Satu Islam Untuk Semua

Friday, 17 August 2018

KOLOM – Menumbuhkan Welas Asih di Sekolah


islamindonesia.id – KOLOM – Menumbuhkan Welas Asih di Sekolah*

 

Oleh: Haidar Bagir, CEO Mizan Group dan Pendiri Yayasan Lazuardi Hayati

Beberapa tahun, atau malah dekade belakangan, ada kecenderungan kuat di masyarakat kita untuk menampilkan Islam secara melulu simbolik. Masjid-masjid dibangun indah dan mewah. Cara berpakaian kita lebih “Islami”. Yang perempuan semakin tertutup, sementara pada laki-laki ditandai oleh jenggot dan juga gamis. Bulan Ramadhan juga demikian: semarak dan tak jarang ditandai oleh debat tentang perlunya menutup warung makan dan restoran untuk menghormati mereka yang sedang berpuasa.

Tetapi di luar kesemarakan beragama tersebut, pada saat yang bersamaan, konflik di internal umat Islam sendiri juga cenderung menguat. Akhlak pun seperti dilupakan. Pemilu yang harusnya menjadi pesta demokrasi justru menimbulkan suasana yang mengkhawatirkan. Hanya karena beda partai dan dukungan, kita seperti kehilangan akal sehat. Saling sindir, saling maki, perselisihan keluarga (left group WhatsApp bukankah kian jamak?) bahkan perpisahan di antara suami-istri kita mendengarnya. Itu terjadi tahun 2014 lalu. Bagaimana 2019 yang akan datang? Bisa jadi tak akan banyak bedanya.

Media sosial kita dipenuhi caci maki di antara pendukung kubu dan paslon berbeda. Memanggil kelompok yang berseberangan dengan sebutan-sebutan buruk – cebong, kampret, kaum bumi datar, atau apalah namanya – mewarnai interaksi maya dan terbawa dalam kehidupan nyata. Kita seolah lupa bahwa Allah di dalam Alquran sudah melarang umat Islam melakukan hal itu.

“Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-seburuk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS al-Hujurat:11).

Lebih menyedihkan karena yang menggunakan sebutan-sebutan buruk itu bukan hanya awam, tapi juga cendekiawan dan bahkan ulama yang pengetahuan agama dan penguasaannya terhadap Alquran sudah melampaui pengetahuan awam.

Setiap orang hari ini mengklaim berpolitik seperti cara Rasulullah Saw berpolitik, padahal kesantunan yang diajarkan Rasulullah tidak kita indahkan sama sekali. Baca sirah Nabi dan temui bagaimana beliau senantiasa bersikap santun, considerate, selain tegas dan adil terhadap lawan sekali pun.

Intinya membela agama Allah tidak boleh dengan caci maki apalagi kebencian.

Situasi ini bertambah rumit karena ada kecenderungan tingginya Need for Cognitive Closure (NCC) pada individu dalam masyarakat kita. Secara sederhana Irfan Amalee, CEO Islam Cinta yang membantu Lazuardi mengembangkan konsep sekolah berwawasan welas asih, NCC adalah kebutuhan orang utk mendapatkan jawaban yang pasti (ya-tidak, hitam-putih) dan menghindari ambiguitas. “Mereka hanya mau jawaban halal atau haram. Padahal dalam kaidah ilmu fikih di antara halal dan haram itu ada Sunah, makruh, dan mubah.”

Dengan kata lain, ada gradasi. Ada grey area yang membutuhkan kemampuan berpikir kritis. Juga dituntut kemampuan utk menerima orang lain juga memiliki pendapatnya sendiri.

Welas Asih

Kembali ke situasi masyarakat kita hari ini. Kiranya perlu diakui bahwa ketegangan dan pertengkaran internal umat Islam membuat Islam bisa jadi kehilangan daya tarik di kalangan generasi milenial yang setiap hari disuguhi tontonan semacam itu. Kian lama Islam yang tampil adalah Islam yang garang, intoleran, dan lekas marah. Di mana esensi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin bisa disaksikan kalau begitu?

Meski prihatin, mungkin kita perlu memahami mengapa beberapa anak muda dari keluarga Islam memilih meninggalkan agama ini dan – kalau tudak jadi ateis atau agnostik – berpaling ke agama lain yang lebih menampakkan pesan dan nuansa kedamaian dan kasih sayang. Bukan hanya agama formal yang diakui negara, tapi juga agama tradisional seperti Sunda Wiwitan di Jawa Barat. Kecenderungan ini terus menguat. Kesimpulannya cukup jelas: agama masih menarik utk generasi milenial, tapi wajah dan pesan bagaimana yang ingin mereka lihat bukanlah seperti yang hari-hari ini ditampilkan.

Menyadari situasi tersebut, Lazuardi sebagai sekolah berbasis Islam menganggap perlu melakukan “rebranding” dengan menekankan frasa welas asih (compassion) tidak hanya dalam tagline dan logonya, tetapi juga di dalam materi belajar, cara mengajar, hingga interaksi di antara seluruh keluarga besar Lazuardi. Tidak hanya di antara guru dan murid, tetapi sejak pimpinan tertinggi hingga asisten sekolah dan satpam. Tidak hanya di Jakarta tetapi juga di semua cabang Lazuardi di berbagai kota.

Mengapa langkah “rebranding” Lazuardi dianggap penting?

Pertama, untuk menjadikan semua pihak yang terlibat dalam pendidikan di Lazuardi melakukan upaya terbaik agar lulusan yang dihasilkan adalah generasi yang memiliki hati penuh welas asih. Setiap hari anak akan diekspos dgn berbagai hal yang mengingatkan pentingnya bersikap welas asih kepada semua makhluk ciptaan Allah. Tidak hanya sesama manusia, tetapi juga hewan, tumbuhan, dan makhluk yang dianggap mati seperti batu sekali pun. Dengan kata lain: terhadap lingkungan.

Kedua, bukankah welas asih adalah esensi dari ajaran Islam? Dalam salah satu riwayat dikisahkan Nabi Saw didatangi sekelompok orang Badui yang mengklaim telah beriman. Namun Allah berfirman kepada RasulNya bahwa orang-sambutan tersebut baru berislam. Belum beriman. Ada jarak antara menjadi Islam dengan beriman. Apalagi berihsan.

Dengan pemikiran ini tagline Lazuardi yang semula adalah Global Islamic School berubah menjadi Global Compassionate School. Sekolah Islam Berwawasan Welas Asih.

Apakah dengan pergantian tagline tersebut syariah menjadi tidak penting? Syariah tetap penting, tetapi sesuai arti kata sejatinya syariah adalah cara, jalan, sarana. Menjadi muslim yang baik harus melalui jalan syariah tetapi tidak boleh berhenti pada syariah. Menjadi muslim adalah pertama berislam dan menerima ketentuan Allah yang digariskan dalam syariah. Kemudian beriman alias meyakini Allah dan kuasa-Nya. Lalu yang tertinggi adalah tingkat Ihsan, atau menjadi muslim yang berbuat sebaik-baiknya untuk makhluk lain. Yang senantiasa menjadikan tujuan “memasukkan kebahagiaan ke dalam hati sesama” sebagai prinsip dan panduan hidupnya.

“Awal agama adalah mengenal Allah (ma’rifatullah). Mengenal Allah adalah berlaku dengan akhlak (yang baik). Akhlak (yang baik) adalah menghubungkan tali kasih sayang (silaturahim). Dan silaturahim adalah memasukkan rasa bahagia di hati (sesama) saudara kita.” (Hadis yang dirangkai oleh Syekh Yusuf Makassari, ulama Nusantara dari Makasar).

Transformasi Struktural dan Kultural

Perubahan pada tagline ini berkonsekuensi pada sebuah kerja besar dan keras yang dituntut dari semua staf Lazuardi. Seberapa mampu sekolah ini menjadikan siswa-siswanya memiliki sifat welas asih di dalam hatinya? Ujian sesungguhnya bukanlah pada saat mereka berada di lingkungan sekolah, karena sekolah ada sistem yang mengingatkan mereka untuk bersikap welas asih.

Ujian sebenarnya adalah nanti, ketika mereka sudah lulus dan berada di tengah masyarakat yang plural dan punya beragam nilai. Apakah, misalnya, menghadapi persaingan di dunia kerja dan bisnis mereka sanggup mempertahankan sifat welas asihnya? Akankah mereka tidak akan tergoda untuk korupsi yang intinya adalah sifat egois dan mengesampingkan kepentingan orang banyak?

Itu sebabnya perubahan tagline ini tidak sekadar mengubah logo dan stempel, tapi sebuah transformasi kultural dan struktural yang mungkin baru selesai 10 tahun kemudian. Tetapi langkah perubahan harus diambil hari ini.

Kita diingatkan bahwa Nabi diutus “hanya” utk menyempurnakan akhlak. Dan intu akhlak, seperti sabda beliau dalam hadis yang dikutip sebelumnya, adalah bersikap welas asih kepada sesama makhluk Allah. Tanpa welas asih di dalam hati, Nabi sekali pun – seperti kata beliau sendiri – tidak akan dapat mengubah seseorang menjadi lebih baik. Diriwayatkan oleh Siti A’isyah r.a. bahwa suatu kali datang kepada Nabi Saw. beberapa orang Badui, dan berkata: “Demi Allah kami tak menciumi anak-anak kami.” Menanggapi itu Rasul Saw berkata “Lalu apa yang bisa aku lakukan jika Allah telah menghilangkan darimu rasa welas asih (rahmah)?”

Nabi juga mengajarkan, orang yang tidak mencintai tidak akan dicintai. Itu pesan yang harus dipatrikan di dalam hati setiap orang dan peserta didik di Lazuardi. Nah, untuk dapat menumbuhkan perilaku welas asih, perlu dikembangkan lingkungan yang kondusif untuk itu.

Rahman: Puncak Ajaran Islam

Di antara 99 nama agung Allah (asmaul husna), al-Rahman dan al-Rahim adalah yang paling sering disebut setiap hari oleh umat muslim. Rahman dan Rahim adalah dua sifat Allah yang disebutkan dalam Basmalah sebagai sifat Allah. Al-Rahman dan al-Rahim – keduanya berasal dari kata rahmah (welas-asih) – adalah sifat-sifat diatributkan kepada nama “Allah”. Nama “Allah” itu merangkum 99 nama/sifat Tuhan (al-ism al-jami’), dan karenanya perlu menjadi inti pengajaran Islam kepada anak-anak kita. Jika Lazuardi gagal menanamkan sifat ini di dalam diri murid-muridnya, artinya tujuan pendidikan Lazuardi telah gagal.

Harus diakui ada yang keliru dalam cara kita mengajarkan Islam selama ini. Benar bahwa selain al-Rahman dan al-Rahim, sifat Allah yang Maha Menghukum juga perlu ditekankan. Tapi sesungguhnya hukuman – neraka sekali pun – adalah wujud dari kasih sayang (rahmah) Allah kepada makhlukNya agar mereka dapat diluruskan dari kesesatan mereka. Terkait dengan itu, dari apa yang saya pelajari, saya dapati bahwa hukuman di neraka itu – betapa pun kerasnya – adalah untuk menjadikan manusia baik dan, pada akhirnya, mengalami kenikmatan.

Dalam ajaran Islam ada konsep adzab (azab). Kata itu aslinya berarti “rasa sakit karena cambukan.” Menurut sebagian ahli, Allah memilih kata ini karena ia terambil dari akar kata – ‘a-dz-b – yang sama dengan akar kata ‘adzbun, yang berartinya sebaliknya, yakni “rasa manis yang menyegarkan.” Dengan kata lain, di balik siksa yang pedih itu sesungguhnya terletak tujuan untuk menjadikan manusia pada akhirnya merasakan kenikmatan. Karena itu penting untuk belajar Islam secara utuh, untuk dapat memahami keseluruhan konteks ajarannya. Di dalam surat al-Rahman (QS 55), jika diperhatikan, Allah menyebut baik hukuman (di neraka) dan ganjaran baik (surga) sebagai ala’. Yakni karunia atau nikmat. Lihat misalnya ayat 43-45.

Kegagalan memahami pesan dan sifat Rahman dan Rahim Allah melahirkan kesalahan kita selama ini dalam mengajarkan Islam. Islam tampil sebagai agama yang melulu keras, kurang mengandung aspek rahmah (welas asih). Sehingga hal ini mendorong ketidaksukaan sebagian generasi muda terpelajar di kalangan Muslim. Belakangan kita dengar gejala tumbuhnya “new atheism” atau berpalingnya anak-anak dari anak-anak muda Muslim dari Islam seperti disebutkan sebelumnya.

Nah, sifat Rahmah, compassion, atau welas-asih ini, akan menjadi corporate culture atau budaya “perusahaan” – maksudnya, budaya sekolah –  Lazuardi sejak saat ini.

Proses belajar di Lazuardi, baik di kelas maupun di luar kelas, harus diupayakan menjadi sebuah life-changing experiences di mana kebaikan dan teladan ditaburkan setiap waktu untuk ditiru dan diinternalisasi oleh anak-anak. Kita tidak pernah tahu, kebaikan mana yang akan terus menginspirasi anak.

Dua belas Langkah Welas Asih

Mengacu pada konsep welas asih yang dikenalkan oleh Karen Armstrong, penulis buku tentang agama dan sejarah agama yang karyanya banyak diterbitkan Mizan, ada 12 langkah yang harus ditempuh untuk memupuk sikap welas asih atau compassion, yakni:

  1. Mempelajari apa yang disebut sebagai welas asih itu.
  2. Mengamati dunia dalam mana kita hidup.
  3. Bersikap welas asih terhadap diri sendiri.
  4. Menumbuhkan sikap empati.
  5. Mindfulness, yakni melatih diri agar selalu sadar terhadap pikiran dan emosi kita pada saat ini. Dengan kata lain memiliki kemampuan untuk fokus dan tetap netral dalam menjalani waktu kita saat ini.
  6. Aksi, atau bertindak.
  7. Menyadari betapa sedikitnya yang kita ketahui.
  8. Menyadari bagaimana cara kita berbicara dengan orang lain.
  9. Peduli terhadap orang lain.
  10. Memiliki pengetahuan.
  11. Mengakui (eksistensi orang lain dan implikasinya?)
  12. Mencintai musuh kita.

Dengan mengetahui dan berusaha menerapkan langkah-langkah tersebut kita akan mengetahui bahwa memiliki welas asih bukan berarti kita menjadi lemah. Dalam Islam perang tidak diharamkan. Tetapi perang yang benar adalah perang karena dorongan welas asih. Bukan karena kebencian. Demikian juga konteks hukuman atau pendisiplinan di sekolah berwawasan welas asih.[]

 

 

*Ringkasan ceramah Haidar Bagir di acara Launching Sekolah Lazuardi sebagai Sekolah Welas Asih, Sabtu, 11 Agustus, 2018, di CEO Building, Jl. TB Simatupang. Ceramah diringkas oleh Nurul Agustina dengan penyuntingan seperlunya oleh Pembicara.

 

YS/Islamindonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *