Pemikiran 6 Tokoh Tasawuf Amali

islamindonesia.id – Tasawuf amali adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara memperbanyak amalan-amalan dalam berzikir. Amalan berzikir dari tasawuf amali identik dengan tarekat. Dalam pengertian ini, tasawuf amali berkonotasikan tarekat.
Tarekat (ashhabut turuq) meliputi; menjauhi sifaf-sifat tercela, mengutamakan mujahadah, menghadap Allah dengan bersungguh-sungguh dan memutuskan hubungan dengan lainnya. Orang yang menjalankan ajaran tasawuf ini akan mendapatkan keseimbangan dalam kehidupannya, antara material dan spiritual, dunia dan akhirat.
Berikut ini 6 tokoh tasawuf amali dan pemikirannya:
1. Junaid Al-Baghdadi
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Qasim Al-Junaid bin Muhammad Al-Kazzaz Al-Nihawandi. Dikatakan para filsuf pada masanya, Al-Junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana’. Al-Junaid memberikan pengertian tauhid hakiki yang menurutnya adalah buah dari fana’ terhadap semua yang selain Allah.
Al-Junaid juga melandaskan bahwa tasawuf berarti “Allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana’. Sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur’ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya”. (QS. 55:26-27) dan hidup dalam sebutan-Nya adalah baqa’. Al-Junaid menganggap bawa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.
2. Al-Qusyairy
Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya Al-Baqilani. Dari sini ia menguasai doktrin AhlusSunah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan Al-Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah sering disebut sebagai salah satu referensi utama tasawuf yang bercorak Suni. Al-Qusyairy cenderung mengembalikan tasawuf ke dalam landasan AhluSunah Wal Jama’ah. Dia juga penentang keras doktrin-doktrin aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan Syi’ah.
3. Al-Hanawi
Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl Al-Sunah. Di antara karya-karyanya tentang tasawuf adalah Manazil Al-Sa’irin ila Rabb al-‘Alamin, yang di dalamnya dia uraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingkatan para sufi tesebut, menurutnya mempunyai awal dan akhir.
Seperti katanya: “Kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bisa tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keikhlasan serta kekuatannya terhadap Al-Sunah.”
Dalam kedudukannya sebagai seorang penganut paham Suni, A-Harawi melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya.
Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, Al-Harawi berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan; “peringkat ketiga (dari peringkat–peringkat ketenangan) adalah ketenangan yang timbul dari perasaan ridha atas bagian yang diterimanya”.
Ketenangan tersebut bisa mencegah ucapan aneh yang menyesatkan dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. Yang dimaksud dengan ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu Yazid dan lain-lain.
Berbeda dengan Al-Junaid, Sahl Al-Tustari dan lainnya. Karena mereka ini memiliki ketenangan yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang aneh. Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidaktenangan. Sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut.
4. Ibnu Athaillah As-Sakandary
Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad ibn Athaillah As-Sakandary (w. 1350 M). Ia dikenal seorang sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam mazhab Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat Al-Syadzili. Penguasaannya akan hadis dan fikih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akar syariat yang kuat.
Karya-karyanya diminati semua kalangan, di antaranya Al-Hikam. Kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah Falah Wa Mishbah Al-Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai zikir. Kitab Al-Tanwir Fi Ishqat Al-Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri); yang berisi tentang metode mazhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi. Juga kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah, yakni kitab Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas Al-Mursi wa Syaikhibi Abil Hasan.
5. Hasan Al-Muhasibi
Pada mulanya ia tokoh Mu’tazilah dan membela ajaran rasionalisme Mu’tazilah. Namun, belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme; dia memadukan antara fisafat dan teologi. Sebagai guru Al-Junaid, Al-Muhasibi adalah tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al-Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya Riayah Li Huquq Allah, sebuah karya mengenai praktik kehidupan spiritual.
6. Abdul Qadir Al-Jailani
Abdul Qadir mulai menggunakan dakwah dalam Islam setelah berusia 50 tahun. Dia mendirikan sebuah tarekat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir disebut-sebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya. Dan bahkan disebut sebagai Ghauts Al-Azham (Pemberi Pertolongan Terbesar). Sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena janjinya untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang paling populer adalah Futuh Al-Ghayb (Menyingkap Kegaiban).
EH/Islam Indonesia
Leave a Reply