Sinterklaas dari Indonesia
Haji Agus Salim dalam kenangan seorang tokoh sosialis Belanda
CERITA-cerita menarik sekitar Haji Agus Salim (HAS) selalu bagai aliran sungai: seolah tak jua berakhir. Ketika bertemu dengan salah seorang putrinya Oma Bibsy Soenharjo (Siti Asia) banyak hal yang diceritakan oleh beliau yang membuat saya secara pribadi semakin kagum kepada sosok lelaki yang dijuluki Bung Karno sebagai The Grand Old Man tersebut.
Oma Bibsy berkisah kendati sebagian besar putra dan putri HAS tidak pernah mengeyam bangku sekolah formal, namun itu tidak menjadikan mereka menjadi bocah-bocah kuper. Bahkan sebaliknya, di bawah didikan langsung sang ayah mereka justru tumbuh menjadi anak-anak yang cerdas dan berpengetahuan terutama dalam penguasaan bahasa asing.
Lantas mengapa itu bisa terjadi? Oma Bibsy menyebut hal tersebut disebabkan HAS mendidik mereka dalam situasi sangat demokratis. “ Patjee (panggilan akrab keluarga untuk HAS) tak pernah memerintahkan atau memaksa kami untuk belajar. Kalaupun ia ingin memberitahu sesuatu, pasti dilakukannya dalam suasana santai dan penuh jenaka,”ujar perempuan sepuh yang menguasai secara baik beberapa bahasa Inggris, Belanda dan Jepang tersebut.
Mohamad Roem, mengakui asyiknya belajar dari HAS. Berbeda dengan guru-guru pada umumnya, HAS selalu tak menampilkan dirinya sebagai seorang yang paling tahu. Materi pengajaran pun akan mengalir begitu saja laiknya momen obrolan biasa. “ Ia selalu tanamkan kemauan untuk mencari sendiri pengetahuan lebih lanjut,”tulis mantan diplomat dan tokoh Masyumi di buku Manusia dalam Kemelut Sejarah itu.
Bukan hanya orang Indonesia saja yang merasakan hal tersebut. Jef Last, salah satu tokoh sosialis Belanda, termasuk manusia yang sangat mengagumi HAS. Jeff mengakui dari HAS-lah ia mendapatkan penjelasan yang mengesankan tentang Islam. “ Dalam kebijaksanaannya yang riang, beliau telah berhasil menghilangkan prasangka-prasangka yang bukan-bukan mengenai Islam yang saya peroleh ketika menjadi murid HBS Kristen…”tulis Jef Last dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim.
Begitu kagumnya Jef kepada HAS hingga seusai orang tua tersebut menyampaikan ceramahnya di depan anak-anak muda Marxis Belanda di Kijkduin pada 1929, ia nekat mengajak HAS untuk mengunjungi rumahnya di Jalan Baarsjes. Tanpa diduga HAS menyambut baik ajakan Jef itu.
Hanya dalam waktu semalam saja, HAS telah berhasil menarik hati seluruh keluarga Jef. HAS dengan gayanya yang santai berbicara akrab dengan seluruh anggota keluarga Jef dan bercanda dalam cerita-cerita jenaka dengan anak-anaknya Jef. “ Dalam waktu satu jam, ia telah berhasil menarik hati anak-anak saya,” kenang Jef.
Femke, salah satu putri Jef sangat menyukai HAS. Begitu berkesannya Femke kepada HAS sampai dalam suatu kesempatan ia bertanya kepada ayahnya: “Ayah, apakah orang itu Sinterklaas dari Indonesia?”
Kedekatan jiwa HAS dengan anak-anak menjadikan ia mudah sekali mengajarkan apapun kepada putra-putrinya. Ketika Jef mengungkapkan rasa heranya atas kefasihan Islam (nama salah satu putra HAS) dalam berbahasa Inggris, ia bertanya kepada HAS: “ Bagaimana mungkin anak itu menguasai bahasa Inggris begitu bagus tanpa bersekolah?”
Menjawab pertanyaan itu, dalam nada santai seperti biasa, HAS menyatakan kepada Jef: “ Apakah kamu pernah dengar tentang sebuah sekolah di mana kuda diajari meringkik? Kuda-kuda tua meringkik sebelum kami, dan anak-anak kuda tentunya akan ikut meringkik. Begitu pun saya meringkik dalam bahasa Inggris dan otomatis si Islam pun ikut meringkik juga dalam bahasa Inggris.”
HAS memang selalu istimewa di mata siapa pun. Uniknya, kendati ia seorang diplomat, sesepuh bangsa dan tentunya seorang yang sangat cerdas, tidak menjadikannya silau terhadap materi. Sampai akhir hayatnya, mantan jurnalis itu tetap memilih kesederhanaan sebagai jalan hidupnya.
Sumber: Islam Indonesia
Leave a Reply