Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 27 January 2016

OPINI – Makna Ihsan


Oleh: Haidar Bagir

Setiap Muslim harus percaya dan menjalankan rukun Islam dan rukun Iman. Tapi keberagamaannya belum sempurna jika belum menjalankan Rukun Ihsan. Yakni, melakukan amal-amal baik sesempurna mungkin sebagai wujud iman dan cinta kita kepada Allah. Bahkan Ihsan adalah puncak keberagamaan Muslim. Sayangnya aspek penting ajaran Islam ini sering dilupakan orang.

وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ

“Dan berihsanlah (berbuat baiklah) (kepada orang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu….” (QS Al Qasas: 77)

بَلَىٰۚ مَنۡ أَسۡلَمَ وَجۡهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحۡسِنٞ فَلَهُۥٓ أَجۡرُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

 “… Siapa yang menyerahkan diri (berislam) kepada Allah, sedang ia berbuat ihsan (kebaikan yang sempurna), maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS Al Baqarah: 112).

Bahkan Islam mengajarkan bahwa Allah menciptakan alam semesta, dan hidup dirancang oleh Allah untuk menguji ke-ihsan-an amal-amal manusia :

وَهُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ وَكَانَ عَرۡشُهُۥ عَلَى ٱلۡمَآءِ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۗ

“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS Hud:7)

ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ

”(Allah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang paling ihsan (sempurna) amalnya…” (QS Al Mulk: 2).

Dalam praktiknya,  apakah makna berihsan itu?

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكاظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

“Orang-orang (yang berihsan) menginfakkan hartanya baik di waktu lapang maupun di waktu sempit dan orang-orang yang mampu menahan amarah serta pemaaf terhadap kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yg berbuat baik (berihsan).” (QS Al Imran: 134).

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخۡتَالٗا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.(QS An Nisa: 36)

Dalam kenyataannya, orang bisa saja muslim (menjalankan syariat yg terkait aktifitas organ-organ tubuh/jawarih), bahkan mukmin (secara rasional atau emosional), tapi belum muhsin (berihsan).

قَالَتِ ٱلۡأَعۡرَابُ ءَامَنَّاۖ قُل لَّمۡ تُؤۡمِنُواْ وَلَٰكِن قُولُوٓاْ أَسۡلَمۡنَا وَلَمَّا يَدۡخُلِ ٱلۡإِيمَٰنُ فِي قُلُوبِكُمۡۖ

“Orang-orang Arab Badui itu berkata : kami telah beriman. Katakanlah (kepada mereka) kamu belum beriman, tapi katakanlah : kami telah tunduk (aslamna/ kami baru berislam/muslim), karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”. ( QS. Al Hujurat: 14)

Jika kita bandingkan ayat di atas,  dengan ayat yang juga dikutip sebelumnya, maka makin jelas bahwa berislam harus disempurnakan menjadi berihsan. (QS Al Baqarah:112). Yakni menjadikan iman masuk ke dalam hati.

Bahkan, dalam Qur’an tidak kita jumpai potongan ayat yang di dalamnya secara eksplisit Allah menyebut dirinya “mencintai orang Muslim”, atau “mencintai orang mukmin”. Yang ada, sepeti dalam ayat yang dikutip di atas (QS Al Imran: 134) dan (QS Al Baqarah: 195), Allah menyebut dirinya “mencintai orang-orang yang berihsan.”

… وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

“…dan berihsanlah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan (kebaikan yg sempurna).” (QS Al Baqarah: 195)

Para ulama bahkan membagi ibadah ke dalam tiga tingkatan ibadah, sebagai berikut.

1.Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.

2. Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.

3.Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.

Nah, untuk dapat menjadi orang dengan akhlak dan amal Ihsan seperti diperintahkan Qur’an itu,  orang harus benar-benar mengimani Allah dengan haqqul yaqin (keyakinan yang sebenar-benarnya, keyakinan yang benar-benar lahir dari perasaan melihat/mengalami Allah) seperti disebutkan dalam hadis Jibril yang amat terkenal itu:

“Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha nabi. Kemudian ia berkata: “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah  menjawab, ”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata, ”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.” Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab, ”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; Hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.” Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.

Nabi menjawab, ”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya (yakni benar-benar me”lihat”Nya,  tapi bukan dengan penglihatan lahir,  melainkan batin). Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, (yakinlah bahwa) sesungguhnya Dia melihatmu.”

Dapat dengan mudah dibayangkan bahwa orang yang beribadah kepada-Nya dalam keadaan melihat-Nya atau yakin Allah melihatnya, akan menyempurnakan amal ibadahnya hingga sesempurna mungkin. Dia akan membersihkan hatinya dari keterikatan duniawi atau yang bukan Allah (takhalliy), lalu mengisi hatinya dengan amal-amal yang diridhaiNya (tahalliy). Yakni amal-amal wajib dan Sunah (nafilah)  hingga sepeti disebutkan dalam suatu hadis Qudsi,  dia “menyatu”  dengan-Nya : Allah menjadi matanya untuk melihat, telinganya untuk mendengar, tangannya untuk memegang dan kakinya untuk berjalan. Yakni, Allah bersemayam (bertajalliy) dalam hatinya. Keimanan yang telah menghunjam ke dalam hati ini akan mengambil wujud kecintaan kepadaNya. Sebagaimana difirmankan-Nya dalam Quran:

…وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَشَدُّ حُبّٗا لِّلَّهِۗ …

“…Orang-orang beriman itu amat besar cintanya kepada Allah…” (QS. Al Baqarah: 165)

Dan,  pada gilirannya, dari cinta yang mendalam kepadaNya akan lahir akhlak dan amal-amal salih yang lebih sempurna lagi, mulai dengan menyempurnakan diri terlebih dulu. Yakni membersihkan diri dan menyempurnakan akhlak. Tak lain, inilah proses bertasawuf.

Baru dengan Ihsan keberagamaan kita,  yakni ibadah rukun Islam dan juga keimanan kita, menjadi sempurna.[]

Muh/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *