai foto yang sudah vulgar dan menyesatkan sebelumnya. Seolah-olah, darah yang menetes di jalan-jalan Nabatieh itu begitu dahsyat seperti dalam foto yang, sekali lagi, menyedatkan itu dan semua itu adalah ‘bagian dari keyakinan Muslim Syiah di Lebanon’.

Betulkah? Coba perhatikan foto berikut:

Foto ini diambil oleh seorang fotografer kantor berita Reuters di Nabatieh pada 11 Oktober 2016. Caption: A robot with fake blood is displayed during commemorations for Ashura in Nabatiyeh, Lebanon October 11, 2016. © Ali Hashisho / Reuters. Terjemahan: (Sebuah robot dengan darah palsu dipajang dalam prosesi Ashura di Nabatiyeh, Lebanon, 11 Oktober 2016).

Bila mau lebih rajin dari wartawan bergaji tinggi di Kompas, Anda bisa mengecek sendiri cerita selebihnya. Bila Anda masuk ke perpustakaan foto Reuters dan mengintip koleksi foto Ali Hashisho yang bermarka 11 Oktober 2016, konteks yang sesungguhnya bakal terlihat jelas: bahwa betul ada tradisi Tadbir (melukai diri) di Nabatiyeh pada 11 Oktober 2016. Tapi tradisi itu jelas bukan seperti tatbir yang dibingkai di foto yang menyesatkan dengan lokasi di Irak dalam tulisan Kompas.com.

Perhatikan foto dan caption berikut:

A medic stands near a Shi’ite Muslim boy with his face covered in blood after he was cut on the forehead with a razor during a religious procession to mark Ashura in Nabatiyeh town, southern Lebanon, October 12, 2016. REUTERS/Ali Hashisho

Terjemahan: Seorang petugas medis berdiri di dekat seorang bocah Muslim Syiah yang wajahnya berlumur darah setelah dia menyayat dahinya dengan sebuah silet saat prosesi religius Ashura di kota Nabatiyeh, Lebanon Selatan, 12 Oktober 2016.

Menyimak foto lainnya, jelaslah bahwa tathbir adalah sebuah tradisi penduduk di Nabatiyeh. Tradisi itu berulang setiap tahun, melibatkan banyak orang dari semua jenis umur, dari lelaki dewasa, anak kecil hingga perempuan tak berjilbab, dan diawasi oleh paramedis dan detil lainnya.

Teori lagi: Tugas terpenting wartawan adalah menggali dan menceritakan konteks dari sebuah berita agar jelas bagi pembaca. Sampai di sini, tak hanya gagal, Kompas kembali jatuh dalam lubang yang lebih fatal.

Paragraf 5: Banyak organisasi, termasuk Hezbollah Lebanon, mendorong warga merayakan Asyura bukan dengan mendonorkan darah ke bank darah, tetapi menetesi jalan-jalan di Nabatieh, Rabu.

Mari kita cek apa kata The Independent, media yang dirujuk Kompas:

Many organisations, including Lebanon’s Hezbollah, encourage people wishing to observe Ashura to donate to blood banks instead, but in Nabatiyeh, a town in the south of the country, the streets were awash with blood on Wednesday. Many mourners were observed cutting their foreheads and beating themselves, blood covering their white clothes.

Sampai di sini, Anda mudah paham di mana blunder Kompas.com yang memiliki tagline Merayakan Perbedaan itu? Media raksasa itu menyebut organisasi seperti Hizbullah mendorong warga merayakan Asyuran untuk menetesi jalan-jalan di Nabatiyeh dengan darah dan bukan dengan mendonorkan darah ke bank darah. Padahal, media yang Kompas rujuk, yakni The Independent, justru jelas-jelas menulis sebaliknya: bahwa Hizbullah mendorong warga yang ikut prosesi Asyura untuk mendonasikan darah ke bank darah ketimbang mengucurkan darah dalam tradisi tathbir.

Pertanyaan besar: ada apa hingga redaksi Kompas.com yang mulia bisa melakukan kesalahan yang begitu fatal (catatan: berita itu telah di-like oleh lebih dari 700 orang di Facebook)? Kenapa redaksi seolah termakan dan larut dalam gendang provokasi sektarianisme dengan memasang loop pada tradisi tathbir di Lebanon dengan bingkai seolah-olah orang-orang Syiah adalah orang-orang yang ‘haus darah’ dan ‘kejam’? Kenapa Kompas tak menyebut dalam tulisannya, yang juga disebut dalam The Independent, bahwa tradisi tathbir telah dilarang dan sangat tidak diajurkan oleh banyak pemerintahan dan ulama Syiah sebab terkait dengan resiko kesehatan?

Tak percaya, ini isi paragraf kelima The Independent: “The self-flagellation ritual, known as ‘Tatbir’ in Arabic and ‘Talwar Zani’ and ‘Qama Zani’ in south Asia, is a tradition that originates from southern Lebanon and Karbala in southern Iraq. It has been banned or strongly discouraged by many governments and Shiite religious authorities in recent years because of the associated health risks.”

Terjemahan: Ritual melukai diri sendiri, yang dikenal dengan “tatbir” dalam bahasa Arab dan “talwar zani” dan “qami zani” di Asia tenggara, adalah tradisi yang berasal dari Lebanon selatan dan Karbala di Irak selatan. Ritual ini telah dilarang dan sangat tidak dianjurkan oleh banyak pemerintahan dan ulama Syiah beberapa tahun belakangan akibat berbagai risiko kesehatan yang terkait dengannya.

Toh, bila mau sedikit saja menggunakan pikiran dan melihat ke level lokal, ada apa hingga Kompas seolah berniat mem-blow up tradisi orang di Lebanon untuk memojokkan Syiah? Kenapa Kompas.com begitu heran dengan tradisi tathbir di Lebanon sementara di Indonesia, bila mau jujur, kita tak pernah kekurangan tradisi yang juga penuh darah – kalau tidak lebih ‘seram’. Lupakah Kompas pada tradisi – sekaligi lagi ingat kata ini “t-r-a-d-i-s-i” Debus di Banten; orang-orang yang punya kanuragan menusuk leher, lidah, perut, pipi dengan besi? Bukankah dalam debus orang kadang membacok tangan sendiri hingga berdarah-darah? Bukankah dalam debus, orang memanjat tangga dengan anak tangga bermata parang? Bukankah dalam debus orang dikubur hidup-hidup?

Atau, ah bagian ini menarik, bukankah perpustaan Kompas yang super modern masih menyimpan foto-foto bagaimana tradisi orang-orang di Filipina dan di sebuah negara Amerika Latin yang memaku tangan dan kakinya di tiang salib untuk mengenang penderiaan Yesus Kristus di tiang salib? Apakah Kompas merasa perlu memajang foto berdarah-darah serupa di Filipina itu di situsnya?

Redaksi Islam Indonesia tidak ingin berandai-andai lebih jauh, misalnya, dengan menduga adanya hubungan baik redaksi bagian pemberitaan internasional dengan para demonstran yang belakangan menolak perayaan Asyuro di Indonesia. Jutaan orang di Indonesia percaya Kompas tidak demikian, dan mayoritas mutlak di negeri ini tak ingin ada konflik sektarian. Mayoritas masyarakat Indonesia berharap dapat menampilkan Islam Indonesia yang ramah terhadap berbagai tradisi dan ragam tafsir Islam, tanpa perlu menghegemoni pihak lain. Dan ini tentu hanya dapat terwujud dengan peran positif media, terutama media raksasa macam Kompas. 

Catatan Redaksi:

Setelah publikasi tulisan di atas oleh Islam Indonesia,  Kompas.com telah memperbaiki berita bertajuk “Ritual Menyiksa Diri Warnai Peringatan Hari Asyura di Lebanon”, terutama kesalahan terjemahan yang terjadi pada redaksi sebelumnya. Hasil capture lama memperlihatkan kesalahan yang telah hilang dalam versi yang telah diperbaiki.

screen-shot-2016-10-13-at-10-53-19-pm

AA/IslamIndonesia

Comments are closed.