TASAWUF – Manusia adalah Budak yang Dicintai

islamindonesia.id – TASAWUF – Manusia adalah Budak yang Dicintai
Manusia kata orang-orang bijak sejak dulu, adalah budak apa-apa yang dicintai. Seperti Majnun yang mencintai Layla, hidupnya tak berarti lain kecuali Layla. Hanya itulah makna hidupnya. Yang lain tidak penting. Tanpa Layla, tak ada kehidupan. Bersama Layla, yang paling tidak nikmat pun memberikan kebahagiaan. Seperti Romeo, hidup tidak ada artinya tanpa Juliet. Maka, ketika Juliet (dikira) mati, Romeo pun bunuh diri.
Memang, tak ada manusia bisa hidup tanpa cinta. Orang boleh mengejar apa pun dalam hidupnya, bahkan bintang di langit sekali pun. Tapi, pada puncaknya, hanya cinta yang bisa benar-benar memuasi kebutuhannya. Hanya cinta yang bisa membuatnya bahagia.
Namun, cinta juga bisa menjadi sumber kesengsaraan hidup. Entah karena cinta tidak kesampaian, atau karena ekspektasi seseorang mengenai orang yang dicintai membumbung begitu sehingga besar kemungkinan akan terhempas oleh kekecewaan yang tak tertahankan, jika ekspektasi itu tidak terpenuhi.
Maka, mencintalah. Tapi, jangan salah, mencintai bukan persoalan meminta atau mengharap. Mencintai adalah persoalan memberi. Sering orang memperdaya diri: merasa mencintai orang lain, padahal cuma narsis. Dia hanya menjadikan orang yang (seolah-olah) dicintainya sebagai sarana untuk memberikan kesenangan kepadanya. Jadi, sebenarnya, ia hanya mencintai diri sendiri. Cinta seperti ini sebenarnya bukan cinta sejati.
Kadang kita pun merasa telah mencinta, tapi kenapa kita rasakan bahwa cinta sejati yang menenteramkan tak kunjung kita raih juga? Jangan-jangan persoalannya terletak di dalam diri kita. Jangan-jangan kita telah merasa mencinta, tetapi cinta kita bukanlah cinta yang tulus. Dengan kata lain, kita tak pernah benar-benar mencinta orang-orang yang kita cintai.
Cinta sejati adalah cinta Platonik, cinta keindahan for the sake of keindahan itu. For the sake of apa-apa atau siapa yang dicintainya. Cinta seperti ini dilambari semangat memberi. Dengan cinta seperti ini, tak ada risiko kecewa, karena kita tak dapat kehilangan apa yang kita cintai. Meski objeknya bisa saja hilang atau musnah, dia tetap ada di dalam hati. Kalau pun objek cinta fana, selalu ada sarana untuk melampiaskan semangat memberi. Karena sesungguhnya cinta itu ada dalam diri kita, bukan di luarnya.
Cinta seperti ini yang justru bisa memberi kebahagiaan.
Akhirnya, cinta yang tak mungkin kehilangan objek yang dicintai adalah cinta kepada Yang Baka, Yang Abadi. Bukan saja Dia selalu ada, Dia adalah sumber semua cinta. Inilah yang sesungguhnya.
Haidar Bagir (dalam buku Percikan Cinta dan Kebahagiaan)
YS/islamindonesia
Leave a Reply