Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 10 May 2015

SOSOK – Attar & Burung-Burung Jiwa


1000107_10151696504579036_384845236_n-2

Fariduddin Attar (1114-1220) adalah salah satu penyair sufi yang paling berpengaruh di Persia. Sejak belia dia belajar ilmu kedokteran, bahasa Arab, dan teosofi di sebuah perguruan di wilayah Khurasan. Wilayah itu kini lebih dikenal dengan nama Masyhad, makam salah satu cucu Nabi Muhammad bernama Ali bin Musa Ar-Ridha. Puluhan buku dan ribuan bait syair telah digubah Attar. Sufi ini percaya bahwa manusia adalah pencitraan Ilahi; makhluk yang mampu mewakili dan memantulkan-Nya ke segenap jagat raya.

Dalam karya utamanya, Mantiq al-Thayr (Musyawarah Burung), Attar mengumpamakan macam-macam watak manusia dengan beragam jenis burung. Semua burung ini sama-sama bertujuan mencari raja sejati (Tuhan) yang bernama Simurgh, katanya. Perjalanan mereka harus melewati tujuh lembah yang melambangkan tujuh macam keadaan yang pasti dilalui oleh manusia: pencarian; cinta; pemahaman; pelepasan dan kemerdekaan; kesatuan; ketakjuban; dan terakhir kematian.

Di lembah pertama, semua burung menemui seratus kesulitan yang menindih. Mereka harus menemui banyak ujian saat mencoba melepaskan diri dari apa yang mereka kira sebagai berharga dan mengubah keadaan mereka. Begitu berhasil, mereka dipenuhi dengan kerinduan yang meluap-luap.

Di lembah kedua, burung-burung itu meninggalkan nalar demi cinta dan, dengan kesiapan mengorbankan seribu hati, melanjutkan pencarian mereka untuk menemukan Simurgh.

Saat memasuki lembah ketiga, semua pengetahuan duniawi yang pernah mereka miliki kini tak lagi berguna. Ada pemahaman baru yang sama sekali berbeda, sehingga mereka tertimpa kebingungan untuk membedakan baik dan buruk. Sesuatu yang sebelumnya dianggap baik, seperti harta benda dan tahta, kini terlihat begitu menjijikkan.

Lembah keempat adalah lembah pelepasan diri dan kemerdekaan, yakni kemerdekaan dari hasrat untuk memiliki dan keinginan untuk menemukan. Tiba-tiba burung-burung itu merasa seperti lolos dari kurungan kecil dan membesar seluas alam semesta. Dalam keadaan baru itu, dunia fisik terlihat kecil seperti percikan api dan gajah tak bisa dibedakan dari semut.

Ketika memasuki lembah kelima, barulah burung-burung itu menyadari bahwa kesatuan dan keberagaman sama saja. Dan yang lebih penting, mereka menyadari bahwa Allah berada di atas kesatuan, keberagaman dan keabadian.

Memasuki lembah keenam, burung-burung itu langsung pingsan menyaksikan Keindahan Allah. Mengalami keindahan mutlak secara langsung membuat mereka mendadak bodoh, tak mengerti apa-apa, dan bisa berbuat apa-apa. Bahkan, mereka tidak lagi menyadari keberadaan diri mereka masing-masing.

Di akhir lembah, rupanya hanya tersisa tigapuluh burung yang sampai di singgasana Simurgh. Tapi, tak ada Simurgh di sana. Pengurus kerajaan membiarkan burung-burung itu cukup lama sampai mereka sendiri akhirnya menyadari bahwa mereka itulah Si (tigapuluh) murgh (burung).

MH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *