Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 03 January 2017

TASAWUF – Murah Hati dan Kikir


islamindonesia.id — TASAWUF – Murah Hati dan Kikir

 

Dalam ar-Risalah, al-Qusyairi mengatakan bahwa para sufi tidak membeda-bedakan antara kedermawanan (sakha’) dan kemurahan hati (jud), sebab esensi keduanya adalah sama, yaitu kerelaan mengorbankan sesuatu, tanpa diiringi rasa kehilangan atau pun kesusahan. Dan karena menyangkut kerelaan berkorban, maka kedua tindakan ini menjadi latihan spiritual yang penting bagi para murid (peminat jalan spiritual).

Kerelaan berkorban akan melatih diri untuk melepaskan unsur-unsur lempung dari jiwa, sehingga jiwa dapat dengan leluasa melenggang menapaki tahap-tahap transendensi dan kesempurnaan spiritual.

Nabi Saw bersabda : “Orang yang murah hati dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka. Orang murah hati yang bodoh lebih dicintai oleh Allah dari pada ahli ibadah yang kikir.”

Dalam perspektif sufi, “kedekatan” ini bermakna metafisikal. Orang yang rela mengorbankan materi demi sesuatu yang nonmaterial telah mulai mengaktualkan potensi rohani di dalam jiwanya.

[Baca juga: TASAWUF – Benarkah Kaum Sufi Meremehkan Syariah?]

Dan karena roh adalah hakikat manusia yang bersifat Ilahi (lihat QS. al-Hijr: 29 atau Shad: 72), maka orang seperti ini pastilah “dekat” dengan keilahian, “dekat” dengan kemanusiaan dan kesurgawian.

Sebagian sufi meletakkan sakha’ (kemauan berinfak) di tahap paling awal, disusul kemudian dengan jud (kemurahan hati) dan terakhir adalah itsar. Demikian ini karena sakha’ berarti memberi sebagian dan menyimpan sebagian yang lain, jud berarti memberi bagian yang lebih besar dan menyisakan sedikit untuk diri sendiri, sedangkan itsar berarti memberikan semua yang dimiliki tanpa memperhitungkan diri sendiri.

Berkenaan dengan itsar, Allah Mahasuci berfirman: “Mereka lebih mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri, meskipun mereka berada dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-Hasyr: 9)

Dalam kaitan ini, Amirul Mukminin Ali as berkata: “orang yang paling mulia di dunia adalah orang yang murah hati, dan orang yang paling mulia di akhirat adalah orang yang bertakwa.”

Seolah menjelaskan mengapa orang murah hati menjadi mulia di dunia, Ali as berkata: “Kemurahan hati adalah tameng penutup, sedangkan akal adalah pedang yang amat tajam. Oleh sebab itu, tutuplah kekurangsempurnaan pekertimu dengan kemurahan hati, dan perangilah hawa nafsumu dengan akalmu.”

Dalam ajaran sufi, kemurahan hati dan kedermawanan dilawankan dengan sifat kikir (bukhl). Kekikiran terjadi akibat ketertipuan dan kehilangan diri.

Amirul Mukminin Ali as pernah mengibaratkan orang kikir dengan orang yang kehilangan jati dirinya, lantaran ia telah mengubah eksistensi dirinya menjadi materi dan harta. Bila sedikit dari materi itu berkurang, maka jiwanya seakan ikut berkurang.

Terasa olehnya bahwa kekurangan materi yang sedikit itu bagai kehilangan yang hakiki, yang bersentuhan langsung dengan eksistensi dirinya. Saking karamnya si kikir itu dalam kepemilikan harta bendanya, ia pun bekehendak mengorbankan dirinya demi materi dan tidak sebaliknya.

Dengan suka rela, orang kikir akan mengorbankan seluruh hidupnya, kehormatannya, diri dan keluarganya demi materi. Namun demikian, ironisnya, mengikuti kata-kata Sayyidina Ali, “ia terus menjalani kemiskinan yang berusaha dihindarinya dan melupakan kekayaan yang sebenarnya justru dicarinya.”

Ironi ini, terjadi bila kita artikan kemiskinan sebagai tidak memiliki apa-apa, materi maupun nonmateri, maka orang kikir adalah orang miskin yang sesungguhnya. Dengan bersikap kikir, seseorang akan tercegah dari kenikmatan material, penghargaan sosial (social credit), sekaligus dari kekayaan spiritual. Ia akan merasakan kerugian yang sebenar-benarnya.

Karena itu para sufi meletakkan kekikiran sebagai stadium menengah dari penyakit cinta dunia. Dalam konteks yang sama, Sayyidina Ali pernah bertutur:

“Wahai anak Adam, bila kau menyimpan sesuatu yang melebihi kebutuhanmu, maka sesungguhnya kau telah menjadi juru simpan bagi orang orang lain.”

Karena, seperti kata beliau lagi,

“Setiap orang  mempunyai dua sekutu dalam hartanya: ahli warisnya dan pelbagai bencana yang pasti menimpanya.”

Kemurahan hati, juga kekikiran, tidak memandang status sosial-ekonomi seseorang. Dengan hanya berempati, bersimpati, mengucapkan nasihat, melempar senyum, menjenguk orang sakit, menyambung tali persaudaraan yang terputus, dan semisalnya, seseorang telah berlaku murah hati.

Demikian ini karena masing-masing tindakan tersebut memerlukan pengorbanan, apakah pengorbanan pikiran, sentiman, waktu, tenaga dan sebagainya.[]

[Baca juga: TASAWUF – Film Kehidupan]

 

 

YS/islam indonesia. foto: vk.com/wall153197815_397

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *