Satu Islam Untuk Semua

Monday, 12 June 2017

KOLOM – Suara-suara Keledai


islamindonesia.id – KOLOM – Suara-suara Keledai

Oleh: Emha Ainun Nadjib

 
Alih-alih berpuasa Ramadan menuju harapan sorga: rasanya saya justru sedang dihukum oleh Allah. Selama hidup hanya 5 buku yang saya baca. Lantas saya melakukan hal yang mustahil: mengetik ribuan tulisan, menerbitkan hampir 100 buku, menulis “Daur” hingga 309 + 124 tulisan hari ini, ditambah rutin “Wedang Uwuh”, “Lubuk”, “Bongkah”, maupun tentatif “Asepi”, “Khasanah”, “Wong2an”. Belum yang lepas-lepas darurat.

Mustahil dalam arti orang menulis berharap dibaca. “Siapa berbuat sezarrah kebaikan akan mendapatkan imbalannya, siapa melakukan sedebu kejahatan akan memperoleh balasannya”, kata Allah. Dan dengan hanya pernah membaca 5 buku: saya berharap orang membaca jutaan huruf-huruf yang pernah saya ketik? Hidayah Tuhan saja tidak diprimerkan, kok saya berharap manusia meng-Iqra`- i tulisan saya.

Allah kasih “juklak-juknis”: “Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan, dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai”. Belum pernah saya menemukan contoh “seburuk-buruk suara” yang dimaksud Tuhan itu selain tulisan-tulisan saya sendiri. “Binasalah kedua tangan Abu Lahab”, dan akulah Abu Lahab itu. Dan, Allahu Akbar, besok pagi orang menyapa: “Hab, mau ke mane elu Hab”.

Aslinya kali ini saya berniat menuliskan hasil halaqah imajiner dengan Nabi Hud, Nabi Soleh, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, serta sejumlah Nabi lain yang di zamannya Allah menurunkan bencana-bencana dahsyat: banjir bah, gempa dahsyat, badai es, atau “pageblug” besar. Kaitannya dengan peta kausalitas sejarah dan nasib NKRI hari ini dan esok. Termasuk dua tahun kosong “bencana” misterius penguburan peradaban besar-besaran, penyembunyian sejarah hampir total menjelang Abad 14 di pulau yang kini kita huni dengan “plola-plolo”.

Hati saya memberi judul halaqah itu “Kalau Kekasih Disakiti”. Dibantah oleh pikiran saya, “orang akan makin tidak paham”, katanya, “nanti disangka judul sinetron India”. Tapi hati saya bersikukuh. Dan tak ada kompromi di antara mereka. Maka akhirnya tulisan ini yang saya ketik.
Memang pikiran saya bisa dipahami. Lha bagaimana, sekarang ini kalau orang mau mempelajari Lembu, kepustakaannya Surat Al-Baqarah. Meneliti lebah baca An-Nahl. Surat An-Naml disangka teks tentang semut. Mempelajari keikhlasan buka Surat Al-Ikhlas dan bingung tidak ada kata ikhlas di ayat-ayatnya.

Ketika pikiran saya bermaksud menjelaskan beda antara pola dan sistem narasi Kitab Suci dengan Disertasi Akademik Doktor, mozaik titik, garis, lekukan, lipatan, tikungan, spiral, oval, siklikal, lingkaran, bulatan, cekungan, cembungan, luar di dalam, dalam di luar, mikro dalam makro, makro dalam mikro dan macam-macam lagi–hati saya ngambeg. “Ndak usah nambah perkara. Bangsa ini sudah tergeletak kelelahan oleh terlalu banyak masalah”.

Saya bilang “Ketika Dokter mengobati, jangan ada ide uang dan bayaran”, diartikan “berobat boleh gratis”. Kalau mengajar, Guru harus berniat pendidikan, bukan berkemauan mencari uang–
dimaknai “wajar gaji Guru sangat rendah”. “Wala tamnun tastaktsir”, “jangan memberi dengan mengharapkan imbalan berlipat ganda”, ditafsirkan menjadi Muslim harus ikhlas miskin.

“Utamanya rindu jumpa Allah, bukan cari keuntungan Sorga”, dituduh melecehkan Sorga. Tidak ada obat Diphroson di Apotek situ, terus saya bilang “tadi ban motor saya nggembos di depan Apotek, ketika saya beli Diphroson” – para pendengar hanya fokus ke ban nggembos, sehingga tidak memperoleh informasi baru tentang Diphroson.

Bikin tulisan “Najwa Menanti Shoikhah” disangka reportase infotainment. “Puasa Ibunda” dipahami sebagai kisah di masa kanak-kanak. “Rindu Menyatu” dianggap cerpen remaja. “Shummun Bukmun” ditepis: “Sok Arab”. “NKRI Patigeni” dipikir pelajaran nyantet. Saya bilang “saya ndak bisa naik sepeda” disimpulkan “apalagi nyetir mobil”. “Berat Hati dan Tidak Tegaan” diasumsikan sebagai artikel psikologi. “Kita Indonesia, Kita Pancasila” dikutip oleh media menjadi “Kami Indonesia, Kami Pancasila”.

Wartawannya alumus We University, sehingga tidak bisa memilah beda antara Kami dengan Kita. “Kalau buka puasa, saya tidak suka makanan yang susah memakannya, misalnya daging, harus nyakot, banyak slilit pula, saya tempe tahu saja” – dikutip: “Emha: Saya anti daging”.
Dulu saya pikir saya adalah seorang Bapak, yang bersama anak saya berjalan menuntun keledai. Orang berkomentar: “Bapak Anak sama-sama pekok. Punya keledai kok nggak dinaiki”. Akhirnya anak saya menaiki keledai, saya berjalan menuntunnya. Orang mencela “Anak tidak tahu diri.

Bapaknya disuruh jalan, dia enak-enak naik keledai”. Kami gantian, dan dikecam: “Bapak fasis diktator. Anaknya disuruh jalan, dia leha-leha nunggang keledai”. Di-bully juga: “Kejam kepada binatang. Satu keledai dinaiki dua orang”. Kemudian kami berdua berjalan memanggul keledai, dan ditertawakan oleh setiap orang yang berpasasan.

Tapi kami bertahan memanggul keledai. Tidak pakai alasan, argumentasi, filosofi, ideologi, tidak pakai pernyataan “Saya manusia, saya penyayang binatang”. Kalau ada yang berkomentar lagi, kami langsung “mbekèr” persis keledai. Semoga semua penduduk bumi yakin bahwa kami berdua adalah keledai. Sedangkan yang kami tuntun adalah manusia. ***

Yogya 5 Juni 2017.

 

islamindonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *