Satu Islam Untuk Semua

Monday, 06 July 2015

SEJARAH – Lelaki Tua dan Pecut Unta Nabi


image

Tidak berapa lama sebelum Rasulullah saw meninggal, para sahabat datang berbondong-bondong menjenguk. Di antara mereka ada Ammar bin Yasir. “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, wahai Rasulullah,” kata Ammar bertanya, “siapakah di antara kami yang akan memandikanmu jika engkau berpulang? Dan siapakah yang harus memimpin shalat jenazahmu nanti?”

“…Semoga Allah merahmatimu wahai Ammar,” kata Rasul lirih. Kemudian beliau menengok pada sepupunya, Ali bin Abi Thalib, dan berkata, “Jika engkau melihat ruhku telah berpisah dari jasadku, maka mandikanlah aku sebersih mungkin dan kafankanlah aku… kemudian bawalah aku sampai pada liang kuburku. Sungguh yang pertama menshalatiku adalah Al-Jabbar Jalla Jalaluh dari singgasana-Nya, kemudian Jibrail, lalu Mikail, lalu Israfil bersama bala tentara malaikat yang tak dapat dihitung jumlahnya kecuali oleh Allah Azza wa Jalla. Kemudian para malaikat yang mengelilingi Arsy disusul dengan penghuni langit demi langit. Setelah mereka adalah Ahlul-baitku, lalu istri-istri terdekatku … janganlah menggangguku nanti dengan suara tangisan yang menjerit- jerit.”

Setelah itu Rasul menengok ke Bilal. “Wahai Bilal, kumpulkanlah orang- orang,” katanya.

Warga Madinah pun segera berkumpul. Rasul lalu keluar dari rumah dengan penuh keseriusan. Dia memakai imamah/surbannya, berpegangan pada tongkat dan berdiri di mimbar. Setelah memuja dan mengagungkan Allah, dia berkata: “Wahai para sahabatku, nabi seperti apakah aku di hadapan kalian? Tidakkah aku turut berjuang bersama-sama di tengah kalian, tidakkah tulangku pernah patah, tidakkah dahiku pernah menyentuh tanah, tidakkah darah mengalir pada panasnya wajah hingga membasahi jenggotku, tidakkah aku merasakan dahsyatnya kesulitan dan bersungguh-sungguh bersama sebagian kaumku yang jahil, tidakkah aku juga pernah mengikat batu di perutku karena menahan lapar?”

Hadirin membenarkan semuanya. “Benar wahai Rasulullah, sungguh engkau telah bersabar demi Allah dan melarang kemungkaran yang mengudang bala dari Allah. Semoga Allah memberikanmu sebaik-baik ganjaran.”

Rasulullah balas memberkati. “Begitu juga dengan kalian, semoga Allah memberikan ganjaran yang setimpal buat kalian.”

“Sesungguhnya Tuhanku yang Maha Mulia lagi Maha Agung telah mengeluarkan hukum dan bersumpah untuk tidak membiarkan kezaliman orang-orang zalim, maka aku memanggil kalian hari ini karena Allah; bahwa siapapun di antara kalian yang pernah merasa terzalimi oleh Muhammad, agar dia berdiri dan melakukan qishas terhadapku. Sungguh qishas di dunia lebih aku sukai daripada qishas di akhirat, di hadapan para malaikat dan para nabi.”

Tiba-tiba seseorang bangkit. Namanya, menurut sejumlah hadis, Sawadah bin Qais. “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu wahai Rasulullah,” katanya. “Sesungguhnya saat dulu engkau datang ke Thaif, aku turut serta menyambutmu. Kala itu engkau mengendarai onta dan di tanganmu engkau memegang pecutan. Ketika engkau hendak berjalan dan engkau angkat pecutan itu, kibasannya mengenai perutku dan aku tak tahu apakah saat itu engkau sengaja atau tidak.”

“Aku berlindung kepada Allah dari kesengajaan seperti itu,” kata Rasul.  Kemudian beliau menengok ke Bilal dan berkata, “Wahai Bilal, pergilah ke rumah Fathimah, dan ambilkan pecutan untaku.”

Bilal bergegas. Dalam perjalanan, dia memanggil orang di gang-gang Madinah untuk datang ke mesjid menemui Rasul. “Barangsiapa yang menginginkan qishas untuk dirinya sebelum hari kiamat, hendaklah dia menemui Nabi,” katanya.

Di rumah Fathimah, dia mengetuk lalu berkata, “Wahai Fathimah, ayahmu menginginkan pecutan untanya.”

Fathimah mengambil dari dalam rumah dan menyerahkannya ke Bilal. “Wahai Bilal apa yang hendak dilakukan ayahku dengan pecutan ini?” katanya penasaran.

“Wahai Fathimah, ayahmu telah naik ke atas mimbar dan mengucapkan selamat tinggal kepada para ahli agama dan ahli dunia.”

Mendengar itu, Fathimah bergumam. Nadanya pilu. “Duhai tiada beban seperti bebanmu, wahai ayah … Oh duhai kekasih Allah, duhai kekasih hati.”

Bilal mengambil pecutan lalu membawanya ke Nabi selekas mungkin.

Setelah menerima pecut, Rasulullah bertanya, “Dimanakah orang tua tadi?”

Sawadah masih di dekat Rasul. “Inilah aku wahai utusan Allah.”

“Kemarilah,” kata Rasul. “Balaslah aku dengan pecutan hingga kau rela.”

“Mohon bukalah pakaian yang menutup perutmu, wahai Rasulullah.”

Rasul menyibakkan pakaiannya.

“Demi ayah dan ibuku wahai Rasulullah, izinkanlah aku untuk mencium perutmu,” kata Sawadah.

Rasul memberi izin. Maka orang tua itu (Sawadah) pun berkata, “Aku berlindung pada tempat qishas di perut Rasulullah ini dari api neraka di akhirat nanti.”

“Wahai Sawadah, apakah engkau hendak memaafkan atau hendak membalas?” Rasul meminta ketegasan sikap.

“Aku memaafkan, wahai Rasul.”

Rasulullah lalu berdoa, “Ya Allah ampunilah Sawadah bin Qais sebagaimana dia telah mengampuni Muhammad, Nabi-Mu.”

SHA/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *