Satu Islam Untuk Semua

Monday, 02 January 2023

Inilah 10 Keutamaan Menahan Lapar menurut Imam Al Ghazali


islamindonesia.id – Di antara sumber utama akhlak yang tercela adalah rakus terhadap makanan, sebab perut yang dipenuhi makanan merupakan sumber syahwat, dan dari sanalah nafsu seks berasal,
yang kemudian setelah nafsu syahwat terhadap makanan dan nafsu seks mendominasi, maka dari sana muncul sikap rakus terhadap harta benda, karena kedua nafsu syahwat itu tidak bisa tercapai kecuali dengan harta benda.

Dari nafsu syahwat terhadap harta benda muncul nafsu syahwat terhadap kedudukan, karena harta benda akan sulit diperoleh tanpa kedudukan. Ketika harta dan kedudukan telah diupayakan dan diperoleh, maka timbul semua implikasi negatifnya, seperti kesombongan, pamer (riya’), dengki, dendam, permusuhan dan lain sebagainya. Dari serangkaian hal-hal negatif yang bisa dialami manusia, dapat dikatakan bahwa dengan demikian perutlah yang merupakan sumber dari semua itu.

Pada 1400 tahun lalu, sebelum para ahli kedokteran modern meneliti secara ilmiah bahwa lapar bisa menyembuhkan berbagai penyakit, Rasulullah s.a.w telah mengajarkan kepada kita agar sering-sering menahan lapar. Karena di samping menyehatkan secara jasmani, menahan lapar sekaligus dapat mengetuk pintu surga.

Diriwayatkan pada suatu ketika dalam dialog dengan istrinya, Rasulullah s.a.w berkata, “Wahai istriku, seringlah kamu mengetuk pintu surga.”

Istri Rasul tidak segera menjawab. Ia masih bingung. Apa yang dimaksud Rasulullah dengan “mengetuk pintu surga”?

“Mengetuk pintu surga?” tanya sang istri seakan ingin mempertegas ucapan Rasul.

“Ya, benar. Kamu harus sering mengetuk pintu surga,” jawab Rasulullah.

“Dengan cara apa kami mengetuk pintu surga, sedangkan kami masih di dunia?”

“Sangatlah mudah caranya. Ketuklah pintu surga dengan rasa lapar. Karena dengan begitu, setan tidak akan mengganggumu.”

“Setan tidak mengganggu kami?”

“Benar. Seandainya setan tidak berkeliaran di hati anak Adam niscaya mereka (manusia) bisa melihat kerajaan langit (temasuk surga),” jawab Rasul.

Sebelum istrinya bertanya lagi, Rasulullah s.a.w menambahkan, “Sesungguhnya setan masuk ke tubuh anak Adam melalui jalan darah. Maka persempitlah aliran darah itu dengan rasa lapar.”

Dari sisi kesehatan terbukti bahwa menahan lapar apabila dilakukan secara benar (berpuasa), ternyata dapat mengendalikan berbagai jenis penyakit seperti diabetes, darah tinggi, kolesterol tinggi, maag hingga kegemukan. Dengan menahan lapar (berpuasa) maka organ vital ini dapat istirahat selama 14 jam. Saat kita menahan lapar karena puasa akan dapat mengaktifkan sistem pengendalian kadar gula darah. Apabila kadar gula darah turun, maka cadangan gula dalam bentuk glikogen yang ada di hati mulai kita gunakan.

Lalu, apa saja manfaat menahan lapar menurut Imam Al Ghazali? Berikut ini 10 di antaranya.

Sekitar 900 tahun yang lalu, ulama besar dan Guru Sufi, Imam Al Ghazali (1058 M – 1111 M), berkata bahwa ada 10 manfaat menahan perut lapar, yaitu:

Pertama, menahan lapar dapat membersihkan hati dan menajamkan mata batin. Ini senada dengan apa yang dikatakan Al-Syibli: “Setiap hari aku melaparkan perutku, pintu hikmah dan ‘ibrah (pelajaran) terbuka bagiku.”

Juga apa yang dikatakan Yazid Al-Bisthami: “Lapar itu hikmah. Bila perut lapar, dari hati akan tercurah hujan hikmah. Bila lapar memancarkan kearifan, sebaliknya kenyang akan melahirkan kedunguan.”

Sedangkan Nabi s.a.w bersabda, “Cahaya kearifan adalah lapar, menjauh dari Allah adalah kenyang, mendekati Allah ialah mencintai fakir dan miskin dan akrab dengan mereka. Jangan kenyangkan perutmu, nanti padam cahaya hikmah dalam hatimu.”

Kedua, menahan lapar dapat melembutkan hati dan membersihkannya sehingga mampu merasakan kelezatan berzikir.

Kadang-kadang kita berzikir dengan kehadiran hati, tetapi kita tidak menikmatinya dan hati kita tidak tersentuh sama sekali. Pada waktu yang lain, hati kita sangat lembut dan kita merasakan kelezatan berzikir dan kenikmatan bermunajat.

Menurut para sufi, sebab utama dari hilangnya kelezatan zikir adalah perut yang kenyang. Seperti yang dikatakan Abu Sulaiman: “Apabila orang lapar dan haus, hatinya akan terang dan lembut. Bila orang kenyang, maka hatinya akan buta dan kasar.”

Ketiga, menahan lapar dapat meluluhkan dan merendahkan hati, menghilangkan kesombongan dan keliaran jiwa.

Ketika kita lapar, kita merasakan kelemahan tubuh kita di hadapan kekuasaan Allah. Betapa ringkihnya kita andaikata Tuhan memisahkan kita dari makanan dan minuman hanya untuk beberapa waktu saja. Kesabaran akan timbul dengan seringnya kita menahan lapar. Itulah sebabnya ketika Nabi s.a.w ditawari semua kenikmatan dunia, beliau menolaknya dan berkata, “Tidak, aku ingin lapar sehari dan kenyang sehari; pada waktu lapar aku bisa bersabar dan merendahkan diriku, pada waktu kenyang aku bisa bersyukur.”

Keempat, menahan lapar dapat mengingatkan kita pada ujian dan azab Allah.

Ketika seseorang kenyang, ia tidak ingat pedihnya kelaparan dan kehausan. Seorang yang arif akan mengenang derita “lapar dan haus” pada hari akhirat atau pada waktu sakaratul maut, ketika ia merasakan lapar dan haus di dunia ini. Orang yang selalu kenyang dan sehat tidak akan merasakan pedihnya hari Kiamat; karena itu, sangat mungkit dapat berkurang dan bisa hilang keyakinannya terhadap hari akhirat.

Begitu pula, orang yang tidak pernah lapar akan lupa pada sebagian masyarakat yang diuji Tuhan dengan kelaparan. Ia akan kehilangan imannya; karena ia tidur kenyang sementara tetangganya kelaparan di sampingnya.

Alkisah, ketika Nabi Yusuf a.s menjadi Menteri Logistik, dia membiasakan puasa setiap hari. Orang bertanya kepadanya, “Mengapa Anda lapar padahal perbendaharaan bumi ada di tangan anda?”

Yusuf a.s menjawab, “Aku takut kenyang dan melupakan orang yang lapar.”

Kelima, menahan lapar dapat mematikan keinginan untuk berbuat maksiat dan menguasai nafsu amarah (diri yang memerintahkan keburukan).

Dalam keadaan kenyang, kita punya kekuatan untuk melakukan kemaksiatan. Makan dan minum adalah bensin yang menggerakkan mobil hawa nafsu kita. Kata Al-Ghazali, kenyang dapat menggerakkan dua syahwat (keinginan) yang berbahaya, yakni “syahwat farji” dan “syahwat bicara”. Ini seperti yang dikatakan Dzun Nun: “Setiap kali aku kenyang aku bermaksiat atau berniat untuk melakukan maksiat.”

Keenam, menahan lapar dapat mengurangi tidur dan membiasakan bangun.

Orang yang banyak makan, pasti banyak juga tidurnya. Perut yang penuh sangat sukar dibawa bangun malam.

Dahulu, kalau para guru sufi menyajikan makanan untuk para muridnya, mereka berkata, “Janganlah makan banyak, nanti tidur kamu banyak dan kau juga rugi banyak.”

Dengan kata lain, “Jangan berikan ilmu kepada perut-perut yang kenyang, karena mereka akan mengubahnya menjadi mimpi. Jangan berikan sajadah kepada mereka, karena mereka akan mengubahnya menjadi kasur. Jangan berikan pekerjaan penting kepada mereka, karena mereka akan melalaikannya.”

Ketujuh, menahan lapar dapat memudahkan dalam aktivitas ibadah.

Untuk makan dan mempersiapkan makan kita memerlukan waktu. Waktu adalah anugerah Tuhan yang sangat berharga. Jika perhatian kita terpusat pada makanan, kita akan menghabiskan waktu untuk mencari tempat makan, menunggu makanan terhidang, dan menikmati makanannya. Sekarang malah trend berwisata kuliner, ketika orang sampai menghabiskan waktunya selama berjam-jam hanya untuk perjalanan menuju restoran untuk makan makanan kesukaannya. Tidak jarang sampai ke luar kota berhari-hari, bahkan ke luar negeri hanya untuk mencoba atau mencicipi makanan favoritnya tersebut.

Namun sebaliknya, perhatikan ketika kita berpuasa. Pada waktu pagi, kita bisa ke kantor dengan segera tanpa harus makan pagi lebih dahulu. Pada waktu istirahat tengah hari, kita bisa melanjutkan kerja, mengikuti pengajian perkantoran atau membaca Alquran, karena kita tidak keluar untuk makan siang.

Abu Sulaiman Al-Darani berkata: “Dalam keadaan kenyang, masuk ke dalam diri kita 6 macam penyakit, yaitu: hilangnya kelezatan munajat, berkurangnya kemampuan menyimpan hikmah, memudarnya empati pada penderitaan rakyat, beratnya tubuh untuk melakukan ibadah, bertambahnya gelora syahwat, dan ketika kaum Mukmin bolak-balik ke masjid, mereka yang kenyang bolak-balik ke toilet.”

Kedelapan, menahan lapar dapat menyehatkan tubuh dan menolak penyakit.

Pernyataan Al Ghazali ini, yang didasarkan pada sabda Nabi s.a.w, dibuktikan kebenarannya dalam ilmu kedokteran modern. Dari segi kedokteran, manfaat pertama menahan lapar (puasa) adalah membersihkan tubuh dari racun. Puasa adalah teknik detoksifikasi yang paling murah dan paling efektif.

Detoksifikasi ialah proses mengeluarkan atau menetralkan racun dalam tubuh (toksin) melalui usus, hati, ginjal, paru-paru, dan kulit. Bukan hanya racun yang terbentuk karena kelebihan makanan, tetapi juga racun yang diserap dari lingkungan.

Seorang dokter yang menganjurkan puasa mengetes urine, feses, dan keringatnya pada waktu puasa. Ia menemukan “jejak-jejak” DDT yang diserap dari lingkungan.

Manfaat kedua puasa ialah menjalankan proses penyembuhan alami. Ketika puasa, energi untuk mencerna makanan dialihkan ke metabolisme dan sistem imun. Pada saat yang sama, dalam tubuh kita terjadi sintesis protein yang sangat efisien dan memungkinkan tumbuhnya sel-sel dan organ-organ yang lebih sehat.

Karena produksi protein yang lebih efisien, tingkat metabolism yang lebih lambat, dan sistem imun yang lebih baik, orang yang berpuasa memperoleh manfaat yang ketiga: awet muda dan panjang usia. HGH atau the Human Growth Hormone (hormon untuk pertumbuhan manusia) dikeluarkan lebih sering dalam keadaan berpuasa.

Dalam sebuah eksperimen, cacing tanah diisolasi dan ditempatkan dalam siklus puasa dan tidak puasa –semacam satu hari puasa satu hari berbuka. Cacing itu terbukti bertahan hidup sampai 19 generasi dengan karakteristik tubuh yang tetap muda. “The life-span extension of these worms was the equivalent of keeping a man alive for 600 to 700 years,” kata sang peneliti.

Kita kembali kepada manfaat menahan lapar menurut Al Ghazali. Kesembilan, menahan lapar dapat mengurangi mu’nah (atau dengan istilah mutakhir, menyembuhkan penyakit konsumerisme).

Orang yang terbiasa makan sedikit akan puas dengan kehidupan yang sederhana. Dari kebersahajaan dalam makanan, ia akan melanjutkannya ke dalam kebersahajaan dalam pakaian, rumah, kendaraan, dan hajat-hajat hidup lainnya.

Sudah terbukti secara ilmiah, tetapi tetap saja tidak dipercayai orang, bahwa orang yang hidup sederhana hidup jauh lebih bahagia daripada orang yang hidup mewah.

Al-Ghazali menulis hampir 900 tahun yang lalu seperti para ahli psikologi positif pada abad ini:
“Secara singkat, penyebab kehancuran manusia ialah kerakusannya akan kesenangan dunia. Kerakusan dunia disebabkan oleh “syahwat farji” dan “syahwat perut”. Dengan mengurangi makan, kita menutup pintu neraka dan membuka pintu surga, sebagaimana disabdakan Nabi s.a.w: “Biasakan mengetuk pintu surga dengan lapar.”

Jika orang sudah merasa cukup dengan makan sekadarnya, ia juga akan merasa cukup dengan keinginan-keinginan yang sekadarnya juga. Ia akan merdeka dan mandiri. Ia akan hidup tenteram. Ia akan mempunyai waktu lebih banyak untuk beribadah dan “berdagang” untuk hari akhirat. Ia akan termasuk ke dalam golongan “Orang yang perdagangan dan jual-beli tidak melalaikannya dari berzikir kepada Allah” (QS. Al-Nur:37)

Kesepuluh, menahan lapar dapat memberikan kelebihan harta buat membantu kaum lemah seperti fakir miskin dan anak-anak yatim.

Nabi s.a.w bersabda, “Cahaya kearifan adalah lapar, menjauh dari Allah adalah kenyang, mendekati Allah ialah mencintai fakir dan miskin dan akrab dengan mereka. Jangan kenyangkan perutmu, nanti padam cahaya hikmah dalam hatimu.”

Dalam dunia modern, manusia bekerja keras mengumpulkan uang, dan jika uang sudah terkumpul, ia lampiaskan dengan makan makanan yang enak-enak dan mahal-mahal. Betapa bisnis makanan menjadi bisnis yang tidak pernah berhenti selama 24 jam. Bisnis makanan adalah bisnis yang paling menguntungkan.

Orang kaya bisa menghabiskan lebih dari 5 juta rupiah hanya untuk sekali makan malam bersama keluarganya di Restoran Jepang. Brosur-brosur dari Bank penerbit Kartu Kredit menawarkan diskon untuk makan makanan tertentu di restoran tertentu, yang meski diskon tetap saja mahal.

Rata-rata biaya makan siang bagi pegawai menengah di Jakarta adalah 50 ribu sampai 100 ribu. Kalau dikalikan sebulan, berarti sekitar 1 juta hingga 2 juta. Coba tanyakan kepada mereka apa sedekahnya sebesar itu?

Bagi orang kaya, terkadang bukan hanya karena faktor uang, tapi juga waktunya ia buang-buang untuk memburu makanan hingga ke luar negeri. Sebaliknya, seorang buruh dengan upah minimum, menghabiskan hampir 50% penghasilannya untuk makan. Seandainya saja itu semua bisa dihemat, dan dananya disedekahkan untuk para fakir miskin, bukankah jutaan orang akan terangkat harkat kehidupannya?

Untuk itu, sambil mengutip tafsir tentang amanah yang dibebankan kepada manusia, Al Ghazali menyebutkan kekayaan sebagai salah satu di antara amanah Tuhan yang harus kita pertanggungjawabkan.

Namun kebanyakan manusia telah menggunakan amanah itu untuk memperkaya diri, memuaskan hawa nafsu, dan melupakan hari akhirat. Dengan kata lain, “Mereka meluaskan rumah mereka dan menyempitkan kuburan mereka, menggemukkan keluarganya dan menguruskan agamanya, serta melelahkan dirinya pagi dan sore untuk mengemis kekayaan dari pintu para penguasa.”

Nah, apakah cara hidup yang demikian dapat dianggap berharga bagi manusia yang berakal sempurna?

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *