Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 24 January 2015

KOLOM – Terobosan Bagi Upaya Damai Palestina dan Israel


IVAN HADAR*

Setelah eskalasi kekerasan di Gaza tahun lalu, dan “penolakan” resolusi Negara Palestina oleh Dewan Keamanan PBB, Palestina akhirnya secara resmi, pada 1 April nanti, akan menjadi anggota Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Kondisi tersebut, tentu saja, berdampak negatif bagi perundingan perdamaian antara Palestina dan Israel.

Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon, bahkan mengungkapkan kekhawatirannya bahwa tanpa adanya terobosan, solusi dua negara sebagai satu-satunya opsi berkelanjutan bagi perdamaian, dapat gagal untuk selamanya. Karena itu, baginya, diperlukan “terobosan” untuk segera mengakhiri kebuntuan yang berbahaya ini.

Solusi dua negara merupakan opsi damai yang memungkinkan Palestina dan Israel hidup berdampingan dengan damai. Selain gencatan senjata, masalah permukiman Israel di tanah Palestina serta sejumlah persoalan penting menanti diselesaikan termasuk di antaranya persoalan perbatasan Palestina, kewarganegaraan Palestina yang baru, status pengungsi Palestina yang berada di luar perbatasan, status warga Arab Israel selain tentunya persoalan masa depan Yerusalem Timur.

Sejauh ini, situasi Gaza akibat serangan Israel tahun semakin memburuk. Setidaknya telah menewaskan 560 warga Palestina, termasuk anak-anak dan perempuan. Namun, bagi kelompok garis keras Israel, hal tersebut tak cukup memuaskan. Bahkan seorang politikus cantik asal Israel, Ayelet Shaked, meminta militer mereka membunuh semua ibu-ibu Palestina agar tidak melahirkan “keturunan teroris”. (Tempo.co, 22/7/2014)

Tentu saja, lebih banyak warga Israel yang menginginkan perdamaian. Mengutip laporan dari laman Jerusalem Post (2/7/2014), misalnya, organisasi anti-rasisme Tag Meir dari Tel Aviv, telah mengatur kunjungan 615 warga Yahudi Israel yang hadir dalam pemakaman Khudair, remaja Palestina yang dibakar hidup-hidup sebagai balas dendam atas kematian tiga remaja Israel. Sebelum terjadinya kekerasan di Jalur Gaza ini, pemimpin umat Katolik Paus Fransiskus sewaktu mendatangi kompleks Masjid Al Aqsa di Jerusalem, juga menyerukan umat Kristen, Yahudi, dan Muslim, agar bekerja sama untuk keadilan dan perdamaian, serta tidak mengatasnamakan Tuhan untuk melakukan kekerasan.

Sejatinya, konflik Palestina-Israel, bukanlah konflik agama, suku atau ras. Bagi pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk situasi hak asasi manusia (HAM) di Palestina, Makarim Wibisono, konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina adalah masalah pencaplokan wilayah yang diklaim oleh Israel sehingga memicu konflik berkepanjangan dengan Palestina.

Akar persoalan ini, menurutnya, terjadi sejak 1948 tepatnya setelah penduduk Israel yang tersebar dimana-mana mendapatkan lahan sebagai tanah air mereka. Dalam perjalanan waktu, jumlah populasi Israel meningkat dan mulai memperluas wilayahnya ke Palestina. Baginya, yang paling tepat adalah mengambil pendekatan HAM dalam penyelesaian konflik berdarah dan sudah menewaskan ribuan orang di Palestina. Dengan isu HAM, semua pihak akan tersentuh, imbuh Ketua Sidang Dewan HAM PBB tahun 2005 ini. (Tempo, 12/7/2014) Termasuk bagi warga Yahudi yang pernah menjadi korban HAM selama pemerintahan Nazi-Hitler di Jerman.

Psikolog terkenal Israel, Dan Bar-On, menulis, “Warga Israel masih merasa dirinya sebagai korban. Puluhan tahun lalu, di Eropa, bangsa Yahudi menjadi korban Nazi-Hitler dan negara-negara lainnya. Eksodus ke Israel untuk meninggalkan peran sebagai korban. Namun di Timur Tengah, mereka juga diserang oleh negara-negara Arab. Merasa menjadi korban dan sebagai bagian dari kebaikan, memunculkan pandangan dunia yang sederhana dan percaya harus melakukan pembalasan dengan motto, “siapa yang mencoba membunuhmu, bunuhlah dia sebelum itu terjadi.”

Bagi Bar-On, sebuah otokritik akan membuka saluran perdamaian yang tersumbat. Israel harus belajar mengatasi perannya sebagai korban. Hanya dengan demikian, pengintegrasian negara Israel dalam lingkungan Arab bisa sepenuhnya terjadi. Apa yang bisa dilakukan Israel agar tidak menjadi bagian asing di kawasan ini?

Bagi Bar-On, warga Israel harus secepatnya memulai, sepenuhnya hidup di Timur Tengah. Hingga kini, kebanyakan warga Israel masih saja percaya, berumah di Eropa dan AS. “Hidup di Timur Tengah”, lanjutnya, “harusnya berarti belajar bahasa Arab, agar bisa lebih mengerti apa yang terjadi di negara-negara tetangga. Perlu ditemukan cara untuk hidup dan bekerja bersama, dan tidak hanya membunuh mereka.”

Hidup dalam situasi perang berkepanjangan, lambat laun akan sulit dipahami mayoritas warga dunia. Meningkatnya protes akibat melejitnya jumlah korban sipil dalam setiap agresi Israel, hancurnya infrastruktur dasar serta pemusnahan kreasi peradaban, akan menggusur kemampuan dan kesediaan untuk memahami logika militer. Kompleksitas sebuah konflik, direduksi dalam formula siapa lebih kuat atau siapa lebih menderita. Emosi menggantikan obyektivitas. Tiba-tiba, yang tadinya (merasa sebagai) korban, menjadi agresor.

Sebenarnya, pada nurani terdalamnya, siapa pun, termasuk rakyat Israel dipastikan menginginkan hidup damai. Namun, mereka diberondong opini para politisi dan militer tentang tiadanya alternatif selain perang. Kalkulasinya ketika melakukan agresi di Gaza, setelah kehancuran total, setelah bantuan kemanusiaan pun dilarang masuk dan dihancurkan, rakyat Palestina akan jenuh dan berhenti melawan. Logika militer yang patut diragukan. Yang lebih mungkin adalah, mayoritas rakyat Palestina, dan siapa pun di muka bumi ini akan membenci dan sangat marah kepada agresor. 

Tentu saja, selain upaya melakukan perubahan “cara berpikir“ tadi, diperlukan tekanan internasional terhadap Israel untuk terlibat dalam perundingan dengan Palestina. Semakin kuat tekanan internasional, terkadang pada saat-saat “terkucil“, Israel akhirnya mengalah. Itulah misalnya yang terjadi di masa Bill Clinton dan George Bush Sr dalam perundingan damai Oslo dan Taba.

Indonesia sebagai negara besar dengan mayoritas Muslim dan bersifat pluralistik, bisa berperan aktif sebagai mediator dalam mengupayakan perdamaian Palestina-Israel. Meski cukup banyak menuai kritik, pada era Gus Dur Indonesia pernah membuka hubungan (dagang) dengan Israel dengan maksud sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia serta sebagai media bagi Republik Indonesia untuk terlibat penuh dan ikut serta secara aktif dalam upaya mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina.

Kita semua berharap, bahwa pemerintahan Jokowi-JK, seperti yang dijanjikan dalam kampanye Pilpres, secepatnya ikut berperan aktif dalam mengupayakan terwujudnya perdamaian antara Palestina dan Israel. Dalam mengupayakan hal tersebut, keberpihakan terhadap rakyat Palestina yang mendambakan kemerdekaan perlu menjadi acuan. Semoga!

* IVAN HADAR, Direktur Eksekutif IDE (Institute for Democracy Education)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *