Kolom Haidar Bagir – Hadhramawt dan Habib Umar Bin Hafizh (Bagian 4)

islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir – Hadhramawt dan Habib Umar Bin Hafizh (Bagian 4)
Pada bagian ini, saya akan sekadar menyegarkan ingatan kita akan kiprah para habaib di Nusantara pada masa lampau. Suatu bentuk kiprah atau peran yang telah memenangkan bagi mereka penghargaan dan penghormatan dari penduduk Nusantara.
Sebelum ilmu – yang dikuasai oleh para tokoh di kalangan mereka – para habaib itu adalah orang-orang dengan akhlak mulia. Tawadhu’ adalah mahkota mereka.
Tawadhu’ dan hidup bak faqir (spiritual) di hadapan Rabb-nya, dan rendah hati di hadapan sesamanya. Jangankan kepada para ulama dan kyai sesama mereka. Bahkan kepada orang-orang yang dianggap “sampah masyarakat”.
Kecintaan mereka tak membedakan sesama ciptaan Allah. Hati mereka penuh cinta kepada Sang Pencipta dan semua ciptaannya. Saya sudah menyebut beberapa nama sebelumnya. Dan Habib Umar adalah salah satu contohnya di masa sekarang, seperti juga para sufi lain, dari berbagai kelompok Muslim di berbagai belahan dunia.
Ada Syaikh Ramadhan al-Bouthi di Syria, atau Syaikh Murabith Syaikh al-Haj di Mauritania (Syinqith), belum lagi para Syaikh sufi di Asia Tengah dan Asia Tenggara – termasuk di Nusantara tentu saja.
Meski Alim, mereka tak segan mendengar dan belajar dari para Kyai, dan amat menghormati mereka. Lihat betapa Habib Abdulqadir bin Ahmad menghormati Kyai Hamid Pasuruan, sambil menyampaikan bahwa beliau melihat cahaya di wajah Kyai Hamid. Dan karena ilmu, akhlak mulia, dan khususnya tawadhu’ dan tak “sok pinter” mereka, mereka justru dimuliakan.
Sebaliknya, mereka tidak berpikir menonjolkan diri, apalagi merasa bahwa mereka lebih baik dari yang lain. Bukankah memang Thariqah ‘Alawiyah mengajarkan khumul (menyembunyikan diri) dan mahwur-rusum (keengganan menonjolkan penampilan)?
Bahkan, para habaib/saadaat masa lampau tak segan-segan belajar benar-benar sebagai murid kepada para kyai. Beberapa murid Syaikh Yasin al-Fadani adalah para habaib. Termasuk Habib Hamid Alkaf dan Habib Umar bin Muhammad.
Lalu ada Habib Sholeh bin Ali Alattas yang belajar pada Almarhum Kyai Maimoen Zubair. Belum lagi Sayid Syamsuddin Sumatrani al-Mahdani – meski ayahnya sendiri adalah Alim besar – yang belajar kepada Syaikh Abdurrahman bin Abdul Mubin Pauh Bok di Pattani.
Belakangan saya beruntung bisa menyimak acara “Ngariksa” Prof. Oman Abdurrahman dan mengetahui adanya habib-habib yang menjadi murid dan penerus Tharikat pimpinan Syaikh Marhaban di Aceh.
Dan itu baru sebagian kecil contoh, yang sama sekali tidak luar biasa. Karena, bukankah bahkan tokoh-tokoh atau guru-guru utama dalam silsilah Bani ‘Alawi di Hadhramawt pun belajar dari pra masyaikh non ‘Alawi, yang amat mereka hormati.
Pernah saya tulis, Imam Ahmad bin ‘Ubaydillah, belajar ke Abuthalib al-Makki (Qutul Qulub), Imam Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam belajar dari Syaikh Baamarwan, Syaikh Abubakr bin Salim belajar dari Syaikh Umar bin Abdullah Baamakhramah, dan banyak lagi.
Tradisi pembauran dan non-eksklusif ‘Alawiyin ini amat perlu dipertahankan. Bukan saja sebagai bagian silaturrahim dan silang budaya, melainkan juga sebagai upaya pemeliharan adab keilmuan.
Jangan sampai ada kesan bahwa’ Alawiyin merasa bahwa kebenaran hanya ada di kalangan Bani ‘Alawi, dan kemudian menjadi eksklusif dalam dakwah mereka.
Dan, hampir-hampir tak perlu lagi ditekankan di sini, bahwa adab yang saya maksud bukanlah sekadar sopan-santun/unggah-ungguh yang hakikatnya hanya sekadar basa-basi, melainkan penghargaan yang tulus karena kerendahhatian dan pengakuan akan kelebihan orang lain.
(Bersambung)
Sebelumnya:
AL/Islam Indonesia/Featured Image: zflas.com
Leave a Reply