Satu Islam Untuk Semua

Friday, 25 March 2016

RESENSI–“The Study Quran”


 

Oleh: Abdillah Toha

Buku “The Study Qur’an”, yang disusun oleh Seyyed Hosein Nasr dkk setebal 2000 halaman menjadi lebih menarik karena berisi 400 halaman lebih berbagai esai tentang Al Qur’an yang ditulis oleh para ahli di bidangnya. Seyyed Hosein Nasr adalah seorang filosof dan profesor studi Islam di George Washington university. Dibawah ini disampaikan cuplikan dari beberapa esai dalam buku itu yang menarik.

Dalam esai tentang “How to Read Quran” ( Bagaimana Membaca Quran Dengan Benar), dikatakan adanya kesamaan antara kelompok literalis/fundamentalis dengan orang-orang yang anti dan membenci Islam. Kedua keompok manusia itu sama-sama membaca Al Qur’an secara tekstual sehingga seringkali terjerumus kedalam kesimpulan-kesimpulan yang menyimpang tentang wahyu Allah.

Al Qur’an diturunkan 1.400 tahun yang lalu kepada sebuah bangsa dengan budaya, adat, dan gaya bahasa tertentu. Karenanya, untuk benar-benar memahami Al Qur’an seseorang harus mempelajari agar mengenal dengan baik situasi dan kondisi saat itu. Contohnya seperti diskursus tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan gender yang sering disalah mengerti dengan akibat  menganggap bahwa Islam merendahkan martabat wanita. Padahal perubahan yang terjadi atas perintah Quran adalah sebuah revolusi bagi perbaikan nasib dan marwah wanita pada zaman itu.

Al Qur’an harus dibaca sebagai sumber hukum dan bukan buku hukum atau kitab undang-undang yang pada umumnya berisi peraturan yang terinci dan spesifik. Penjabarannya sebagai fiqh kemudian dikembangkan oleh para fuqaha yang berkompeten.

Sejak semula sampai saat ini mungkin telah ada puluhan ribuan mufassir (penafsir) alQuran. Semua penafsir itu mau tidak mau merujuk kepada mufassir AlQuran pertama yang tidak lain adalah Nabi dan Rasul kita Muhammad SAW.

Untuk memahami Al Qur’an perlu penguasaan bahasa Arab yang mendalam. Tidak harus orang Arab karena orang non-Arab yang menguasai bahasa Arab tidak sedikit yang unggul dibanding orang Arab. Buku-buku klasik tata bahasa Arab banyak yang justru ditulis oleh orang Persia.

Di sisi lain, sebagian kegagalan memahami Al Qur’an disebabkan oleh gagalnya menghubungkan aturan Al Qur’an dengan sisi spiritual (kehidupan) manusia.  Akibatnya, mereka gagal memahami petunjuk atau aturan Al Qur’an yang menyangkut kehidupan di dunia. Sedemikian sehingga sebagian dari mereka menafsirkan aturan Al Qur’an sebagai pembatasan ruang gerak manusia di dunia.

Esai tentang terjemahan Al Qur’an (Essay kedua: Quran in Translation) juga menarik untuk diperhatikan. Mayoritas ulama sepakat, bahwa hampir tidak mungkin menerjemahkan Al Qur’an dari bahasa aslinya ke bahasa lain karena kata-kata Tuhan yang abadi itu tidak mungkin diubah ke dalam bahasa manusia yang fana. Apa lagi (bahasa) Al Qur’an itu disebut oleh Allah begitu berat, sehingga bila diturunkan ke gunung akan melumpuhkannya karena ketakutan.

“Kalau sekiranya Kami menurunkan Alquran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (QS. Al Hasyr, 59: 21)

Bahasa Al Qur’an juga sulit diterjemahkan dengan sempurna kedalam bahasa lain karena bahasa AlQuran mengombinasikan antara bahasa ucapan dan bahasa tulisan. Ayat-ayat Al Qur’an juga banyak berisi iltifat (berpindah dari kalimat orang kedua ke orang ketiga dan sebaliknya) yang merupakan bagian dari sastra tinggi Arab (balaghah) dan tidak ada padanannya dalam bahasa lain.

Di samping itu, tata bahasa Arab juga mempersulit terjemahan kedalam bahasa lain karena satu kalimat bisa mempunyai lebih dari satu maksud. Contohnya, ‘wa ma arsalnaka illa rahmatan lil a’lamin’. Kata ‘rahmah’ bisa menunjuk ke ‘engkau hai Muhammad’ tapi bisa juga ke ‘al-risalah’ itu sendiri yang membawa ‘rahmah,’ atau bisa kedua-duanya.

Satu kata dalam bahasa Arab bisa mempunyai lebih dari satu arti sehingga penerjemah terpaksa harus memilih salah satu makna yang terkandung.

Bahkan, ada kata dalam bahasa Al Qur’an yang tidak bisa tepat diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Contohnya kata ‘taubah’ (taba-yatubu). Dalam Al Qur’an, kata ini punya makna imbal-balik. Jika dikatakan, Allah dan manusia ber-“taubat” maka tidak bisa diartikan taubat atau bertobat (repent) secara umum, tapi lebih tepat diartikan sebagai “berpaling kepada”. Manusia berpaling kepada Allah (ketika bertobat) dan Allah, alTawwab berpaling kepada manusia (ketika menerima tobatnya).

Bahasa Al Qur’an yang begitu kompleks menggiring jiwa manusia yang terfragmentasi dan nisbi ke hadapan Yang Mutlak. Sedemikian sehingga penerjemah terbaik adalah mereka yg mampu menenggelamkan dirinya ke dalam makna Al Qur’an sehingga pikirannya, kata-katanya, dan perilakunya mencerminkan pesan Al Qur’an itu sendiri. Dan manusia itu tidak lain adalah Muhammad Sallahu A’laihi wa Alihi Wasallam. []

 

AA/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *