Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 28 November 2020

Kolom Ulil Abshar-Abdalla: Penyegaran MUI


islamindonesia.id – Kolom Ulil Abshar-Abdalla: Penyegaran MUI

Pengantar redaksi:

Tulisan di bawah ini adalah utas yang ditulis oleh Ulil Abshar-Abdalla (28/11) tentang hasil dari Munas X Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung Jumat (27/11) di Hotel Sultan, Jakarta, utamanya mengenai perubahan komposisi pengurus di dalamnya.

Karena sumber tulisan berasal dari Twitter yang memiliki keterbasan ruang, sehingga isinya banyak dipenuhi dengan singkatan-singkatan dan kata tidak baku, maka demi kepentingan penyajian redaksi mengeditnya dengan tanpa mengubah makna aslinya.

Selain itu redaksi juga memberi judul, menambahkan beberapa sub-judul, dan menambah keterangan-keterangan di dalam kurung seperlunya. Demikian, selamat menyimak:

Penyegaran MUI

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Assalamualaikum dan selamat pagi, teman-teman. Sesuai janji kemarin, saya akan bikin utas mengenai pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang baru, walau agak terlambat. Baru selesai lari soalnya.

MUI mengalami perubahan yang signifikan setelah era reformasi. Dulunya, lembaga ini hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah Orba (Orde Baru) untuk berkomunikasi dengan para ulama. Atau, malahan menjadi alat kooptasi untuk “menjinakkan” suara para ulama yang agak anti Golkar.

Itu dulu.

Setelah era reformasi, MUI mengalami transformasi yang agak “radikal”. Perubahan amat penting terjadi pada Musyawarah Nasional (Munas) MUI ke-VI pada 2005.

Sejak itu, wajah MUI sebagai ormas yang ultra-konservatif amat kelihatan. Beberapa tokoh Islam “kanan” masuk di kepengurusan, termasuk dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Puncak konservatisme MUI terjadi pada 2017, ditandai dengan fatwa tentang tidak bolehnya seorang non-Muslim menjadi gubernur. Gara-gara fatwa ini, lahir gerakan pengawal fatwa MUI yang disebut GNPF MUI. Semula diketuai oleh Bachtiar Nasir, lalu Yusuf Martak. Keduanya pengurus MUI.

Gara-gara fatwa ini, Ahok terganjal dan gagal menjadi gubernur DKI, dan malahan dipenjara. Selain itu, fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah yang keluar pada 2005 juga sering dijadikan dasar untuk menyerang kelompok ini. Tahun-tahun 2005-2012 (publik) menyaksikan persekusi beruntun atas Ahmadiyah.

Yang merisaukan publik juga adalah munculnya tokoh-tokoh MUI yang kerap membikin “kekacauan” dengan pernyataan-pernyataan yang amat merisaukan. Tidak banyak sih mereka ini. Hanya ada dua-tiga sosok saja. Salah satunya adalah Tengku Zulkarnain.

Perkembangan-perkembangan semacam ini membuat banyak kalangan memiliki pandangan yang buruk tentang MUI. Lembaga ini identik dengan konservatisme agama, dan sering menjadi sasaran bully (perundungan) publik di medsos.

Walhasil, pasca-reformasi, citra MUI cenderung buruk.

Citra yang buruk ini bukan tidak disadari oleh teman-teman yang ada di “dalam” MUI. Sebetulnya banyak kok tokoh Muslim moderat dan progresif di dalam MUI, tetapi mereka “ditenggelamkan” oleh sosok-sosok “trouble maker” (pembuat masalah) seperti Tengku Zul itu.

Gerilya Nahdlatul Ulama dalam Munas MUI

Beberapa bulan menjelang Munas MUI ke-X kemarin itu, tokoh-tokoh yang “gerah” karena buruknya citra lembaga ini, dengan sigap, melakukan “gerilya” untuk men-tazkiyah atau membersihkan MUI dari tokoh-tokoh yang “bermasalah”.

Teman-teman di Nahdlatul Ulama (NU) menjadi “leader” (pemimpin) dalam gerilya ini.

Para tokoh ini (saya tidak usah sebutkan nama-namanya, tidak enak), melakukan gerilya ke MUI-MUI daerah. Di luar dugaan, mereka mendapat dukungan yang besar dari grass-root (akar rumput). Keresahan tentang citra buruk MUI rupanya menjalar ke daerah, hanya saja mereka selama ini diam; silent majority (mayoritas yang diam).

Pertarungan yang menentukan adalah di Tim Formatur yang berjumlah 17 orang dan berwenang mentukan pengurus MUI yang baru. Tujuh di antaranya mewakili unsur MUI daerah. Ketujuh wakil daerah ini berhasil di-“aman”-kan oleh tokoh-tokoh (sebut saja) penyegaran MUI ini.

Seorang teman yang ikut dalam Munas MUI terakhir ini, dan terlibat dalam beberapa Munas sebelumnya, mengatakan: Ini adalah Munas paling menegangkan yang pernah dia ikuti, walau acaranya tidak seramai biasanya, karena adanya pandemi.

Sumber ketegangan adalah karena adanya resistensi kubu “konservatif” dalam MUI yang mau “digusur” oleh kubu penyegaran. Tetapi kubu penyegaran ini akhirnya bisa memenangkan pertarungan.

Fondasi utama MUI adalah dua ormas besar, yaitu NU dan Muhammadiyah. Selama ini, kedua ormas ini, terutama NU, agak memandang sebelah lembaga ini, sehingga tokoh-tokoh di dua ormas itu kurang memperhatikan MUI.

Menyadari bahwa MUI selama ini telah sebagian “dimanfaatkan” oleh kelompok-kelompok konservatif, teman-teman di NU dan Muhammadiyah akhirnya berusaha untuk serius memikirkan MUI, agar lembaga ini tidak dijadikan “tameng” bagi kelompok konservatif.

Teman-teman dari kubu penyegaran MUI juga berusaha “menyaring” semua tokoh yang masuk di dua kepengurusan: yaitu Dewan Pertimbangan dan Dewan Pimpinan, untuk memastikan agar tak ada lagi “trouble maker” seperti Tengku Zul masuk lagi.

MUI Kini: Konservatif non-Moderat, Konservatif Moderat, dan Progresif

Sedikit tentang Kiai Miftachul Akhyar yang didaulat sebagai Ketua Umum (Ketum) MUI yang baru. Beliau adalah Rois Aam PBNU saat ini. Dari segi pandangan keagamaan, beliau adalah sosok konservatif yang moderat, khas para kiai pada umumnya.

Saya membagi konservatisme menjadi dua: konservatisme moderat dan konservatisme non-moderat. Sebagian besar tokoh-tokoh yang masuk di kepengurusan MUI sekarang adalah konservatif moderat.

Jika kita telaah susunan pengurus MUI yang baru ini, ada dua yang menggembirakan. Pertama, nyaris tak ada lagi tokoh konservatif non-moderat, kecuali satu-dua di Dewan Pertimbangan. Di Dewan Pimpinan, semuanya adalah sosok-sosok yang moderat, bahkan ada yang progresif.

Hal kedua yang menggembirakan: masuknya sejumlah kiai yang cukup progresif. Saya menyebut mereka sebagai sosok-sosok “maqashidiyyun”, artinya para kiai substansialis yang berpikir dengan kerangka teori maqashid al-syariah (tujuan-tujuan pokok agama).

Saya akan sebutkan beberapa kiai “maqashidiyyun” di pengurus harian MUI. Pertama adalah Kiai Afifuddin Muhajir, seorang kiai alim dari Situbondo. Dia adalah gurunya kawan saya, Abd Moqsith Ghazali. Kiai Afif menjabat sebagai salah satu wakil ketua.

Kedua adalah Kiai Marsudi Syuhud, kiai lulusan dari Pesantren Al-Ihya’ ‘Ulumaddin, Pesugihan, Cilacap. Dia dulu pernah menjabat sebagai Sekjen PBNU. Dia adalah salah satu sosok penting yang ikut “bergerilya” untuk menyegarkan MUI.

Ketiga, ada sosok Ibu Nyai yang cukup progresif dan “maqashidi” dalam kepengurusan MUI sekarang, yaitu Ibu Nyai Badriyah Fayumi. Dia salah satu tokoh penting di balik Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang cukup fenomenal itu. Saya senang sekali beliau masuk sebagai Wakil Sekjen.

Tentu saja, harapan kita atas MUI harus realistis. Mengharapkan lembaga ini akan menjadi progresif sepenuhnya, tentu saja sangat tidak realistis. Bagaimanapun, MUI memiliki kendala-kendala internal yang harus kita pahami.

Tetapi dengan di-“bersih”-kannya MUI dari sosok-sosok konservatif non-moderat yang selalu melontarkan statement-stamement (pernyataan) yang “bermasalah” selama ini, tentu ini sudah menggembirakan.

Sekian.[]

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Bismo Agung/Beritagar.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *