Kolom Haidar Bagir – Hadhramawt dan Habib Umar Bin Hafizh (Bagian 5)

islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir – Hadhramawt dan Habib Umar Bin Hafizh (Bagian 5)
Melanjutkan tulisan saya sebelumnya, kita perlu mengapresiasi para ustadz ‘Alawiyin di Indonesia, yang mau dan mampu berbaur dengan sosio-kultur Indonesia.
Bisa jadi dalam diri mereka terdapat gen atau meme Thariqah ‘Alawiyah yang menjadi manhaj Baa ‘Alawi. Tapi, kemudian, mereka mampu mengakomodasi – tepatnya mengaprosiasi – aspek sosio-kultural Nusantara. Dan inilah saya kira strategi dakwah yang paling bijaksana.
Dalam hal ini, kiranya kita perlu mengingat ajaran Allah SWT yang menekankan bahwa berdakwah haruslah sesuai dengan bahasa kaumnya.
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka.” (QS. Ibrahim: 4)
Saya yakin, bahasa di sini memiliki makna yang lebih luas daripada pemahaman literal atasnya. Setiap bahasa, seperti kata Wittgenstein, memiliki “language game” (aturan main kebahasaan)-nya sendiri. Maknanya, bahasa berjalin berkelindan dengan realitas – budaya, kemasyarakatan, dan lain-lain – yang di dalamnya bahasa itu berkembang.
Dengan kata lain, setiap pendakwah – meniru Rasul – sudah seharusnya menyesuaikan diri dengan realitas sosial-budaya manusia-manusia yang di dalamnya dia berdakwah. Bukannya malah membuat enclave-enclave (gugus-gugus asing yang terpisah) dari sosio-budaya setempat.
Alhasil, para da’i ‘Alawiyin, khususnya yang hidup di Nusantara – lebih khusus lagi lulusan Hadhramawt – perlu menghindarkan diri dari eksklusivitas, apalagi jika eksklusivisitas itu asing bagi ranah sosio-kultural Nusantara.
Hal ini juga penting dipertimbangkan dalam kecenderungan para ustadz – khususnya lulusan Hadhramawt – dalam membangun pesantren-pesantren/ma’had-ma’had di berbagai kota di Indonesia.
Harus disadari bahwa budaya pesantren sudah tak terpisahkan dari budaya Nusantara. Sejarahnya sudah amat tua, sejak berabad-abad lalu. Budayanya sudah canggih pula.
Umumnya pesantren-pesantren ini didirikan oleh para kyai yang faqih-faqih, yang membentuk pesantren-pesantren ini dalam garis-garis sosial-budaya Nusantara. Pun, di dalamnya diajarkan ilmu-ilmu keislaman yang dirancang untuk bisa menjawab tantangan-tantangan ke-Nusantaraan.
Maka, berlomba-lomba membuat pesantren/ma’had a la Hadhramawt, yang belum tentu juga dipimpin oleh ustadz-ustadz mumpuni – pada kenyataannya, sebagian ma’had malah didirikan oleh ustadz-ustadz lulusan baru, yang masih perlu banyak menambah ilmu dan pengalaman – penting dipertimbangkan ulang.
Modal perekrutan santrinya seringkali adalah kecintaan warga Nusantara pada para habaib, meski dari segi kualitas keilmuan belum (bukan, tidak) teruji. Karena, kalau tidak, ini bisa menimbulkan gangguan yang tidak perlu kepada jaringan pesantren yang sudah berurat-berakar kuat di negeri ini.
Orang bisa berpikir, bukan saja pesantren-pesantren ini bisa mengubah keseimbangan budaya pesantren di Indonesia dengan menyedot prospek santri yang biasanya mendatangi pesantren-pesantren tradisional para kyai, malah bisa-bisa menghasilkan lulusan-lulusan yang belum sebaik lulusan-lulusan pesantren indigenous (asli) Nusantara itu.
Maka, di akhir seri tulisan sederhana ini – dan dengan segala hormat dan maaf – dengan rendah hati saya ingin mengingatkan agar kecenderungan “berlomba-lomba” membangun pesantren baru ini ditinjau ulang secara masak-masak.
Adalah lebih baik, jika memang pesantren baru perlu dibangun oleh para ustadz ‘Alawiyin ini, hendaknya ia dirancang sejalan dengan aspek-aspek sosial-budaya Nusantara.
Lebih baik lagi, jika pesantren-pesantren ini dibangun sebagai upaya kolaborasi dengan para kyai-kyai lokal, sehingga tak justru menjadi enclave-enclave yang mengganggu keseimbangan budaya pesantren di Indonesia. Ego pribadi atau kelompok perlu dibuang jauh-jauh di sini.
Dalam konteks ini, saya pernah mendengar dari salah seorang lulusan Dar al-Musthafa, bahwa sesungguhnya Habib Umar pernah men-discourage – dengan kata lain, tidak meggalakkan – pembangunan-pembangunan pesantren di Indonesia oleh para lulusannya.
Mengenai kebenarannya, walLaah a’lam.
Memang, masalahnya, membangun pesantren adalah suatu upaya dakwah yang paling “mudah” dibayangkan bentuknya. Pesantren memberikan kepastian kelestarian dan kestabilan (sustainability) kegiatan dakwah, ketimbang melakukan dakwah-dakwah lebih personal dan komunal dalam bentuk majelis-majelis pengajian, seperti yang dilakukan oleh para tokoh ‘Alawiyin masa lampau.
Semoga Allah SWT selalu melimpahkan hidayah, ‘inayah, dan tawfiq-Nya kepada kita semua.
(Selesai)
Sebelumnya:
AL/Islam Indonesia/Featured Image: nucirebon.or.id
Leave a Reply