Mirip Blokade Israel Atas Gaza Kini, Begini Boikot Kafir Makkah terhadap Nabi

islamindonesia.id – Seperti halnya aksi blokade dan penindasan rezim Zionis Israel atas warga Palestina di Gaza saat ini, pada masa lalu juga pernah terjadi aksi boikot terhadap Nabi Muhammad s.a.w beserta seluruh keluarga beliau, yakni Bani Hasyim dan Bani Muthalib, tepatnya pada masa awal syiar Islam, ketika berbagai tekanan dilancarkan kaum musyrikin. Waktu itu, belum turun perintah dari Allah SWT kepada Nabi untuk berhijrah. Sementara, para petinggi dan masyarakat kafir Makkah terus-menerus menindas orang-orang yang beriman.
Salah satu bentuk kezaliman yang dilancarkan kaum musyrik Quraisy kala itu ialah pemboikotan. Aksi ini menyasar Rasulullah s.a.w dan kaum Muslimin di kota tersebut. Pengepungan dalam hal sosial dan ekonomi itu berlangsung kira-kira tiga tahun lamanya.
Pada kurun waktu tersebut, Nabi s.a.w beserta umat Islam terpaksa meninggalkan rumah kediamannya. Mereka ditekan untuk menetap di area sekitar lembah perbukitan Makkah yang sempit.
Persediaan makanan untuk Nabi s.a.w dan para pendukungnya hanya dikirim oleh beberapa non-Muslim di Makkah yang merasa kasihan kepada mereka. Di antaranya ialah Hakeem ibn Khuzam, keponakan Khadijah, dan Al-Mot’am ibn ‘Adi.
Setiap beberapa pekan sekali, mereka diam-diam mengirimkan kepada Rasulullah s.a.w dan kaum Muslimin sejumlah bahan-bahan makanan yang diangkut dengan kawanan unta. Sayangnya, semua itu sangat tidak memadai lantaran banyaknya jumlah orang-orang yang mesti dibantu. Alhasil, umat Islam saat itu seringkali memakan dedaunan liar karena kelaparan.
Seperti dinukil dari buku al-Buthi yang berjudul Fiqh as-Sirah, masa pemboikotan berlangsung sejak bulan Muharram tahun ke-7 kenabian hingga Muharram tahun ke-10 kenabian. Selama itu, kehidupan Bani Hasyim dan Bani Muthallib sangat menderita.
Oleh para petinggi Quraisy yang musyrik, kedua kabilah itu dituding sebagai penyebab masalah. Nabi s.a.w dan ajarannya dipandang telah memecah-belah persatuan di tengah bangsa Arab Makkah.
Padahal, sekali lagi, yang dilakukan Rasulullah s.a.w hanyalah menyebarkan risalah kebenaran. Orang-orang yang mengikutinya semata-mata tergerak oleh iman. Hal yang mereka inginkan bukanlah kekuasaan, melainkan menjadi umat sang utusan Allah SWT.
Semasa pemboikotan, Muslimin sangat menderita. Gambaran penderitaan itu semakin jelas bagi kaum ibu dan bayi-bayi mereka. Dari balik tenda yang seadanya, suara tangis mengerang tanda perut-perut yang lapar.
Sesungguhnya, umat Islam saat itu tidak dalam posisi miskin seluruhnya. Ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan mendasar hanya disebabkan keengganan para pemimpin musyrikin. Semua Muslimin dicegah dari jual-beli. Setiap ada orang yang datang untuk menjual makanan kepada Nabi s.a.w, Abu Lahab langsung berseru kepadanya.
Tokoh kafir itu dengan lantang menyuruh sang penjual agar beralih kepadanya, yang lantas melipatgandakan harga barang. Alhasil, harga itu melejit tinggi sehingga tidak mungkin dibeli. “Wahai kalian para pedagang, naikkan harga kalian untuk Muhammad dan para pengikutnya supaya mereka tidak dapat membeli apa pun!” begitu pekik Abu Lahab.
Memasuki bulan Muharram tahun ke-10 kenabian, pemboikotan itu lebih mengundang kecaman, bukannya dukungan. Makin banyak warga Makkah yang merasa tindakan Abu Lahab dan kawan-kawan sudah di luar batas kemanusiaan. Bahkan, Bani Qushay pun sudah terang-terangan mengecamnya.
Akhirnya, tokoh-tokoh setempat bersepakat untuk membatalkan perjanjian itu, yang menegaskan berlakunya embargo sosial dan ekonomi atas Nabi Muhammad s.a.w dan para pengikutnya. Naskah perjanjian itu digantung pada dinding Ka’bah. Yang tidak diketahui para pemuka Quraisy, sesungguhnya kertas tersebut sudah koyak. Allah SWT telah mengutus sepasukan rayap untuk memakan lembar perjanjian itu.
Nabi s.a.w lalu menerima wahyu bahwa lembaran yang berisi perjanjian itu telah dimakan rayap. Beliau lantas mengabarkan hal itu kepada Abu Thalib. Sang paman pun segera menghampiri para pemuka Quraisy untuk menyampaikan apa yang baru saja didengar dari keponakannya.
Walaupun sempat dihalang-halangi, Abu Thalib tidak gentar. Ia yakin bahwa Muhammad s.a.w tidak pernah berbohong. Bahkan, orang tua ini dengan berani menantang para pemimpin Makkah untuk memeriksa apakah keterangan dari sosok berjuluk “al-Amin” itu benar adanya. Ia memberi tahu mereka jika membuka Kabah dan menemukan perjanjian utuh, maka ia akan menyerahkan Nabi Muhammad s.a.w kepada mereka.
Akan tetapi bila memang benar bahwa naskah perjanjian telah koyak, maka mereka harus mengakhiri boikot.
Setelah didesak, para pemimpin Quraisy pun setuju. Maka dibukalah sisi tembok Kabah yang telah dipasangi naskah tersebut. Ini untuk memverifikasi apakah benar cerita dari Nabi s.a.w itu.
Dari sana, ditemukan bahwa seluruh perjanjian itu ternyata telah dimakan oleh rayap. Dari seluruh tulisan, hanya tersisa bagian yang menampilkan lafaz Allah.
Akhirnya, boikot pun dinyatakan berakhir. Menurut al-Buthi, di antara tokoh Quraisy yang tampil untuk mencabut embargo itu ada lima orang. Mereka ialah Hisyam bin Amr bin Harits, Zuhair bin Umayyah, Muth’im bin ‘Adi, Abul Bakhtari bin Hisyam, dan Zam’ah bin Aswad.
Ujian yang berat itu usai sudah. Kaum Muslimin kembali ke rumah mereka masing-masing di Kota Makkah. Setelah cobaan yang panjang dan menantang ini, beberapa dari mereka kembali dengan kesehatan yang sangat buruk. Termasuk istri Nabi, Khadijah dan pamannya, Abu Thalib, yang saat itu berusia sekitar 80 tahun. Mereka berdua meninggal tak lama setelah masa pengepungan berakhir.
EH/Islam Indonesia
Leave a Reply