Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 19 September 2020

Siapa Dia – Ini Dia Maryam Pougetoux, Ketua Persatuan Pelajar Nasional Prancis


islamindonesia.id – Ini Dia Maryam Pougetoux, Ketua Persatuan Pelajar Nasional Prancis

Pada Kamis (17/9), Parlemen Prancis mengadakan rapat tentang pandemi COVID-19 dan pengaruhnya terhadap generasi muda dan anak-anak Prancis. Pada kesempatan itu, Organisasi Persatuan Pelajar Nasional Prancis (UNEF) juga diberi kesempatan untuk berbicara.

Maka tampillah Maryam Pougetoux, yang menjadi juru bicara UNEF. Belum sempat dia berbicara tiba-tiba Anne-Christine Lang, seorang anggota parlemen dari Partai Republik, mengatakan bahwa parlemen tidak dapat menerima perwakilan pelajar yang berjilbab.

Anne lalu mengadakan aksi walk out yang diikuti oleh beberapa anggota parlemen lainnya.

Anne kemudian berargumen di Twitter-nya bahwa dia tidak dapat menerima kehadiran seseorang yang berjilbab pada pertemuan yang diadakan di majelis nasional, yang mana merupakan “jantungnya demokrasi”.

“Sebagai anggota parlemen yang feminis dan pelindung hak-hak perempuan, berkomitmen pada nilai-nilai republik dan sekularisme, saya tidak bisa menerima partisipasi seseorang yang berjilbab ke pertemuan kami,” ujarnya sebagaimana dilansir dari Anadolu Agency.

Ya, Maryam Pougetoux adalah seorang pelajar Prancis yang berjilbab, dan bukan kali ini saja dia mendapatkan kecaman karena mengenakan jilbab.

Pada tahun 2018, UNEF mengadakan protes di berbagai kota di Prancis tentang hak-hak pelajar untuk memilih universitas. Sebagai ketua UNEF cabang  Sorbonne, Maryam yang waktu itu masih berusia 18 tahun diundang oleh TV nasional untuk menyampaikan pendapatnya.

Tapi, dalam acara TV tersebut, bukan pendapatnya yang menjadi perhatian dari para pengamat maupun para politisi Prancis, melainkan jilbab yang dikenakannya. Bahkan Gerard Collomb, Mendagri Prancis, menyebut penampilan Maryam “mengejutkan” dan mengaitkan jilbabnya dengan ISIS.

Majalah satir Prancis, Charlie Hebdo, waktu itu sampai membuat karikatur wajah Maryam yang menyerupai monyet di sampul depannya.

Karikatur wajah Maryam Pougetoux di Majalah Charlie Hebdo.

Melihat wajahnya diserupakan seperti itu, Maryam menanggapinya dengan santai, “Saya langsung tertawa. Charlie Hebdo mengolok-olok semua orang, saya tidak tersinggung,” katanya sebagaimana dilansir dari The New York Times.

Ada satu hal yang dia suka dari ulasan Charlie Hebdo mengenai dirinya waktu itu, sementara media lain mengaburkan isu sebenarnya yang dia angkat, yaitu mengenai hak-hak pelajar untuk memilih universitas, “Merekalah satu-satunya yang benar-benar menekankan pesan saya.”

Kini, setelah bertahun-tahun kemudian, jilbab yang dikenakannya menjadi masalah lagi, padahal dia hendak membicarakan hal yang sama sekali tidak ada hubungannya, yaitu mengenai pandemi COVID-19 dan pengaruhnya terhadap generasi muda dan anak-anak Prancis.

Latar Belakang Keluarga Maryam Pougetoux

Maryam Pougetoux memiliki mata yang bermata biru, dan fisiknya seperti umumnya wanita Prancis lainnya. Ya, dia berasal dari Prancis, bukan imigran dari negara lain.

Keluarganya adalah penduduk asli wilayah Correze di barat daya Prancis, dan dia dibesarkan dalam lingkungan keluarga kelas pekerja di pinggiran kota Paris.

Latar belakang keluarganya yang memiliki tradisi panjang dalam dunia politik, terutama megenai protes serikat pekerja atas hak-hak pekerja, yang telah menggiringnya untuk juga menjadi aktivis pergerakan.

Kakek buyut Maryam adalah anggota tentara perlawanan Prancis selama Perang Dunia II, dan nenek buyutnya berdemonstrasi untuk hak pilih wanita, yang mana baru diberikan pada tahun 1944.

Kedua orang tua Maryam sudah memeluk Islam sebelum mereka bertemu. Maryam menceritakan bahwa dia dibesarkan di lingkungan kelurga yang toleran dengan perbedaan. “Selama pertemuan keluarga kami, ada Muslim, Kristen, dan semua orang bercengkerama,” katanya.

Terlepas dari segala tekanan yang diterimanya, Maryam yang bercita-cita dapat bekerja di organisasi nirlaba internasional, meyakini bahwa cara pandang dari banyak politisi dan intelektual di Prancis yang kuno, tidak mencerminkan sudut pandang warga Prancis atau, terutama, teman-teman di universitasnya yang sangat toleran.

“Orang-orang berpikir bahwa kami tidak akan pernah bisa memakai jilbab karena pilihan (melainkan karena keterpaksaan ajaran agama-red),” katanya.

“Saya memakainya dengan kesadaran beragama. Itu tidak menghalangi saya untuk memiliki kehidupan normal, dan dari memiliki nilai-nilai progresif dan mendedikasikan hidup saya untuk keterlibatan politik saya.”

Maryam mengaku telah mengenakan jilbab sejak SMP, dan karena ada aturan negara Prancis yang melarang siswa sekolah berjilbab sejak tahun 2004, dia tidak berkeberatan untuk melepaskannya selama berada di sekolah.

Kini, setelah berada di tingkat universitas, karena tidak ada aturan yang menghalanginya, Maryam dapat dengan bebas menggunakan jilbab di waktu kuliah.

PH/IslamIndonesia/Foto utama: AFP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *