WAWANCARA–Dirjen Bimas Islam: Umat Islam Indonesia jangan Minder

IslamIndonesia.id — WAWANCARA–Dirjen Bimas Islam: Umat Islam Indonesia jangan Minder
Agama dengan segala penafsirannya telah menjadi nafas tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia dari dahulu hingga kini. Agama menjadi pedoman, soko guru, tolok ukur, dan sumber hukum masyarakat Nusantara.
Dalam perkembangan kehidupan berbangsa, kita dihadapkan pada persoalan fenomena sebagian masyarakat yang memiliki penafsiran keagamaan yang cenderung mengedepankan kekerasan dalam mengekspresikan agama. Model keberagamaan semacam ini diaktualisasikan dengan sikap intoleran terhadap kelompok berbeda, mudah mengkafirkan orang lain di luar kelompok atau golongannya, serta tidak mampu berdialog dengan keragaman.
Bagaimana pandangan Prof. Dr. M. Machasin, MA, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama, melihat fenomena keberagamaan masyarakat Indonesia saat ini? Majalah Bimas Islam, mewawancarai Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta itu untuk Anda, berikut petikannya.
Bagaimana kondisi keberagamaan umat Islam di Indonesia dewasa ini?
Pertama, agama di Indonesia ini dijalankan dengan cara yang lebih baik daripada di tempat-tempat lain. Bahkan secara umum, saya kira paling baik di dunia. Walaupun tentu ada banyak hal yang bisa dipakai sebagai ukuran bahwa di Indonesia masih terdapat hal yang kurang baik, tapi pada umumnya berkaitan dengan toleransi, ibadah, menyatunya ajaran agama dengan perilaku, dan sebagainya, Indonesia lebih baik.
Kedua, agama itu selalu diamalkan dalam konteks sosial. Ketika masyarakatnya tidak dewasa, maka agama diamalkan secara tidak dewasa juga. Misalnya jika sekarang marak orang-orang yang anti kepada kelompok berbeda, anti kepada kelompok yang dianggap sesat atau menyimpang, itu antara lain penyebabnya karena belum dewasanya masyarakat dalam melihat perbedaan. Padahal kalau dewasa tentu tidak begitu, perbedaan itu tidak diwujudkan dalam bentuk sikap antipati kepada kelompok tertentu.
Kalau misalnya ada orang yang karena alirannya berbeda, lalu karenanya tidak boleh dapat , itu namanya sudah pelanggaraan kemanusiaan. Justru hal itu bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri.
Kemudian yang ketiga, saya melihat umat Islam di Indonesia ini terkena semacam gejala kejiwaan rendah diri, yang dalam bahasa psikologi disebut minderwaardigheid complex. Artinya, keadaan psikologis dimana seseorang merasa lebih rendah dibanding orang lain.
Kita ketemu seseorang dengan identitas keagamaan misalnya, sekalipun orang itu perbuatannya buruk, seenaknya sendiri, sebagian orang menyebutnya sebagai ulama, padahal bisa jadi dia tidak mengerti agama.
Jadi kita ini merasa kalau berhadapan dengan orang Timur Tengah semuanya dianggap ulama, kepercayaan diri kita tidak tersisa lagi, padahal sebenarnya tidak demikian. Penilaian terhadap seseorang itu harus berdasarkan pada penilaian mendalam. Jangan karena orang Arab yang mengatakan lalu serta merta dianggap benar. Itu permisalan, ya.
Seperti halnya dalam hal-hal ilmu pengetahuan kita minder kepada orang Barat. Jadi kita ini minder kepada orang Arab dari segi agama, dan minder kepada orang Barat dari segi ilmu pengetahuan, padahal sebenarnya tidak boleh begitu.
Terkait dengan munculnya kelompok intoleran, pemerintah dianggap kurang hadir di situ. Ini bagaimana?
Sebenarnya ini tidak hanya tanggung jawab pemerintah. Ini tanggung jawab semua, meski memang kita (pemerintah) semestinya lebih tegas.
Kadang pemerintah juga ragu, pejabat itu ‘kan orang beragama juga. Ketika orang mengatakan kalau ada ikan busuk yang pertama kali busuk itu…
Dikutip dari Majalah Bimas Islam edisi Islam Moderat
Tom/IslamIndonesia
Leave a Reply