Kampung Kristiani di Kota Santri: Toleransi Sejak Awal (1)
Dikenal sebagai kota santri, Cianjur menyisakan satu komunitas Kristen yang sudah ada sejak lebih dari seratus tahun lalu. Bagaimana sejarah keberadaan mereka dan interaksi antara dua komunitas berbeda keyakinan di sana? Hendi Jo dari Islam Indonesia akan melaporkannya dalam tiga bagian tulisan yang dimulai hari ini
LELAKI muda berjaket hitam itu mengernyitkan dahinya. Seraya memandang salah seorang dari dua perempuan yang tengah asyik ngobrol di depan halaman gereja, nampak sekali ia tengah mengingat sesuatu. Sejenak ia tersenyum. Lantas dengan langkah pasti didekatinya salah satu dari perempuan yang paling muda.
“Teh Esty ya? Apa kabar?” ujarnya sambil menyodorkan tangan kanannya.
Kini giliran perempuan yang dipanggil Esty itu menjadi bingung
“Puji Tuhan. Siapa ya? Tapi saya rasanya kenal?” kata Esty dalam nada pelan
“Masyaallah, saya Helmy, Teh. Adiknya Teh Lisda, teman Teteh waktu di SMA,” jawab sang lelaki.
Begitu mendengar penjelasan tersebut, Esty menepuk dahinya dan lantas tertawa senang. Diraihnya buru-buru sodoran tangan kanan Helmy. Mereka lantas terlibat dalam pembicaraan yang sangat akrab. Ya rupanya Helmy yang seorang Muslim adalah mantan adik kelas Esty yang Kristen saat mereka sama-sama bersekolah di sebuah SMA Katholik.
Kendati mayoritas beragama Kristen, warga Palalangon di wilayah Gunung Halu, Cianjur merupakan komunitas yang sangat terbuka dengan para tetangga kampungnya yang beragama Islam. Alih-alih merasa asing, warga Palalangon sehari-hari justru terbiasa mendengar suara adzan seperti halnya warga tetangga mereka yang Muslim di Calincing ,Babakan Garut, dan Pasir Kuntul akrab mendengar dentang lonceng dari Gereja Palalangon.Bahkan lebih dari itu, hubungan yang tercipta diantara mereka sudah selaiknya saudara.
Yudi Setiawan, koster (pembantu) di Gereja Kristen Pasundan (GKP) Palalangon mengaku hubungan persaudaraan itu terlihat nyata jika ada warga yang meninggal atau sakit. Tanpa diminta, mereka akan membantu setulus hati.” Jika ada saudara Muslim meninggal, kami juga ikut datang berbela sungkawa dan pastinya terlibat dalam kegiatan teknis seperti penggalian makam. Begitu juga sebaliknya, tanpa diminta mereka pun akan datang jika kami tengah mengalami hal yang sama,” kata lelaki Sunda kelahiran Sukabumi 41 tahun itu.
Seolah mengamini pernyataan Yudi, warga Palalangon lain yakni Dajat Sudardjat (68) menyebut para tetangga Muslim-nya sebagian besar adalah orang-orang baik. Jangankan menyakiti, dalam keseharian mereka justru berusaha menjaga perasaan para tetangganya dengan tidak pernah sekalipun membahas “perbedaan-perbedaan prinsipil” yang ada di antara mereka. Keharmonisan itu semakin terlihat jika lebaran dan natal datang.
” Saat-saat itulah, kami akan saling mengunjungi dan saling meminta maaf…” ujar ayah dari tiga anak tersebut.
Soal situasi hidup rukun ini, diakui juga oleh Ustadz Ismail (32) dan Ustadz Hakim (28) dari Nurul Hidayah, pondok pesantren yang bertetangga dengan gereja-gereja yang ada di wilayah Palalangon. Untuk lebih mempererat hubungan antara tetangga, Ustadz Ismail dan Ustadz Hakim tak jarang melakukan kunjungan ke komunitas Kristen itu. Begitu juga sebaliknya, para pendeta dari 18 gereja yang ada di Palalangon dan sekitarnya akan datang ke Nurul Hidayah jika ada undangan kegiatan seperti peresmian masjid dan kegiatan lainnya.
Kegiatan kunjung mengunjungi ini sangat penting terutama jika di pihak masing-masing terhembus isu tak sedap. Pernah suat kali sempat terjadi suasana agak tegang antara warga Kristen dengan warga Muslim. Musababnya, telah berkembang di kalangan warga Palalangon bahwa dalam suatu khotbah Ustadz Ismail telah melarang warganya untuk mengucapkan selamat hari natal.
“Kami semua lantas bertemu dan mengklirkan semuanya. Akhirnya semua beres dan kami bisa kerja bakti bersama lagi dalam suasana akrab,” ujar anak muda yang selama belasan tahun pernah mondok pada sebuah pesantren ternama di Tasikmalaya tersebut. (Bersambung)
Sumber: Islam Indonesia
Leave a Reply